Minggu, 07 Desember 2008

Pendidikan merupakan Pilar Utama Kemajuan Bangsa


JAKARTA, KOMPAS - Bangsa yang maju dan berkembang adalah bangsa yang menempatkan pendidikan sebagai pilar utama. Namun, karena pranata sosial masih lemah, kurang terbangun penyelenggaraan pendidikan sebagai rekonstruksi sosial.

Dua butir pemikiran itu dipungut dari pidato Ketua Umum Pengurus Pusat Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Sudhamek AWS dan Ketua Umum Sangha Agung Indonesia Mahathera Nyanasuryanadi dalam acara pembukaan Munas VIII MBI di Jakarta, Sabtu (6/12).

Menurut Sudhamek, pendidikan merupakan pilar utama kemajuan suatu bangsa. Pemerintah semakin menyadari pentingnya pendidikan. Alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan perlu diapresiasi walaupun mungkin dalam pelaksanaan masih terjadi ketimpangan. MBI pun sudah memiliki cetak biru bidang pendidikan sebagai tema sentral MBI lima tahun ke depan.

Ketimpangan praksis pendidikan, kata Nyanasuryanadi, mengakibatkan persoalan yang muncul, seperti disintegrasi sosial, konflik antaretnis, kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang, dan pola hidup konsumtif, tidak ditangani tuntas.

”Oleh sebab itu, perlu dibangun dan dikembangkan sistem pendidikan atas dasar kesadaran kolektif dalam rangka memecahkan persoalan bangsa yang kita hadapi,” tegas Nyanasuryanadi.

Membuka munas ini, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Dirjen Bimas Buddha Budhi Setiawan, Menteri Agama Maftuh Basyuni mengharapkan peningkatan kualitas keagamaan umat Buddha, di antaranya melalui kegiatan pendalaman ”dharma” yang diaktualisasikan dalam pemberdayaan ekonomi umat.

”Tantangan yang kita hadapi semakin besar dan kompleks,” tegas Maftuh.

Religiositas yang membumi

Harapan keberagamaan (religiositas) yang membumi, dengan rumusan masing-masing, disampaikan para penanggap. Jimly Asshiddiqie mengharapkan satu religiositas yang tidak formalistik, melainkan mengarus dalam kehidupan sosial masyarakat.

”Semangat keberagamaan harus meluber dalam kehidupan umum dan menjadi berkat bagi masyarakat,” kata Franz Magnis-Suseno SJ menambahkan.

Jakob Oetama menggarisbawahi jati diri hakiki agama yang damai dan toleran hendaknya terus mewarnai pertemuan antaragama. Keberagamaan hendaknya mampu mengubah agar para pemeluk agama-agama lebih partisipatif dalam kehidupan riil masyarakatnya.

Penanggap lain, Djohan Effendi, Yudi Latif, dan Komaruddin Hidayat mengapresiasi kebiasaan MBI yang senantiasa menyertakan para tokoh agama lain dalam kegiatan mereka. ”Kita bersama-sama mencari satu kebenaran lewat agama-agama untuk memperoleh satu agama yang benar, satu religion dengan huruf R besar,” kata Komaruddin Hidayat.

Munas VIII MBI dengan tema pengembangan SDM ini berlangsung di Prasadha Jinarakkhita (rumah besar Jinarakkhita) di Puri Indah, Jakarta Barat, pada tanggal 5-8 Desember. Munas yang dihadiri 300 peserta dari 25 provinsi, sebagian dari sekitar 8 juta pemeluk Buddha di Indonesia, mengagendakan penyempurnaan AD/ART dan kepengurusan MBI periode 2009-2014. (STS)

Tidak ada komentar: