Jumat, 19 Februari 2010

Meraih Gelar dengan Skripsi Pesanan


Jumat, 19 Februari 2010 | 03:56 WIB

Oleh Irene Sarwindaningrum

Di sebuah kafe di Jalan Ir H Juanda, Bandung, Jawa Barat, seorang mahasiswi terlihat serius menyimak teman bicaranya, seorang lelaki berumur sekitar 45 tahun. Siang itu, ia sedang mendapat ”kursus” mengenai isi skripsi yang sudah selesai dibuat atas nama dirinya.

Bab demi bab dijelaskan secara detail. Begitu pun tabel dan grafik, diterangkan secara rinci. Sesekali, mahasiswi fakultas ekonomi salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung itu mengajukan pertanyaan. Terkadang ia mengangguk-angguk.

”Saya memang minta bantuan orang untuk membuatkan skripsi,” kata mahasiswi itu berterus terang. Untuk jasa pembuatan skripsinya itu, ia menyediakan uang jasa Rp 7 juta dan skripsi selesai tak sampai dua bulan.

Masa pembuatan dilakukan setelah draf skripsi yang diajukan sang mahasiswi disetujui dosen pembimbing. Draf skripsi hanya berisi bab I yang memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat dan metodologi penelitian. ”Draf juga kami yang membuat setelah dikonsultasikan dengan pemesan,” kata Shr (45), yang sudah 12 tahun menerima pesanan pembuatan karya akhir mahasiswa, mulai dari skripsi hingga disertasi.

Biaya pembuatan bergantung pada tingkat kesulitan, tetapi umumnya satu paket lengkap berharga Rp 4,5 juta hingga Rp 10 juta. Artinya, mulai dari pemilihan judul, pembuatan draf, penulisan, hingga pencetakan lima buah skripsi hard cover, semua dilakukan pembuat. Hanya pada kasus-kasus tertentu, terutama kasus yang spesifik, mahasiswa pemesan diminta menyerahkan data lapangan.

”Pangsa pasar pembuatan skripsi tidak pernah habis, apalagi sekarang guru harus sarjana dan pegawai pemerintah daerah juga banyak yang mengambil pascasarjana,” kata Shr.

Dalam mencari pelanggan, sarjana ilmu sosial lulusan perguruan tinggi di Bandung ini bekerja sama dengan pegawai fotokopi di sekitar kampus perguruan tinggi.

Terang-terangan

Di Yogyakarta, jasa pembuatan karya ilmiah, seperti skripsi, tesis, bahkan disertasi, lebih terang-terangan. Iklan jasa layanan pembuatan skripsi dan disertasi menghiasi media massa, dalam bentuk selebaran pun banyak yang ditempel di pinggir jalan. Delapan hingga sepuluh iklan bisa ditemukan di koran setiap harinya. Iklan ini umumnya menyebut sebagai penjual jasa konsultasi atau bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi.

Dibandingkan dengan di Bandung, biaya pembuatan di Yogyakarta relatif lebih murah. Biayanya berkisar Rp 2,5 juta untuk skripsi yang tidak memerlukan perancangan software atau alat, Rp 3 juta untuk skripsi yang membutuhkan pembuatan software atau alat, dan Rp 4,5 juta hingga Rp 6 juta untuk pembuatan disertasi. Harga itu masih bisa berubah, bergantung pada tingkat kesulitannya.

Menurut Rht, salah seorang penyedia jasa pembuatan skripsi, biaya itu sudah mencakup pemilihan topik, penyusunan karya ilmiah, hingga pembuatan software ataupun alat. Para penjaja jasa menjamin keamanan skripsi, tesis, dan disertasi yang mereka buatkan. Mahasiswa yang telah membayar juga akan dibekali melalui les atau pembelajaran tentang materi yang dipesan untuk skripsinya agar lulus ujian.

”Jadi, nanti kalau proses pengujian tidak akan ketahuan. Sudah 10 tahun saya membuatkan skripsi, belum ada yang tidak lolos,” katanya.

Untuk jasa ini, Rht membuka kantor di kawasan Gedong Kuning, Yogyakarta. Sebelum transaksi, penyedia jasa biasanya bertanya jurusan calon pemesan skripsi dan jenis penelitian yang diinginkan. Rata-rata karya ilmiah dijamin selesai dua bulan.

Hmw, penyedia jasa pembuatan disertasi di kawasan Maguwo, Sleman, mengatakan, sejumlah pengguna jasa pembuatan disertasi adalah pegawai pemerintah daerah yang tengah menyelesaikan kuliah pascasarjana. Para pengguna jasa diharuskan menyuplai data yang diperlukan untuk disertasinya.

”Kalau data sudah ada, soal penyusunan nanti beres. Dari bab I sampai halaman akhir kami yang mengerjakan,” ujarnya.

Berlangsung lama

Jasa pembuatan karya ilmiah merupakan praktik yang telah lama berlangsung. Rata-rata penyedia jasa telah menggeluti usaha lebih dari 10 tahun. Mereka pun tak ragu mencantumkan diri sebagai alumnus perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.

Praktik ini membuat sejumlah perguruan tinggi memasang kewaspadaan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) mewajibkan keterangan orisinalitas untuk karya ilmiah atau disertai yang akan diuji. Mahasiswa juga harus menyertakan data dengan bukti keaslian data. ”Di tingkat dosen, kami juga punya koordinator jurnal dan tim khusus untuk memeriksa karya ilmiah dosen asli karya sendiri,” ujar Rektor UAJY A Koesmargono.

Menurut Koesmargono, jasa pembuatan karya ilmiah tergolong tindakan penipuan dan pemalsuan yang melanggar etika pendidikan. Akan tetapi, seperti halnya tindak penjiplakan, praktik-praktik sejenis sulit dibuktikan karena membutuhkan kecermatan tinggi.

Bagi Ketua Dewan Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta Wuryadi, fenomena ini menandakan pendidikan telah dianggap sebagai komoditas yang punya harga dan bisa diperdagangkan. Pemalsuan skripsi disebutnya sebagai bagian dari budaya instan pendidikan yang lebih mengutamakan kemudahan dibandingkan dengan moral dan proses. Mereka berambisi meraih gelar meski dengan skripsi pesanan. (THY)

Kejujuran Semakin Memudar


Penjiplakan, Puncak Gunung Es

Jumat, 19 Februari 2010 | 03:49 WIB

Jakarta, Kompas - Kegiatan jiplak-menjiplak karya ilmiah merupakan puncak gunung es ketidakjujuran dalam jagat pendidikan. Skripsi mahasiswa yang sebagian merupakan jiplakan dengan cara copy/cut and paste, serta contek-mencontek dalam ujian, sudah dianggap lumrah.

Dengan demikian, ketidakjujuran itu sudah merambah hampir ke semua jenjang pendidikan. ”Ketidakjujuran ini sudah holistik, mengakar, merambah keluarga, masyarakat, dunia pendidikan, dan pemerintahan. Ini cermin dekadensi moral,” ujar Dr William Chang, pakar etika sosial, alumnus Universitas Gregoriana dan Universitas Lateran (Roma), saat dihubungi Kompas, Kamis (18/2).

Pepatah mengatakan, Non scholae sed viate discimus (Seneca, Epist. 106.11), manusia belajar bukan untuk sekadar memperoleh nilai berupa angka-angka yang kadang bersifat relatif dan subyektif, tetapi manusia belajar untuk hidup. Yang utama adalah nilai-nilai untuk mendukung hidup manusia.

Dia menambahkan, plagiat adalah tindak kebohongan dan akan cepat diketahui. Maka, pendidikan formal perlu mengambil langkah edukatif bagi para plagiator. Komersialisasi di bidang karya ilmiah sudah semarak. Akhirnya, lahir sarjana-sarjana bertitel panjang, tetapi bobot ilmiahnya rendah. Plagiat termasuk tamparan tragis dunia pendidikan formal kita jika kasus ini dibiarkan.

Masyarakat sering bertanya, kapan pejabat itu kuliah dan membuat tesis, kok, mendadak bergelar doktor.

Sanksi

Menanggapi kasus penjiplakan, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menegaskan perlunya pengetatan aturan dan penjatuhan sanksi lebih serius di perguruan tinggi hingga pemerintah. ”Penjatuhan sanksi tergantung tingkat kesalahan dan sudah dilakukan tiap perguruan tinggi. Kementerian hanya bisa menunda atau tidak memproses kenaikan pangkat atau permohonan guru besar,” ujarnya.

Fasli mengakui, kasus-kasus penjiplakan dengan mengutip jurnal luar negeri sudah berlangsung lama. Saat diketahui, Kementerian Pendidikan Nasional otomatis menolak permohonan pengangkatan guru besar atau kenaikan pangkat dosen.

Sementara itu, pendiri dan Direktur Eksekutif Yayasan Warisan Luhur Indonesia (Indonesia Heritage Foundation) Ratna Megawangi menyatakan, maraknya plagiat adalah bukti kegagalan sistem pendidikan dan pola asuh dalam keluarga, terutama karena belum adanya pendidikan karakter.

Pendidikan karakter sering disamakan dengan pendidikan moral yang dituangkan dalam pelajaran dan harus dihafal. ”Kita tahu bohong dan mencontek itu salah, tetapi dibiarkan. Pemahaman atas benar-salah tidak dipraktikkan dalam perbuatan,” tuturnya.

Batasan penjiplakan

Guna mencegah berkembangnya penjiplakan, Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri mengusulkan agar perguruan tinggi lebih gencar menyosialisasikan pengertian dan batasan penjiplakan.

”Selama ini banyak anggapan mencontek karya ilmiah sebagai hal lumrah. Maka, sosialisasi harus terus dilakukan karena tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang penjiplakan,” papar Gumilar.

Untuk mencegahnya, mahasiswa dan dosen UI harus memublikasikan karya ilmiahnya di kalangan internal dan umum agar diketahui jika terjadi plagiat.

Cenderung ditutupi

Guru besar ilmu sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Bambang Purwanto, menambahkan, selama ini penjiplakan karya ilmiah cenderung ditutup-tutupi, berlangsung terus tanpa sanksi. Kondisi ini mendorong kian merebaknya penjiplakan dan akan menjadi budaya buruk pendidikan kita. Padahal, menjiplak karya ilmiah merupakan pelanggaran kode etik utama seorang ilmuwan.

”Selama ini, pengaduan atas penjiplakan karya ilmiah belum pernah ditanggapi. Ada banyak alasan, mulai dari ewuh-pakewuh, tenggang rasa antarkolega, sampai takut diancam,” kata Bambang menambahkan.

Selama beberapa tahun ini, Bambang menemukan dua karya ilmiahnya dijiplak dosen dari perguruan tinggi lain. Meski telah disertai bukti-bukti kuat, laporan kepada perguruan tinggi asal dosen yang menjiplak tidak pernah diproses dan ditanggapi.

Kata Bambang, ada banyak teknik dalam menjiplak dan mudah dilakukan dengan komputer.

”Seharusnya penjiplak dikenai sanksi tegas tanpa toleransi karena menyangkut mental dan moral bangsa. Apa jadinya bangsa ini jika para calon pemimpin bangsa ini dididik oleh pencuri?” ujar Bambang.

Terkait dugaan penjiplakan karya ilmiah dua calon guru besar perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V DI Yogyakarta Budi Santosa Wignyosukarto mengatakan, berkas pengajuan guru besar dikembalikan ke perguruan tinggi masing-masing untuk klarifikasi.

Hasil analisis terakhir, karya dosen IPA dicurigai menjiplak skripsi mahasiswa S-1 sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Kemiripan terlihat mulai dari tabel data, analisis, hingga gambar grafik. Analisis setebal 12 halaman itu dikirim reviewer yang kebetulan menjadi pembimbing skripsi mahasiswa yang karyanya dijiplak.

Untuk antisipasi, Budi berharap perguruan tinggi meningkatkan kontrol sosial antardosen. ”Akibat perbuatan satu dosen, seluruh PTS itu akan malu.”

Gagal

Maraknya penjiplakan karya ilmiah merupakan cermin kegagalan sistem pendidikan nasional. Kini, pendidikan lebih berorientasi pada produk, kurang menghargai proses, dan rasa malu pada kode etik kian terkikis. ”Demi tunjangan profesi, gelar kehormatan di lingkungan pendidikan diraih dengan cara curang,” tutur Wuryadi, Ketua Dewan Pendidikan DI Yogyakarta.

Sejak tunjangan profesi dosen dan guru besar ditetapkan, pengajuan gelar guru besar memang meningkat. Dalam setahun, ada delapan pengajuan guru besar di Kopertis V DI Yogyakarta. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan dengan sebelum tunjangan profesi dosen dan guru besar diberlakukan.

Sementara itu, Prof Dr Moh Mahfud MD, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, menilai penjiplakan berpotensi melakukan korupsi.

”Penjiplak karya orang lain berpotensi melakukan korupsi. Diri sendiri saja dibohongi, apalagi orang lain. Orang-orang seperti ini berbahaya jika kelak menjadi pemimpin,” kata Mahfud. (WHY/IRE/LUK/TON)

Dua Juta Diploma dan Sarjana Menganggur


Keterampilan Nonakademis Faktor Penentu

Jumat, 19 Februari 2010 | 03:19 WIB

Jakarta, kompas - Sedikitnya dua juta lulusan perguruan tinggi, baik lulusan program diploma maupun sarjana, menganggur. Hal itu, antara lain, terjadi karena sebagian besar lulusan perguruan tinggi tidak memiliki keterampilan nonakademis.

Padahal, dunia kerja atau industri justru menjadikan keterampilan nonakademis itu sebagai salah satu faktor penentu dalam penerimaan karyawan atau tenaga kerja.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi ”Siap Hadapi Tantangan Dunia Kerja dengan Pendidikan Berfokus Karier”, Kamis (18/2) di Jakarta. Berbicara pada diskusi tersebut konsultan pengembangan sumber daya manusia dari Daya Dimensi Indonesia, Aditia Sudarto, dan CEO International College School of Informatics (Inti) Indonesia Sudino Lim.

”Nilai indeks prestasi kumulatif boleh saja tinggi. Tetapi, tanpa soft skill itu tidak akan ada artinya. Barangkali, paradigma pendidikan kita yang harus diubah sehingga perguruan tinggi bisa ikut memacu soft skill ini dan mengakomodasi kebutuhan dunia kerja,” kata Aditia.

Keterampilan atau keahlian nonakademis yang dimaksud itu, antara lain, adalah keterampilan presentasi, manajemen konflik, berbicara di depan publik, dan kerja sama dalam satu tim. Tanpa keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja ini, kualitas lulusan perguruan tinggi pun tidak maksimal berkembang. Akibatnya, 4,1 juta atau sekitar 22,2 persen dari 21,2 juta angkatan kerja terpaksa menganggur (hasil survei tenaga kerja nasional 2009 dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional).

”Banyak perusahaan yang setiap tahun mencari karyawan baru yang memiliki motivasi yang kuat dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang dunia kerja. Sayangnya, faktor-faktor ini yang sering menjadi kendala bagi para lulusan perguruan tinggi,” kata Aditia.

Selain karena tidak memiliki keterampilan, sejak awal langkah untuk memasuki dunia perguruan tinggi juga sudah keliru. Berdasarkan hasil riset Inti Indonesia, menurut Sudino Lim, banyak calon mahasiswa yang cenderung memilih program studi hanya berdasarkan tren yang ada. Jika tidak karena tren, faktor pemilihan perguruan tinggi lebih karena atas permintaan orangtua atau keluarga dan pengaruh teman sebaya. ”Ini yang menjadi awal penyebab ketidaksiapan mereka untuk menghadapi tantangan dan tuntutan dunia kerja,” kata Sudino. (LUK)