Rabu, 24 Juni 2009

Revolusi Biru Berkelanjutan

Jonson Lumban Gaol 

Meledaknya jumlah penduduk dunia menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Tahun 1960-an dicanangkanlah Revolusi Hijau, tetapi lahan darat belum cukup untuk penyediaan pangan sehingga dekade berikutnya dicanangkan Revolusi Biru untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya laut.

Beruntung 70 persen wilayah Indonesia adalah laut yang menyimpan sejumlah besar seperti sumber daya ikan, bahan tambang, air mineral, wisata bahari, dan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Program peningkatan produksi perikanan di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an melalui kegiatan motorisasi penangkapan ikan. Tahun 1973 dioperasikan kapal tuna longline di perairan ZEE Samudra Hindia dan tahun 1974 ratusan kapal purseine di Jawa Timur.

Saat ini terjadi peningkatan jumlah kapal, yakni 790.000 unit, 49 persen di antaranya adalah perahu motor (Statistik, 2007). Produksi dan jumlah nelayan meningkat, tetapi produktivitas masih rendah, sekitar 4,5 kg per nelayan per hari, jauh di bawah nelayan negara-negara maju sekitar 100 kg per nelayan per hari. Dengan demikian, pendapatan nelayan/petani ikan sekitar Rp 15.000 per hari, jauh di bawah upah minimum.

Produksi perikanan tangkap di Indonesia umumnya meningkat sekitar 3 persen per tahun, tetapi di beberapa lokasi, seperti di wilayah selatan Jawa, terjadi penurunan dan perlu diwaspadai. Tidak beroperasinya kapal-kapal akibat naiknya harga bahan bakar minyak menjadi salah satu faktor penurunan produksi (Kompas, 20/10/2005). Sementara itu, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia baru 22 kg per kapita per tahun lebih rendah dibandingkan dengan Thailand, 35 kg per kapita per tahun.

Pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan (KP) tidak hanya untuk mengejar target produksi karena peningkatan produksi tidak selalu diikuti dengan peningkatan pendapatan. Selain itu, peningkatan produksi yang tidak memerhatikan aspek sustainability juga akan menjadi bom waktu ambruknya kegiatan perikanan, karena itu fungsi pengelolaan berperan. Pedoman pengelolaan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fishing (CCRF) yang diadopsi FAO sejak tahun 1995.

Indonesia telah menuangkan implementasi CCRF dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 3 yang menyebutkan, tujuan pembangunan perikanan antara lain (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan kerja, ...; (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.

Pemerintah Indonesia telah menggariskan aneka kebijakan dan program untuk tujuan itu, tetapi fungsi pengelolaan belum berjalan mulus. Pemerintah kabupaten/ kota yang berwenang dalam pengelolaan garis pantai harus aktif mengoptimalkan potensi secara lestari sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Berdasarkan pengamatan lapangan Kepala PPN Kejawenan Cirebon Ir Jainur, jika fungsi pengelolaan berjalan baik, tujuan pembangunan perikanan akan tercapai.

Garam dan air laut dalam

Ironis. Hingga kini, Indonesia masih mengimpor garam industri sekitar 1,5 juta ton per tahun seharga Rp 600 miliar. Di sisi lain, kini dunia dihadapkan pada krisis air bersih. Menurut World Water Forum, 1 dari 4 orang di bumi kekurangan air.

Laut dalam (> 200 meter) menjadi salah satu sumber air dan garam berkualitas tinggi pada masa mendatang karena kandungan mineralnya tinggi, bebas polusi dan bakteri, serta kandungan NaCl tinggi.

Dengan proses desalinasi, air dan garam dari air laut dalam (ALD) dipisah.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mencanangkan program pengembangan ALD beberapa tahun lalu.

Upaya pemanfaatan ALD di Indonesia telah dimulai melalui kerja sama antara Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan perusahaan Jepang, Kyowa, dirintis Prof Bonar Pasaribu. Kegiatan eksplorasi di beberapa lokasi sudah dilakukan dan kini produksi dengan kapasitas skala kecil telah dimulai di Bali.

Percepatan Revolusi Biru

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya KP tidak lepas dari political will, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya manusia. Kemauan politik di bidang KP terlihat sejak dibentuknya DKP 10 tahun lalu. Dalam usia muda, pencapaian tujuan pembangunan KP belum terlaksana optimal, karena itu diperlukan dorongan khusus.

Terlepas dari kekurangan, program Revolusi Hijau (Bimas) berhasil mencapai swasembada beras. Pengalaman yang sama dapat diterapkan dalam percepatan revolusi biru karena banyak sektor terlibat langsung dengan laut dan harus bersinergi agar tujuan pembangunan kelautan dan perikanan.

Iptek dan SDM

Iptek dan SDM akan amat berperan dalam mencapai tujuan Revolusi Biru. Perkembangan iptek kelautan di dunia amat pesat. Mengingat laut yang tidak mengenal batas-batas fisik, teknologi satelit oseanografi berperan penting dalam pemantauan proses oseanografi. Data dari satelit itu mulai dari kelimpahan fitoplankton, ekosistem terumbu karang, mangrove, arah dan energi arus, tinggi gelombang, kecepatan angin, serta suhu. Data dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas nelayan, pengaturan daerah penangkapan ikan, dan pemetaan distribusi larva ikan. Data satelit altimeter digunakan untuk penentuan anjungan pengeboran minyak dan alur pelayaran yang optimal.

Pelaku kegiatan di sektor KP mayoritas adalah nelayan yang masih jauh dari sentuhan teknologi sehingga perlu bimbingan dan penyuluhan. Terbatasnya jumlah dan kemampuan penyuluh dapat diatasi melalui kerja sama dengan program KKN mahasiswa yang berperan sebagai agen pembaruan. Program ini dapat dilaksanakan berkesinambungan 10 sampai 20 tahun, dengan harapan terjadi peningkatan tarap hidup nelayan.

Jonson Lumban Gaol Lektor Kepala; Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB

Bynkershoek dan Politik Kelautan RI


Ninok Leksono

 ”Terrae protestas finitur, ubi finitur armorum vis—Kedaulatan teritorial berakhir di mana kekuatan senjata berakhir. ” (Cornelis van Bynkershoek, De Dominio Maris Desertatio, 1703)

Apa yang disampaikan oleh Bynkershoek di atas mengingatkan pada semua negara yang memiliki wilayah laut, maka kedaulatan suatu negara di laut sangat bergantung pada kemampuan negara tersebut dalam melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya itu. Artinya, kata Ahli Peneliti Utama LIPI, Syamsumar Dam, di Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Manado, Maret silam, semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh satu negara, semakin besar pula tanggung jawab negara tersebut untuk mengawasinya.

Indonesia, negara maritim terbesar di dunia dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan luas laut 5,8 juta km atau tiga perempat dari total luas wilayah, dengan perbatasan laut berimpit dengan 10 negara, jelas memiliki tanggung jawab sangat besar.

Sejauh ini, sebagaimana di perbatasan darat yang berimpit dengan perbatasan tiga negara, pemenuhan tanggung jawab terhadap wilayah laut dirasakan belum memadai.

Pernah satu ketika Laksamana Muda (Purn) Wahyono SK menyampaikan, kebutuhan ideal untuk menjaga wilayah laut kita dapat dihitung dari luas wilayah dibagi dengan kemampuan jelajah kapal. Bila sebuah frigat bisa mengawasi luas 300.000 km, kebutuhan kapal jenis ini adalah hampir 20 unit. Sementara untuk kapal patroli yang masing-masing punya jelajah pengawasan 50.000 km, yang dibutuhkan adalah 116 kapal.

Padahal, sekarang ini, seperti dicatat The Military Balance IISS (2008), jumlah frigat yang kita miliki—tanpa memperhitungkan umurnya—hanya 11 unit, sementara kapal patroli dan kapal yang punya kemampuan tempur pantai hanya 41 unit.

Ketika muncul ketegangan dengan negara lain, misalnya ketika Indonesia dihadapkan pada tumpang tindih klaim teritorial, seperti terjadi di Ambalat, menguatlah kesadaran akan kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) laut.

Dipenuhi sendiri

Mengatasi kendala pembelian alutsista yang makin tak terjangkau, semangat yang pernah mencuat—dan sejauh ini banyak dijadikan bahan pernyataan politik—adalah ”penuhi sendiri” kebutuhan yang ada, kecuali yang belum bisa dibuat oleh industri dalam negeri.

Dalam realitas, meski PT PAL telah mencapai kemampuan untuk membuat korvet, bahkan juga kapal selam, belum ada order untuk pembuatan kapal-kapal jenis itu. (Dalam kaitan ini, bisa diwujudkannya order 150 panser untuk TNI AD dari PT Pindad amat membesarkan hati, dengan segala tantangan yang menyertainya.)

Yang lebih memprihatinkan, kabar yang muncul beberapa pekan terakhir dari PT PAL justru bernuansa suram. Industri kapal nasional yang sebelum ini banyak dibanggakan ini justru dilanda kelangkaan dana, merugi, sehingga terpaksa harus menggilir kerja karyawan.

Benturan dengan logika

Ilustrasi PT PAL dewasa ini sekali lagi melukiskan adanya kesenjangan antara penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen. Kemampuan rekayasa maju pesat diwujudkan dengan bisa memproduksi tanker 30.000 ton dan kapal barang 50.000 ton, juga kapal patroli cepat FPB 57. Sekali lagi, relevan apa yang dikemukakan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bahwa untuk masalah teknologi, kemampuan bangsa kita tak perlu diragukan. Tapi kemampuan manajemen, yang mencakup keterampilan untuk mengoordinasikan berbagai urusan, tampaknya masih banyak yang harus dipelajari.

Pada masa lalu, mantan Presiden BJ Habibie yang juga pernah memimpin PT PAL sering menyampaikan, menurut teori, kebutuhan akan kapal di Indonesia, mulai dari kapal perang hingga kapal nelayan, tidak akan pernah ada habisnya.

Pendekatan lain

Persoalan laut ini rupanya juga bisa dikaji dari disiplin lain. Dalam studi hubungan internasional dikenal politik kelautan, yang bertumpu pada pandangan kaum realis. Di sini, pemikir kekuatan laut Amerika, Alfred Mahan, menyatakan, potensi kelautan yang dimiliki oleh satu negara harus dapat dijadikan sebagai kekuatan laut yang menjadi unsur utama kekuatan nasional.

Pandangan Mahan di atas, menurut Syamsumar Dam, telah diperkaya oleh ahli teori lain, seperti Hans Morgenthau, Eric Grove, dan Sam Tangredi, yang memasukkan berbagai faktor untuk mendukung kelangsungan hidup satu negara, mulai dari geografis, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiapan militer, penduduk, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi, kualitas pemerintahan, hingga perdagangan maritim internasional.

Dan, ditegaskan, meski tidak akan menjadi kekuatan laut utama dunia seperti AS, Indonesia juga tidak ingin lagi dijadikan mangsa oleh bangsa lain.

Dalam konteks inilah Indonesia membutuhkan peninjauan kembali atas politik kelautan yang selama ini diterapkan. Kelapangan untuk mengakui masih adanya kelemahan dalam implementasi politik kelautan nasional diharapkan bisa menjadi pembuka jalan bagi hadirnya wawasan baru yang lebih progresif dan menjawab tantangan zaman.

Selasa, 23 Juni 2009

Zaman Batu dan Komoditas Unggulan

Andi Suruji 

Zaman batu tidak berakhir karena kehabisan batu, tetapi zaman minyak berakhir jauh sebelum bumi kehabisan cadangan minyaknya.”

Begitulah futurolog James Canton, Chief Executive Officer and Chairman Institute for Global Future, membuka ulasannya, ”A New Energy Age” dalam bab 2 bukunya, The Extreme Future (2006).

Simpel tetapi sarat makna untuk direnungkan. Digambarkan, ada 10 tren ekstrem di bidang energi. Di antaranya, kita tengah berada di era kehabisan energi. Permintaan global akan menghabiskan cadangan energi dalam 25 tahun ke depan, kecuali sumber-sumber energi baru ditemukan. Kekurangan energi akan menurunkan produk domestik bruto (PDB).

Keamanan energi akan menjadi medan perang yang dahsyat di abad ke-21, menjadi ajang kerja sama maupun konflik global pada masa depan.

Bangsa-bangsa akan jatuh bangun dalam menggapai akses ke sumber-sumber energi masa depan. Kekuatan-kekuatan ekonomi baru, seperti China dan India, akan bersaing dengan Amerika dan Eropa dalam pertarungan kekuasaan geopolitis baru.

Ketergantungan dunia pada minyak akan berakhir. Sumber-sumber energi yang bebas polusi dan terbarukan, seperti tenaga surya, hidrogen, pembelahan atom, dan tenaga angin, akan menjadi inti kemakmuran masa depan.

Di manakah kita kini? Dalam konteks Indonesia, ”zaman minyak” tersebut sudah tiba. Indonesia tidak lagi menjadi anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Walaupun masih tetap mengekspor minyak, kebutuhan impor bahan bakar juga lebih banyak. Indonesia sudah pengimpor minyak neto.

Subsidi bahan bakar minyak yang ditanggung anggaran pendapatan dan belanja negara membengkak luar biasa akibat dari melonjaknya harga minyak mentah di pasar internasional. Kita babak belur soal minyak, dan akan terus kerepotan. Energi alternatif hanyalah janji kosong pemerintah.

Strategi kebijakan energi dan migas di sektor hulu dan hilir sejak dulu tak pernah tersambung secara baik, bahkan salah arah. Setiap sektor terlepas dari rantai panjang industri besar migas, yang seharusnya justru menjadi kekuatan dahsyat bangsa ini. Produk-produk berbasis migas di hilir produksi industri yang paling ujung, seperti untuk komponen otomotif dan rumah tangga, terlepas antara satu dan lainnya.

Sebagai produsen gas, Indonesia dielus importir, tetapi industri nasional justru merana kekurangan gas. Pemerintah terlalu patuh pada kontrak yang banyak dikritik justru merugikan, setidaknya benefitnya tidak optimal bagi kepentingan nasional.

Di sektor hulu migas, produksi bukannya bertambah cepat; yang terjadi justru sebaliknya, terus menurun. Bahkan sampai sekarang ”perselisihan” antara produsen gas dan produsen pupuk masih selalu terjadi. Padahal, sebagai negara agraris berpenduduk 230 juta, sebagian besar menggantungkan hidup di sektor pertanian, pupuk seharusnya menjadi ”harga mati” yang tak boleh kisruh pengelolaannya.

Inilah bukti adanya mismatch dalam kebijakan energi nasional.

Belum kiamat 

Indonesia belum kiamat, tetapi, bangsa ini, setidaknya pemerintah mendatang, harus memiliki keinginan kuat dan keberanian untuk menegosiasikan ulang kontrak-kontrak pertambangan dan energi yang merugikan negara. Selain itu, tidak boleh ada suatu perusahaan asing yang dominan dalam pengelolaan sumber-sumber energi kita.

Hendaknya kita menegakkan ”kedaulatan” bangsa dengan kembali ke UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi dan segala kandungannya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Luar biasa kekayaan negara ini. Masih banyak komoditas yang jadi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif kita dibandingkan dengan negara lain. Persoalannya, kurang keras upaya memberi nilai tambah komoditas unggulan tersebut.

Di luar migas, bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke terhampar lahan pertanian dan perkebunan, hutan belantara berikut flora dan fauna tak terkira. Tetapi setelah 64 tahun merdeka, apa yang dicapai dan bisa dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan sumber daya alam itu?

Ini bukanlah sebuah pesimisme, tetapi sebuah realitas yang dihadapi, dan mesti dijadikan dasar pijakan, titik tolak untuk membangun optimisme menghadapi masa depan ekstrem yang penuh persaingan ketat.

Kesalahan manajemen migas janganlah terjadi pada komoditas unggulan lain yang masih dalam genggaman saat ini, seperti batu bara, kelapa sawit, dan kakao. Komoditas itu bisa membuka pintu kemakmuran rakyat apabila dikelola secara baik, sesuai semangat UUD 1945 tersebut.

Indonesia penghasil dan pengekspor biji kakao terbesar ketiga atau keempat di dunia, tetapi tidak pernah diperhitungkan sebagai produsen cokelat. Bahkan kini banyak petani yang menelantarkan kebunnya yang didera penyakit dan usia tua akibat kurangnya perhatian pemerintah. Indonesia memiliki kebun kelapa sawit yang sangat luas dan menjadi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, tetapi masyarakat bermasalah dengan minyak goreng.

Cadangan batu bara begitu besar, tetapi pembangkit PLN kadang mesti istirahat gara-gara bahan bakar tersendat.

Kita paham ada 230 juta perut yang butuh banyak, tetapi kebijakan pangan tambal sulam, termasuk urusan pupuk yang membutuhkan gas. Mengapa rekayasa benih tidak dipercepat untuk mencapai produktivitas tinggi, mengapa pengembangan teknologi pangan cuma sayup-sayup terdengar tanpa gerakan massal dari rumusan kebijakan sampai implementasi? Ironis...!

Lagi-lagi strategi besar pengembangan komoditas unggulan masih bermasalah. Industrialisasi yang ditopang pertanian, berbasis komoditas unggulan itu, tidak berjalan secara ideal.

Apakah kita mau kelak hanya meratapi komoditas unggulan itu seperti kisah ”zaman batu” di awal tulisan ini, atau ingin memasuki masa depan ekstrem dengan kepala tegak dan tersenyum? Kini saatnya berubah secara radikal, sebelum digilas bangsa lain.

Iptek, Kemakmuran, dan Kemandirian

M Barmawi

Jika mengamati daftar GDP sebagai ukuran kemakmuran, negara-negara berteknologi maju atau yang menganut ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based economics/KBE) menempati peringkat teratas.

GDP mereka adalah 20.000 dollar AS ke atas. Sedangkan GDP negara-negara yang mengandalkan kekayaan alam ada di bawah 2.000 dollar AS. Data ini menunjukkan, jika hanya mengandalkan hasil bumi, tambang, dan pertanian, kita akan sulit meningkatkan kemakmuran. Cita-cita Proklamasi 1945 adalah kita akan setara dengan bangsa lain, termasuk negara maju. Setelah 60 tahun lebih merdeka, kita sadar, kemerdekaan saja tidak cukup untuk mencapai kemakmuran dan kemandirian nasional.

Untuk mencapai cita-cita itu, strategi bersama diawali dengan mengurangi kemiskinan, lalu mencapai kemandirian nasional. Untuk mengurangi kemiskinan, kemampuan UKM harus ditingkatkan sehingga lapangan kerja untuk masyarakat lapisan bawah tersedia.

Untuk pengembangan UKM perlu disediakan energi di daerah terpencil. Nelayan tak dapat mengekspor ikan karena tak ada fasilitas pendinginan. Sebelum diekspor, hasil bumi perlu ditingkatkan nilai jualnya. Jalan pintas penyediaan energi untuk pengembangan UKM adalah energi surya. Saat ini Malaysia menawarkan pusat tenaga listrik sel surya berdaya 2.000 MW meski mungkin dengan modal dan teknologi asing. Di sini kita melihat, KBE dimanfaatkan untuk pemberantasan kemiskinan. KBE adalah sistem ekonomi yang menggunakan iptek sebagai pendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Malaysia sudah menganut KBE.

Taiwan sebagai contoh

Negara yang berhasil menggunakan KBE adalah Taiwan. Pada tahun 1950-an, Taiwan adalah negara agraris ber-GDP per kapita 200 dollar AS dengan ekspor pisang dan gula ke Jepang. Tahun 2000 GDP Taiwan naik 100 kali menjadi 20.000 dollar AS. Taiwan membangun UKM dengan kebijakan ”substitusi impor”. Untuk membangun industri, Taiwan membuat perencanaan yang cermat dan konsisten.

Untuk melakukan transformasi dari iptek menuju kemakmuran, Taiwan membangun Sistem Inovasi Nasional, dilengkapi universitas-universitas dan lembaga penelitian andal. Peran universitas tak hanya menyelenggarakan pendidikan S-1, S-2, dan S-3, tetapi juga diberi peran sebagai pusat penelitian, bagian sistem inovasi nasional, dan menjalin kerja sama dengan swasta dalam penggunaan iptek.

Selain itu, dibentuk organisasi seperti ITRI (Indusstrial and Technology Research Institute) dan ERSO (Electronic Research and Service Organization). Misi ITRI dan ERSO adalah membangun pabrik percontohan (pilot plants) untuk ditingkatkan menjadi pabrik yang bersaing. Seusai membuat pabrik percontohan tahun 1980, Taiwan lalu mendorong pembangunan TMSC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company). Awal 1990-an, ERSO dan ITRI mendorong pembangunan pabrik memori kapasitas tinggi dan membangun pabrik LCD, iptek yang terdepan saat itu.

Taiwan menggunakan elektronik sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan bantuan pabrik-pabrik LCD dan memori kapasitas tinggi, mereka berhasil merebut 30 persen pasaran PC dunia tahun 1993 (OCC Lin, National Innovation System and the Role of Institutes).

Itulah keajaiban ekonomi Taiwan yang juga dialami macan- macan Asia lain. Mereka tumbuh menjadi negara makmur dan mandiri karena Sistem Inovasi Nasional. Padahal, pilot plant Taiwan hanya perlu modal 12,5 juta dollar AS dan salah satu pabrik LCD Taiwan memerlukan investasi 259 juta dollar AS, kurang dari Rp 3 triliun. Sistem Inovasi Nasional Taiwan, khususnya ITRI dan ERSO, patut dicontoh.

Kawasan ASEAN

Di ASEAN, ada dua negara yang commit pada KBE, yaitu Malaysia dan Thailand. (Singapura sudah termasuk macan Asia). GDP per kapita Malaysia 8.495 dollar AS, R&D 0,49 persen GDP. Thailand 4.155 dollar AS GDP per kapita, R&D 0,25 persen GDP. Indonesia 1.918 dollar AS GDP per kapita, R&D 0,01 persen APBD. Adapun GDP/kapita Filipina 1.755 dollar AS, R&D 0,08 persen GDP. Di sini terlihat perbedaan mencolok GDP penganut dan yang tidak menganut KBE.

Dari uraian itu kita melihat korelasi yang kuat antara KBE dan kemakmuran serta kemandirian bangsa. Kita kurang percaya diri dan kurang percaya pada KBE. Tetapi jika kita ingin membangun dengan KBE, anggaran pendidikan 20 persen APBN harus dipertahankan, peningkatan SDM diutamakan dan perlu membangun Sistem Inovasi Nasional, serta sedikit demi sedikit meningkatkan R&D, setidaknya seperti Thailand.

M Barmawi Guru Besar Emeritus ITB; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jejak Naga Silikon dan Masa Depan Ekstrem

ninok leksono

Tatkala mendengarkan kuliah Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tentang ekonomi kreatif di Universitas Multimedia Nusantara, di Serpong, 5 September 2008, tumbuhlah persepsi bahwa inilah jenis ekonomi yang akan dikembangkan di Indonesia. Aktivitas di 14 bidang industri kreatif unggulan diharapkan mampu menggairahkan perekonomian Indonesia, menghasilkan pendapatan dalam orde ratusan triliun rupiah per tahun.

Pemikiran tersebut masuk akal, didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif. Komparatif, karena bak sumber daya alam, tradisi membatik atau seni kriya, misalnya, telah lama menjadi bagian dari budaya kita. Kompetitif, karena—mengikuti tesis Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat (2006)—dunia kini berada dalam equal playing field akibat globalisasi dan proliferasi teknologi-informasi-komunikasi (TIK).

Berikutnya, seperti diamati para futuris, ekonomi kreatif— sebagian lebih suka menyebut ekonomi inovasi dalam skop lebih luas—merupakan faktor survival kritikal bagi bangsa-bangsa.

Bab ketiga buku The Extreme Future karya James Canton (2006) dikhususkan untuk membahas ekonomi inovasi, khususnya dalam upaya baru menggapai kemakmuran. Di sana antara lain diuraikan 10 tren pembentuk ekonomi inovasi—yang pertama tertulis dalam kutipan di awal tulisan ini—yang penting untuk disimak dan diuji.

Ketika menyinggung kendala yang dihadapi Indonesia dalam upaya mengembangkan ekonomi kreatif, Menteri Mari Pangestu menyebutkan (dalam Ajang Indonesia ICT Awards, Jakarta 8 Agustus 2008) bahwa pasar ekonomi kreatif hanya akan terbentuk jika punya tingkat literasi (TIK) tinggi dan sebesar-besarnya masyarakat mengakses teknologi ini.

Keadaan di Indonesia memang belum sepenuhnya menggembirakan. Kesenjangan digital, yang antara lain ditandai rasio kepemilikan PC/laptop dibandingkan jumlah penduduk, yang lebih kurang baru 10 persen, dan penetrasi akses internet yang baru sekitar 15 persen, termasuk masih lebar. Katakan teknologi mobile/seluler memperbesar potensi di atas, dari segi jumlah pengguna—yang sekarang sekitar 125 juta—mungkin memberi peluang. Namun, tren yang ada memperlihatkan perlengkapan telepon seluler canggih lebih banyak digunakan untuk aktivitas sosial daripada pengetahuan, sampai muncul kekhawatiran meluasnya simptom continuous partial attention atau attention deficiency syndrome, yang merujuk pada kesulitan untuk berkonsentrasi karena tingginya aktivitas multitasking.

Padahal, ketersediaan dan akses TIK baru satu faktor. Menurut Canton, pendirian ekonomi inovasi juga harus diiringi ”kebebasan berpikir, kebebasan pasar, dan kebebasan berusaha”.

Kita tak harus berkecil hati karena China—yang sekarang rakyatnya masih belum bebas akibat masih dianutnya sistem komunis yang membelenggu— ternyata juga bisa mengembangkan ekonomi inovasi. Apabila Canton hanya menjadikan China sebagai satu bab dalam The Extreme Future, jurnalis finansial Rebecca Fannin memperlihatkan upaya China memenangi perlombaan teknologi, khususnya TIK, saat ini (Silicon Dragon, terjemahan BIP, 2009).

Mengomentari tulisan Fannin, Managing Director The Carlyle Group David Rubenstein mengatakan, China kini menjadi penantang terbesar AS sebagai pemimpin inovasi teknologi dan peluang investasi. Sementara penulis Om Malik meyakini China akan menjadi pusat inovasi di masa datang.

Uraian Fannin menyiratkan dunia memang akan hidup di bawah bayang-bayang Naga Silikon, dan masa depan ekstrem yang dikemukakan Canton juga akan kental mewarnai peradaban masa datang. Dalam konteks ini, memadaikah upaya pemerintah sejauh ini?

Daya inovasi

Kalau memang kunci bagi masa depan adalah inovasi, siapkah masyarakat Indonesia memasuki era ini?

Mengintip cetak biru perencanaan iptek nasional seperti yang dilakukan di Dewan Riset Nasional misalnya, memang di sana ada wacana pengembangan pemanfaatan TIK di pedesaan melalui sistem dengan judul yang mantap, yakni Rural—Next Generation Network. Tapi perlu kita pantau bersama apakah sistem ini sudah dicapai tahun 2008, dan dengan itu ”kesenjangan digital” yang ada teratasi seperti dijanjikan dalam Agenda Riset Nasional 2006-2009?

Hal sama bisa dipertanyakan dengan rencana besar seperti Palapa Ring yang ditujukan mengintegrasikan layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama untuk menutup wilayah Indonesia bagian timur yang relatif masih banyak yang menganga.

Seiring Palapa Ring, ada pula rencana menyediakan akses telekomunikasi bagi seluruh desa di Indonesia sehingga equal playing field tidak saja berlingkup global, tapi juga diwujudkan dalam lingkup nasional.

Hanya saja, semua yang kita lakukan sejauh ini memang masih menyentuh bagian dasar dari inovasi yang ingin kita rebut, karena yang coba ditanggulangi baru pada sisi fisik dan teknikal. Bagaimana daya inovasi individu—sebenarnya juga pada perangkat pelaksana negara seperti pemerintah—yang akan memainkan peran penting dalam transformasi membangun masyarakat berbasis pengetahuan?

Sebagai catatan, Pemerintah Indonesia sering masih dinilai tidak konsisten, misalnya di satu sisi mempromosikan cita-cita membangun masyarakat berbasis pengetahuan, yang harus ditopang tersedianya akses TIK yang terjangkau, tetapi ternyata tarif internet relatif mahal dibandingkan dengan negara berkembang lain.

Tampaklah, memang ada persoalan besar dalam upaya bangsa Indonesia meraih teknologi dan menjadikannya sebagai daya saing. Teknologi yang sulit— misal teknologi pertahanan, seperti sering disampaikan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono—banyak yang telah dapat dikuasai. Yang belum dikuasai di sini adalah ilmu manajemen atau mengelola urusan sehingga semua hal beres seperti dicita- citakan. Dalam kaitan ini pula kita bisa mengingat hambatan inovasi yang dikemukakan M Sahari Besari dalam bukunya, Teknologi di Nusantara—40 Abad Hambatan Inovasi (2008)

Jika kita bangsa pembelajar, sesungguhnya munculnya Naga Silikon di dekat kita, atau peringatan seperti masa depan ekstrem—ditandai antara lain dengan ekonomi jenis baru—mestinya kita sekarang sudah bangkit, gregah-gregah, menyongsongnya. Kita terus bergulat, bagaimana merespons ekonomi yang komponen utamanya adalah bit, atom, neuron, dan gen?

Kalau semua terdengar masih asing—nun jauh di sana (arcane), berarti itu pekerjaan rumah bagi masyarakat Indonesia. Eranya adalah masyarakat berbasis pengetahuan, ekonominya ekonomi inovasi/ekonomi berbasis pengetahuan, tetapi fenomenanya belum kunjung hadir di sini.

Kalau reformasi belum mampu membangun masyarakat berbasis pengetahuan, menurut Yasraf Amir Piliang (dalam Reinventing Indonesia, 2008), itu karena institusi negara yang terkait pengembangan pengetahuan, sains dan teknologi, seni dan kebudayaan pada umumnya sejauh ini berjalan sekadar memenuhi anggaran, tidak mempunyai ”roh” pengetahuan dan dorongan pencapaian, serta tidak mampu menularkan ”spirit pengetahuan” pada kalangan masyarakat luas.

Tapi, seguimos adelante. Maju terus, kita tidak ingin menyerah pada keadaan.

Sabtu, 20 Juni 2009

Plus-Minus Ujian Nasional

Menyebalkan! Itu ungkapan yang pas menggambarkan ujian nasional. Psikologis anak didik jadi mainan! UN diulang, pengumuman ditunda, bukan karena kesalahan mereka.

Orang Jawa punya ungkapan lebih pas: getem-getem. Menggambarkan kemarahan besar, tetapi tidak punya kemampuan melampiaskan. Hanya bisa makan hati.

Simak saja pion yang dimainkan. Beberapa SMA di Jawa Timur harus mengulang karena kesalahan kunci jawaban. Di daerah lain anak-anak wajib mengulang karena ulah curang guru. Di Jabar dan di Jateng hasil UN SMK belum diumumkan karena takut salah. Ada hasil mata pelajaran tertentu raib.

Sejak awal kehadiran sampai sekarang belum ada kata bulat untuk UN. Argumentasi yang pro dan yang kontra punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mendiknas menegaskan, UN jalan terus. Sampai akhirnya masyarakat mengambil sikap ”membuat yang terbaik dari yang ada”. UN mulai diterima, ditingkatkan bobot kelulusan, ditambah jumlah mata pelajaran yang diujikan.

Akan tetapi, ketika UN tahun ini berjalan semrawut, anak didik dibuat mainan. Sampai-sampai terkesan birokrat pendidikan teknis tak memiliki kepekaan pedagogis. Tidakkah mereka membayangkan psikologis anak merasa jadi mainan orang tua?

Masyarakat tahu kokohnya tembok mengukuhi kebijakan. UN yang gagal ditembus dengan segala argumentasi dipatahkan. Contoh lain Badan Hukum Pendidikan, yang tinggal menunggu paraf Presiden, hingga saat ini masih menunggu uji materi Mahkamah Konstitusi.

Program sertifikasi guru plus janji insentif yang belum diklarifikasi dengan Departemen Keuangan, sekadar menyebut dua contoh, belum lagi dikaitkan dengan kritik praksis pendidikan yang tidak berpihak pada anak didik.

Suasana sebal plus getem-getem dengan mudah dipungut sebagai bahan kampanye gratis. Salah satu capres menjanjikan akan menghapus UN. Wakil Gubernur Jatim berpendapat UN perlu ditinjau ulang.

Ibarat angin segar. Semua meniupkan angin perubahan: hapus UN. Panorama wacana spontan dan ikut arus ibarat wabah yang menular. Tanpa alasan jelas ramai-ramai berseru seragam: tinjau ulang UN.

Sebegitu gampangkah menghilangkan trauma menyakitkan? Seharusnya dalam keadaan genting semacam ini, Mendiknas tampil menjelaskan duduk soalnya. Menangani departemen teknis dengan bahan dasar lembaga kependidikan berbeda dengan utak-atik audit angka rupiah. Kalau memang UN merupakan pilihan strategis meningkatkan mutu, kenapa perlu dihentikan? Kalau UN tidak sesuai dengan kemajemukan dan tidak pedagogis, mengapa dilanjutkan?

Kita tak berharap pengumuman UN SMP hari Sabtu ini ikut menambah kebingungan. Biasakan memprogram kebijakan berdasar argumen, target, dan cara-cara yang bersemangat demokratis dan pedagogis!

Negeri yang Suka Tertawa

 

 

Oleh Indra Tranggono

 
Dramawan dan sineas Arifin C Noer pernah mengatakan: jangan sepelekan badut atau pelawak (joker) karena badut adalah ”raja kebudayaan”. Predikat itu bisa dimaknai: subyek yang memiliki otoritas kultural untuk membentuk dan membangun jiwa dan mental (karakter) masyarakat. Yakni, dengan estetika lawakan yang cerdas, visioner, dan elegan.

Memahami Srimulat bisa juga di dalam konteks cara pandang Arifin C Noer di atas. Grup lawak Srimulat kini memang sudah tidak berkibar lagi seperti pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Namun, Srimulat tetaplah tonggak grup lawak di negeri ini. Grup yang didirikan Teguh Srimulat pada tahun 1950-an ini telah membuat Indonesia tertawa dan menyadarkan bangsa ini pada nilai kemanusiaan, seperti halnya yang terbaca dalam pesan Anwari dalam kutipan di atas. Dalam konteks itu, menurut Anwari, Srimulat telah menjadi subkultur (baca: kebudayaan khusus yang timbul karena faktor daerah, suku bangsa, agama, profesi, dan seterusnya).

Srimulat tampil di dalam masyarakat urban perkotaan dengan mengusung kultur Jawa Mataraman. Kata ”Mataraman” merujuk pada jejak kekuasaan Kerajaan Mataram Baru sejak era Hadiwijaya di Pajang Jawa Tengah, Panembangan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Sultan Agung dan Amangkurat Agung di Pleret dan di Kerta Bantul, hingga Sunan Pakubuwono Surakarta dan Pangeran Mangukubumi/ Hamengku Buwono I di Yogyakarta.

Oase kaum urban

 

Kultur Jawa Mataraman, selain telah melahirkan kesenian klasik dan kesenian rakyat, juga kesenian lawak dengan genre dagelan mataram (Basiyo dan kawan-kawan) di wilayah Yogyakarta. Spirit dagelan mataram itu ”diadopsi” Srimulat secara populer. Memanfaatkan budaya pop/massa, Srimulat menemukan bahasa ungkap yang artikulatif dan komunikatif sehingga mampu membangun koneksitas yang intens dengan masyarakat urban perkotaan (Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Surakarta).

Lawakan Srimulat menjadi oase di tengah ”gurun pasir” kehidupan kaum urban yang lebih lekat dengan kultur industri daripada kuyup dengan kultur agrarisnya.

Bagi masyarakat urban perkotaan yang berasal dari Jawa, Srimulat adalah ”bilik budaya” yang selalu perlu ditengok untuk melakukan (pinjam istilah Umar Kayam) konfirmasi nilai sekaligus pengukuhan: mereka merasa tetap menjadi bagian dari komunitas Jawa.

Adapun bagi publik di luar etnis Jawa, Srimulat menjadi wahana untuk rileksasi di tengah tekanan kehidupan kota yang keras. Publik Srimulat semakin meluas ketika Srimulat menemukan panggung barunya di televisi. Semula Srimulat tampil rutin di TVRI yang waktu itu menjadi satu-satunya media massa audio-visual; kemudian mulai merambah ke stasiun-stasiun televisi swasta.

Hilangnya tobong

Tobong atau gedung pertunjukan ketoprak atau lawak semacam Srimulat kini telah hilang seiring dengan makin menguatnya pragmatisme. Masyarakat kini semakin individual dan tidak terlalu membutuhkan kultur tatap muka secara langsung. Mereka lebih memilih internet dan televisi, termasuk untuk menyaksikan kesenian.

Seiring dengan keluarnya Srimulat dari dunia panggung maupun studio televisi, Indonesia tetaplah negeri yang suka tertawa. Bahkan untuk hal-hal yang konyol atau sengaja dibuat konyol. Buktinya, paket-paket acara komedi (tepatnya banyolan) cukup diminati penonton. Grup-grup lawak dari anak-anak muda pasca-Prambors DKI dan Bagito bermunculan dari audisi lawak televisi.

Juga muncul dagelan pop Extravaganza, Tawa Sutra, Opera van Java, Suami-suami Takut Isteri, dan lainnya. Pelaku atau pelawak-pelawaknya mencoba menggunakan resep: perpaduan antara humor/dagelan/kelucuan/kekonyolan dengan hal-hal yang sensasional, seperti tubuh wanita.

Lalu di mana Srimulat? Kelompok yang loyal pada jalur ideal sebuah lawakan itu? Secara pribadi pelawak-pelawak eks Srimulat mereka mungkin survive. Namun sebagai kekuatan kelompok yang menggetarkan dan historis, Srimulat kini tinggal kenangan.

Lawakan subversif

Indonesia memang masih menjadi negeri yang suka tertawa. Namun, kini tawa yang muncul benar-benar karena kekonyolan hidup sebenarnya. Bukan kekonyolan artifisial yang muncul karena kreativitas yang dihasilkan pelawak di atas panggung.

Karena itu, kritisisme dunia lawak sebenarnya adalah semacam tindakan ”subversif” para seniman lawak terhadap realitas formal, umum dan mapan yang ada di masyarakat. Tawa yang meledak pun tidak lagi sekadar impuls motorik yang fisikal, dan hanya berisiko mengguncang atau mengencangkan perut. Dalam lawak subversif itu ada gelombang energi yang diam-diam bergerak dan menjalar dalam pikiran, dalam hati, dalam kemanusiaan, sehingga orang bukan hanya mengalami katarsis, tetapi juga tercerahkan.

Krisis lawak

Saat ini, lawak(an) cenderung hanya menjadi komoditas industri yang kurang tertarik pada kritisisme. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kritisisme dalam kesenian, termasuk lawak, tidak lagi dibutuhkan karena sudah ”diwakili” pers yang bebas dan forum-forum lain. Sebagian masyarakat lain menganggap kritisisme dalam kesenian dibutuhkan dalam setting masyarakat.

Kebutuhan itu muncul karena kritisisme dalam kesenian memiliki pola ungkap estetik dan simbolik yang mampu menyentuh emosi dan kognisi publik. Hal itu lahir dari proses transformasi estetik dengan kemampuan atau daya gugah yang tinggi. Kapasitas semacam ini terbukti lebih kuat dan efektif ketimbang misalnya pernyataan-pernyataan sloganistik dari kalangan politik, akademis, atau aktivis sosial.

Maka, ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ”jual-beli” kekuasaan, seni lawak perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner, dan elegan.

Seni lawak mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya. Pada pemuliaan manusia. Peran semua yang berkepentingan dibutuhkan. Dan mesti segera dimulai. Andakah yang pertama? 

Indra Tranggono Cerpenis dan Pemerhati Kebudayaan, Tinggal di Yogyakarta

Kamis, 18 Juni 2009

Sekolah Gratis ibarat Tong Kosong


Sekolah gratis yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah ternyata tak berjalan dengan baik. “Sekolah gratis yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah ibarat tong kosong karena tidak didukung oleh modal yang memadai. Selama ini pemerintah hanya mengunggulkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal BOS hanya dapat meng-cover 30 persen biaya pendidikan,” ujar Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan pada “Diskusi Mengkaji Kebijakan Pendidikan Nasional: Sekolah Gratis vs Sekolah Mahal,” di Jakarta, Kamis (7/5).
Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Depdiknas, untuk menuju sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar Rp 1,8 juta per siswa SD per tahun dan Rp 2,7 juta per siswa SMP per tahun. Sementara itu, anggaran BOS yang disediakan oleh pemerintah untuk SD di kota baru sebesar Rp 400.000 per siswa per tahun dan untuk SD di kabupaten sebesar Rp 397.000 per siswa per tahun. BOS untuk SMP di Kota sebesar Rp 575.000 per siswa per tahun dan SMP di Kabupaten sebesar Rp 570.000 per siswa per tahun.

Ade menambahkan, anggaran untuk pelaksanaan wajib belajar sebesar Rp 31 triliun ini justru menyebar ke hampir seluruh direktorat, seperti ke Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan data yang dihimpun ICW sepanjang tahun 2008, ada 36 kasus korupsi di Depdiknas dengan tersangka sebanyak 63 orang. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 134,2 miliar. “Anggaran yang sudah kecil masih juga dikorupsi berjamaah. Pelaku korupsi paling banyak di dinas pendidikan dengan modus mark up dan penyalahgunaan keuangan,” tambahnya.

Sementara itu, pakar pendidikan Soedijarto mengatakan, di Indonesia sebenarnya belum ada wajib belajar, sebab masih banyak anak-anak yang tidak sekolah. Sekolah masih sangat diperlukan, sebab para pendiri negara ini sudah menetapkannya dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dan dalam Pasal 31 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Dia menambahkan, Indonesia telah tertinggal selama 400 tahun. Menurutnya, hanya mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Eropa seperti AMS yang mengenal peradaban modern.

Hal senada juga diutarakan oleh pakar pendidikan HAR Tilaar. Dia menilai, masih ada jutaan anak Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan dengan baik. Saat ini, lanjut Tilaar, malah banyak sekolah dibangun dan diperuntukan bagi anak-anak orang kaya. Karena itulah bermunculan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). (stevani elisabeth)

Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Depdiknas, untuk menuju sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar Rp 1,8 juta per siswa SD per tahun dan Rp 2,7 juta per siswa SMP per tahun. Sementara itu, anggaran BOS yang disediakan oleh pemerintah untuk SD di kota baru sebesar Rp 400.000 per siswa per tahun dan untuk SD di kabupaten sebesar Rp 397.000 per siswa per tahun. BOS untuk SMP di Kota sebesar Rp 575.000 per siswa per tahun dan SMP di Kabupaten sebesar Rp 570.000 per siswa per tahun.

“Keadaan ini menunjukkan masih ada sekitar Rp 1,4 juta biaya yang harus ditanggung oleh orang tua,” lanjut Ade. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo agak narsis dalam mengiklankan sekolah gratis di media massa. Sekolah gratis yang digembar-gemborkan pemerintah justru menimbulkan pertanyaan, apa benar pemerintah sudah insyaf atau ini hanya sekadar janji lima tahunan saja?

Ade menambahkan, anggaran untuk pelaksanaan wajib belajar sebesar Rp 31 triliun ini justru menyebar ke hampir seluruh direktorat, seperti ke Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan data yang dihimpun ICW sepanjang tahun 2008, ada 36 kasus korupsi di Depdiknas dengan tersangka sebanyak 63 orang. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 134,2 miliar. “Anggaran yang sudah kecil masih juga dikorupsi berjamaah. Pelaku korupsi paling banyak di dinas pendidikan dengan modus mark up dan penyalahgunaan keuangan,” tambahnya.

Sementara itu, pakar pendidikan Soedijarto mengatakan, di Indonesia sebenarnya belum ada wajib belajar, sebab masih banyak anak-anak yang tidak sekolah. Sekolah masih sangat diperlukan, sebab para pendiri negara ini sudah menetapkannya dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dan dalam Pasal 31 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Dia menambahkan, Indonesia telah tertinggal selama 400 tahun. Menurutnya, hanya mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Eropa seperti AMS yang mengenal peradaban modern.

Hal senada juga diutarakan oleh pakar pendidikan HAR Tilaar. Dia menilai, masih ada jutaan anak Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan dengan baik. Saat ini, lanjut Tilaar, malah banyak sekolah dibangun dan diperuntukan bagi anak-anak orang kaya. Karena itulah bermunculan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). (stevani elisabeth)

Sinar Harapan, Jumat 8 Mei 2009

http://www.sinarharapan.co.id/detail/article/sekolah-gratis-ibarat-tong-kosong/

Pendidikan Nasional Indonesia


Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan lima komitmen yang harus dipegang dalam membangun koalisi. Sungguh merisaukan, pendidikan nasional tidak termasuk dalam komitmen tersebut. Lebih merisaukan lagi bila diingat, di antara ke tiga puluhan parpol peserta pemilu legislatif hanya satu (Gerindra) yang menampilkan pendidikan secara eksplisit dalam program kerjanya. Namun, ternyata tidak digubris oleh rakyat pemilih.

Bila rakyat biasa tidak menaruh perhatian secukupnya pada pendidikan, dapat dipahami. Walaupun pendidikan adalah masalah setiap orang, memang tidak semua mengerti pendidikan. Namun, tidak bisa dimaafkan kalau parpol yang sampai tidak concern pada pendidikan. Bukankah parpol-parpol pada berebutan kekuasaan demi mendapat hak memerintah, hak mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Sedangkan pendidikan, menurut natur kerjanya, yang membangun masa depan negara dan bangsa, melalui kemampuan berpikir dan berbuat dari para warga yang dibinanya.

Efektivitas pendidikan nasional tidak hanya menyangkut masalah kecukupan anggaran, persekolahan gratis, BHP, sekolah bertaraf internasional (SBI), otonomi sekolah, sertifikasi guru, dan ujian nasional. Jauh lebih penting dan menentukan daripada semua praksis pembelajaran itu, pendidikan nasional memerlukan satu konsep relevan, berarti futuristis. Dengan begitu, bukan hendak melupakan saja masa lalu.

Kita adalah makhluk memori dan imajinasi, sebagian dari kekinian kita adalah juga masa lalu dan masa depan. Kita tidak pernah seluruhnya dalam masa kini, kecuali selaku anak-anak, karena mungkin, pembawaan kita adalah selalu bertransendensi. Kita dapat hidup dalam memori masa lalu, masa lalu kita sendiri, atau masa lalu orang lain melalui memori historis. Kita bisa mengimajinasikan diri sendiri sebagai orang lain, tidak hanya bagai dalam mimpi melek (waking dream), tetapi juga dalam arti lebih substansial. Kita pun mampu memproyeksikan diri ke masa depan. Apa “yang belum” benar-benar merupakan bagian dari diri kita sebagaimana “yang tidak lagi”. “Kekinian” kita terdiri atas hal-hal tersebut plus lain-lain lagi.

Konsep pendidikan perlu berpembawaan futuristis, karena dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, setiap gerak pembangunan diarahkan ke masa depan dan setiap orang akan menjalani sisa hidupnya pada masa depan. Maka pendidikan, melalui konsepnya, harus terpanggil menyiapkan masa depan itu.

Manusia Terdidik

Perbuatan transendental ini bukan hal yang baru bagi bangsa kita. Founding fathers dari Republik Indonesia telah melakukan hal ini semasa masih di alam penjajahan dahulu berkat kearifannya selaku manusia terdidik (educated man). Dengan mewujudkan pendidikan yang berkonsep futuristis berarti sebagian dari mereka telah menjalani periode ketika apa yang belum terjadi menjadi lebih riil bagi kehidupan batin dan keyakinan mental daripada apa yang segera ada di tangan.

Jangan lupa bahwa generasi sekarang yang sudah hidup di alam kemerdekaan dan banyak sedikit telah menikmatinya, adalah berkat pendidikan yang diusahakan oleh para pendekar kemerdekaan tersebut. Beberapa orang dari mereka yang belajar di Belanda, sepulang dari sana sejak awal tahun 20-an, abad yang lalu, membangun sekolah berhaluan nasional di kampung halaman masing-masing. Dilihat dari sudut pandang, sa at itu, sekolah-sekolah tersebut melaksanakan konsep pendidikan yang berpembawaan futuristis. Sebaliknya, pihak pemerintahan penjajah mencapnya sebagai “sekolah-sekolah liar” (wilde scholen).

Willem Iskander membuka sekolah guru di Tano Bato, Mandailing. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, Mohammad Sjafei membangun Indonesische Nijverheid School (INS) di Kayutanam, Minangkabau. Drs Mohammad Hatta mengusahakan gerakan politis “Pendidikan Nasional Indonesia” (PNI) yang kemudian dibantu oleh Sutan Sjahrir. Bagi kedua tokoh pergerakan ini, rupanya partai dipikirkan tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan politik, tetapi sekaligus sebagai sarana pendidikan bagi para kader untuk berpolitik dan berdemokrasi secara correct. Suatu pikiran yang kiranya kurang, bahkan sama sekali, tidak diemban oleh tokoh-tokoh politikus, dewasa ini.

Beberapa pendekar kemerdekaan lainnya, selain tergolong cendekiawan, adalah juga pendidik dengan cara masing-masing, seperti Dr Soetomo, Dr Wahidin Soedirohoesodo, Dr Douwes Dekker, Dr Danoedirdjo Setjaboedi, dan Ki Mangoensarkoro.

Apakah tidak merisaukan, dewasa ini, mengetahui menipisnya tanggung jawab warga terhadap kehidupan publik, tidak hanya di kalangan mereka yang pernah sulit mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga di kalangan mereka yang pernah memperoleh dukungan beasiswa, jadi dana publik, hingga ke studi tingkat doktorat dan di kalangan keluarga berada yang menanggung sendiri seluruh biaya pendidikannya.

Apakah tidak mengkhawatirkan menyaksikan betapa tidak sedikit warga terpelajar yang memperlakukan Tanah Air hanya sebatas artian fisik dan formal, tetapi tidak dalam artian mental. Tanah Air dalam artian fisik adalah tempat berpijak, medan pencarian nafkah dan sumber kehidupan serta taman penguburan jasad yang tidak bernyawa. Tanah Air dalam artian formal, adalah otoritas yang memberikan identitas dan legalitas perbuatan bagi warga. Tanah Air dalam artian mental adalah entitas luhur yang kepastian kelangsungan eksistensinya diharapkan menjadi pemikiran pribadi warga, masalah yang dihadapinya seharusnya menjadi keprihatinan personal dan ada kesediaan pribadi menanggung tanpa pamrih tuntutan solusi masalah tersebut di bidang apa pun.

Mencemaskan

Sungguh mencemaskan melihat betapa otoritas tertinggi di bidang pendidikan, setelah menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”, justru memfasilitasi pembentukan “Sekolah Berbasis Internasional” (SBI) dengan anggaran yang relatif lebih besar daripada rata-rata anggaran “sekolah nasional” yang keadaannya semakin memprihatinkan. Sedangkan ukuran keinternasionalan dari SBI itu sendiri cukup ambigu dan pasti sangat kerdil bila ia hanya berupa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Apakah murid-murid di situ diajari menyanyikan himne nasional “Indonesia Raya” dalam bahasa Inggris supaya kedengarannya lebih afdol?

Sungguh heran melihat departemen ini menghamburkan dana kerja untuk beriklan ria tentang “sekolah gratis” yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, tentang “sekolah harus bisa”, padahal sekolah pasti tidak bias, karena yang bisa itu adalah pendidikan yang berkonsep futuristis. Ketimbang meninabobokan rakyat dengan kebohongan dan kekeliruan, bukankah lebih efektif kalau dana itu dipakai untuk memperbaiki sarana fisik pendidikan yang rusak begitu parah (atap sekolah bocor). Bahkan sudah pernah terjadi insiden yang mencelakakan murid (gedung sekolah roboh).

Sekolah perintis guru di Tano Bato Mandailing sudah lenyap. Seperempat abad kemudian (1982) di atas bekas fondasi bangunannya, seorang pengusaha idealis, Siin Irawadhy, membangun sebuah Sekolah Menengah Teknik lengkap dengan peralatan belajarnya. Setelah sang idealis ini meninggal, penduduk setempat tidak mampu mengoperasikannya sebagai lembaga pendidikan teknik unggulan. Sekolah INS Kayutanam masih ada, namun tanpa semangat juang dari pendiri awalnya, ia tidak bisa disebut lagi sebagai sekolah model.

Gerakan “Pendidikan Nasional Indonesia” sudah tidak ada lagi. Demikian pula para pendiri dan pengasuhnya dahulu. Yang masih tetap berkiprah di seluruh Nusantara, tidak tanpa kesulitan, adalah perguruan Taman Siswa.

Kini, para politikus dengan parpolnya hanya berminat pada kekuasaan yang inheren dengan kekuatan parpol, tidak concern pada misi suci (mission sacrée) yang inheren dengan kekuasaan tadi, yaitu kerja mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka Taman Siswa terpanggil untuk menanganinya, mengulang kerja bakti Ki Hajar Dewantara.

Dia dahulu telah memelopori pendidikan nasional futuristis bagi generasi mendatang, yang tak lain daripada kita-kita ini, yang berkesempatan menghirup udara merdeka. Kini, Taman Siswa perlu mewujudkan pendidikan nasional futuristis bagi generasi mendatang, penerus kita dalam mengisi kemerdekaan. Seperti halnya pada zaman penjajahan dahulu, kini kelihatannya Taman Siswa harus pula bekerja sendirian. Mais la noblesse oblige!

Daoed Joesoef

Penulis adalah alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Politik dan Pendidikan


Tim sukses Mega-Pro mengklaim, IQ capres Megawati tertinggi. Apakah IQ, standar kecerdasan ini memang menentukan sekali derajat kepemimpinan dari seorang kepala negara dan/ atau kepala pemerintahan sebuah republik?

Kalau kita berbicara tentang “republik”, pikiran kita melayang ke “republik” dari Plato. Filsuf besar Yunani Purba ini, dalam pemaparannya di situ, tidak hanya concerned dengan para pemimpin politik, tetapi juga dengan kelayakan pendidikan mereka. “Philosopher Kings” dari negara imajiner Plato ternyata dipikirkan olehnya terutama sebagai pendidik, bukan negarawan atau politikus dalam artian modern. Berarti perolehan pendidikan yang layak, seperti yang dipikirkannya, tidak hanya relevan bagi politikus, tetapi juga bagi seniman. Tidak berlaku melulu bagi ilmuwan, tetapi juga bagi jenderal, pokoknya bagi semua warga yang merasa terpanggil untuk berperan aktif dalam jalannya kehidupan bersama.

Socrates kiranya berpendapat lain. Setelah menggarisbawahi pentingnya sikap yang alami, sesudah membubuhi kemampuan inheren itu dengan tuntutan pengujian kebugaran jasmani, kecintaan belajar, daya ingat, dan ketegaran intelektual, dia mengemukakan suatu kualitas lain yang tak terelakkan, yang pada tingkat pertama harus dimiliki oleh orang agar menjadi pemimpin yang didambakan dari suatu negara yang ideal. Kualitas yang diniscayakan itu adalah “tanggap terhadap keseluruhan”, a sense of the whole.

Mengingat kualitas kepemimpinan tersebut begitu penting bagi kehidupan bernegara, Socrates menganggap hal ini menjadi urusan pendidikan. Dia yakin, disposisi seperti itu sudah membayang sejak kanak-kanak. Maka, dia menganjurkan adanya suatu pengamatan yang berkesinambungan, bersih dari pemaksaan, terhadap anak-anak guna mendeteksi siapa di antara mereka yang tentu berjumlah sedikit, yang menunjukkan berpotensi punya “tanggap terhadap keseluruhan”.

Pengamatan seperti ini, menurut kesimpulan saya, ada di sekolah elite, Eaton, di Inggris. Hal itu dilakukan terutama ketika murid-murid bekerja menyelesaikan suatu tugas kolektif secara berkelompok, baik di dalam maupun di luar kelas. Maka, bukan kebetulan kalau ada pemeo beredar di Eropa sesudah perang dunia pertama, berbunyi: Engeland win the war at the yard of Eaton. Artinya, usaha Inggris memenangi perang terwujud berkat usahanya di halaman sekolah Eaton, bukan di halaman Akademi Militer Sandhurst. Pengamatan yang sama juga dilakukan di lingkungan kepanduan sebagaimana yang dikembangkan oleh Lord Baden Powell.

Bila dipaparkan dalam bahasa kontemporer, menurut filsuf pendidik J Glenn Gray, kualitas remaja yang disebut sense of the whole adalah kesediaan merespons tuntutan waktu dan situasi yang dihadapinya. Anak-anak yang tanggap terhadap keseluruhan tidak sekadar suka hidup berkelompok, juga yang personalitasnya tidak bertipe eksekutif.

Sebaliknya, dia adalah individu yang mengurus dengan penuh perasaan, yang concern pada kesejahteraan orang lain, dan punya simpati intuitif terhadap perbedaan-perbedaan dengan dirinya, serta membutuhkan pengalaman pendidikan yang berlainan.

Dia cepat menyadari bahwa pendidikan berarti saling berbagi dan bahwa realisasi diri pribadi dapat terjadi hanya dalam fokus pada komunitas. Individualitas adalah tujuan dari sepak terjangnya. Baik individualisme maupun kolektivisme konformis tidak akan dapat menyelewengkannya dari jalur kepentingannya yang murni.

Pendek kata, a sense of the whole berarti sangat peduli pada distingsi orang-orang lain, pada hak-hak mereka mengembangkan diri, menurut cara pilihannya sendiri, tetapi juga punya kaitan dengan dirinya dalam konteks komunitas. Ini adalah suatu kapasitas untuk mengakui bahwa orang yang ingin menemukan dirinya sendiri harus lebih dahulu kehilangan dirinya sendiri, suatu frase yang cocok bagi pendidikan sebagaimana juga bagi pembebasan religius.

Pendidikan Nasional

Bung Hatta yang sangat mendalami alam pikiran Yunani Purba dan menulis buku tentang hal itu, pasti telah memahami buah pikiran Plato dan Socrates, termasuk yang menyinggung kaitan antara politik, kenegaraan, kepemimpinan, dan pendidikan.

Begitu tiba kembali di Indonesia di awal tahun 30-an abad lalu, dia membentuk suatu gerakan yang dinamakannya “Pendidikan Nasional Indonesia” (PNI). Dia sengaja menyebut “pendidikan” dan bukan “politik atau Partai”, walaupun ada yang menertawakan organisasi ini sebagai “sekolahan-sekolahan”. Dia tidak berkecil hati, tetapi dengan tegas menyatakan bahwa memang kita mau bersekolah dahulu, bersekolah untuk membentuk budi pekerti, bersekolah dalam memperkuat iman karena politik memang memerlukannya.

Melalui pendidikan, Bung Hatta ingin rakyat mendapat keyakinan bahwa tidak saja pemimpin harus tahu kewajibannya, tetapi juga rakyat semuanya. Sebab kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai oleh perjuangan pemimpinnya saja, tetapi oleh usaha dan keyakinan rakyat banyak. Sudah banyak “isme” yang datang ke Indonesia, tetapi tidak ada yang begitu dirasakan oleh rakyat seperti cita-cita “Kedaulatan Rakyat”.

Melalui pendidikan, Bung Hatta menghendaki agar dalam rapat umum dan rapat kursus kader jangan dilakukan agitasi. Yang diutamakan adalah pemberian petunjuk dengan jalan menganalisis realitas. Sebab dengan agitasi memang mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang.

Kerap kali kegembiraan sementara itu lekas lenyap. Demokrasi dan agitasi saja adalah mudah, karena tidak menghendaki kerja dan usaha terus-menerus. Agitasi baik sebagai pembuka jalan. Namun, pendidikan yang membimbing rakyat ke organisasi! Maka, kita membutuhkan pendidikan yang benar. Yang perlu diusahakan sekarang adalah pendidikan.

Melalui pendidikan, Bung Hatta bertekad memberikan kepada para kader kursus yang relevan dan fungsional. Kursus tidak dilakukan sebagai indoktrinasi, tetapi sebagai pendidikan yang mencerahkan. Mereka baru diakui sebagai anggota pergerakan setelah “maju” dalam ujian. Adapun, pokok-pokok ujian meliputi: pertama, sejarah umum Indonesia, terutama sejarah pergerakan nasional, termasuk pengetahuan tentang perbedaan antara politik kooperasi (kerja sama) dan nonkooperasi dengan penjajah. Kedua, imperialisme dalam pertumbuhannya. Ketiga, kapitalisme dalam perkembangannya. Keempat, kolonialisme dan kelima, kedaulatan rakyat.

Gerakan “Pendidikan Nasional Indonesia” berpusat di Bandung. Dalam usahanya ini Bung Hatta dibantu oleh beberapa tokoh pergerakan nasional dan nonkooperator, seperti St Sjahrir, Hamdani, Maskun, Burhanuddin, Inu Perbata- sari, Murwoto, Suka, dan beberapa orang lagi.

Perlu kiranya direnungkan, apakah sikap tokoh-tokoh politikus yang tinggal di daerah elite dengan gaya hidup borjuis dan lalu memilih tempat pembuangan sampah, yang nota bene adalah kotoran kehidupan mereka, sebagai forum pendeklarasian tekad politik, dapat dikatakan tanda jenuin dari sense of the whole mereka, kepedulian mereka terhadap nasib wong cilik? Apakah ini bukan contoh dari adanya eksploitasi secara sadar terhadap ketidaktahuan rakyat kecil dalam berpolitik secara benar, karena kurang dididik selama ini?

Apa pun jawabannya, yang jelas adalah bahwa berpolitik tanpa pendidikan pendahuluan yang relavan akan menyesatkan republik dan menanggalkan demokrasi dari maknanya yang jenuin.

Daoed Joesoef
Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Tentang Sekolah Bertaraf Internasional


Undang-Undang Sisdiknas 2003 memperkenalkan klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB). Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD.

Kebijakan ini pun kemudian ”rame-rame” direspons oleh sekolah-sekolah di Tanah Air. Syamsir Alam (2008) menyebut pada tahun 2004/2005, SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Labschool mulai mengadopsi silabus Cambridge Advance Level (A Level) guna memperkaya kurikulum nasional pada siswanya. Selanjutnya program yang sama diperkenalkan di SMA Negeri 8 Jakarta, SMA Negeri 21 Jakarta, dan SMA Negeri 68 Jakarta.

Sebagaimana diketahui, program Cambridge A Level merupakan golden standard-nya Cambridge International Examination (CIE) yang sertifikatnya sudah diakui sejumlah universitas unggulan (ivy league) mancanegara, seperti University of Cambridge, Oxford University, Harvard University, MIT, dan Stanford University. Kelebihan lain dari program ini adalah pembelajaran dan penilaian Cambridge IGCSE lebih menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, menumbuhkan pemikiran kreatif, dan autentik (contextual learning).

Saat ini sekolah bertaraf internasional (SBI) itu sudah tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Air. Diperkirakan, menjelang berakhirnya tahun anggaran 2009, jumlah SBI akan mencapai 260 sekolah, terdiri dari SMA 100 sekolah, SMP (100), dan SMK (60).

SBI Pemicu Kesenjangan

Sebenarnya inti dari SBI ini adalah semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural. Guru dalam SBI didesain sebagai sosok yang sangat paham makna dari konsep pembelajaran deep-learning, higher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajar an rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah.

Sementara itu, kemajuan pada siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, dan berani menghadapi risiko.

Meskipun SBI ini merupakan salah satu bentuk terobosan Depdiknas untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia, namun tak bisa dipungkiri ada beberapa hal yang cukup merisaukan dengan berkembangnya SBI ini di Indonesia.
Pertama, munculnya kesenjangan di antara peserta didik. Jika SBI ini diterapkan dengan pembiayaan penuh dari pemerintah dan diperuntukkan seluruh siswa di Indonesia, mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Sekolah-sekolah yang mulai membuka “jalur” SBI ini nyatanya memungut dana belasan juta rupiah bagi setiap siswa yang ingin masuk jalur ini.

Di Bogor misalnya, untuk bisa masuk SMP berlabel SBI, orang tua siswa harus menyetor sekitar Rp 12 juta sebagai dana masuk, belum lagi SPP bulanan dan biaya lainnya yang tentu untuk mengejar standar internasional butuh dana tidak sedikit. Untuk SMA lebih besar lagi. Mahalnya kelas SBI jelas hanya bisa dijangkau oleh orang tua berpenghasilan besar. Jika demikian bagaimana dengan siswa cerdas yang orang tuanya hanya pedagang sayur, tukang becak, atau buruh cuci, tidakkah siswa ini berhak mengenyam SBI? Tidakkah mereka berhak atas masa depan yang cerah dengan mencicipi pendidikan berkualitas?

Belum lagi efek psikologis yang bakal diderita siswa lain di luar kelas SBI. Betapa tidak, dalam satu sekolah yang sama, pagar dan gedung yang sama harus dibedakan statusnya sebagai siswa SBI yang notabene berkelas/keren, dengan siswa berstatus biasa. Ini yang terjadi dengan salah satu SMA di Bogor, di mana siswa-siswa dari orang tua berduit begitu melaju dengan berbagai program pembelajaran kelas internasional, sementara tak sedikit rekan mereka yang hanya bisa “melongo” menyaksikan ketidakadilan nasib.

Terkesan Buru-buru

Kedua, terobosan ini terkesan buru-buru dijalankan Depdiknas. Ini tampak dari munculnya berbagai problem manajemen tatkala kecepatan sekolah-sekolah dalam melakukan perubahan (mengadopsi silabus pembelajaran dan penilaian asing) masih belum diimbangi dengan upaya yang sistematis untuk memperkuat dan meningkatkan mutu sumber daya kependidikan (kepala sekolah, guru, dan manajemen), membangun sistem kontrol dan akuntabilitas atas seluruh kegiatan akademis dan administrasi keuangan sekolah.

Akibatnya, pertumbuhan SBI yang begitu cepat itu malah menimbulkan masalah, kontraproduktif, dan kehilangan arah. Dengan hilangnya pesan perubahan, yang sebelumnya tercermin dari perubahan manajemen sekolah yang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif, program SBI ini malah hanya membawa kecemasan baru di masyarakat. Semestinya Depdiknas terlebih dulu melakukan pemetaan, pengkajian dan persiapan dari segala sisi sebelum menggulirkan program tersebut, sehingga keresahan tak menjalar di masyarakat.

Niat pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air memang patut kita berikan apresiasi. Namun, pemerintah jangan hanya sebatas menggulirkan target-target pencapaian makro yang dilengkapi dengan paket-paket kebijakan umum, namun kemudian melempar tanggung jawab pelaksanaan (termasuk aspek pendanaan) kepada masyarakat. Karena hal itu pada akhirnya tidak saja membebani masyarakat dengan mahalnya biaya pendidikan, namun juga akan menciptakan jurang kesenjangan, dan membiarkan anak-anak dari kalangan miskin tergilas dalam kompetisi lantaran ketiadaan dana.

Jika sudah demikian maka lingkaran kemiskinan pengetahuan akan terus berputar-putar di dalam arena kehidupan orang-orang tak berpunya. Kesempatan untuk memperbaiki nasib melalui pendidikan tidak akan pernah terwujud karena lagi-lagi mereka harus menerima nasib sebagai orang miskin yang tak bisa mengenyam pendidikan mahal.

Sebenarnya kualitas pendidikan itu yang ingin diraih, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan berkualitas di negeri ini identik dengan biaya mahal. Kecuali jika pemerintah mau mengubah paradigma itu.

FAHMI FAHRIZA
Direktur KALAM Center Bogor.

Budaya Baca Indonesia Terendah di Asia Timur

 


SURABAYA, KOMPAS.com--Budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), kata Kepala Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Arini.

Saat berbicara dalam seminar "Libraries and Democracy" digelar Perpustakaan Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya bersama Goethe-Institut Indonesien dan Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) di Surabaya, Rabu, dia mengatakan, OECD juga mencatat 34,5 persen masyarakat Indonesia masih buta huruf.

"Karena itu, pengembangan minat baca merupakan solusi yang tepat, apalagi anak SD yang dibiasakan dengan budaya baca dan tulis memiliki prestasi tinggi dibanding anak SD yang selama enam tahun tidak dibiasakan dengan budaya baca dan tulis," katanya dalam seminar yang juga menampilkan pakar perpustakaan dari Jerman Prof Dr Phil Hermann Rosch itu.

Menurut dia, pembiasaan membaca dan menulis itu harus dilakukan dengan program pemaksaan pinjam buku di perpustakaan, lalu diberi tugas membuat kesimpulan dari buku yang dipinjam.

"SD swasta yang melaksanakan hal itu umumnya memiliki prestasi yang sangat memuaskan dibandingkan sekolah negeri yang belum memiliki kebiasaan itu," katanya.

Oleh karena itu, katanya, Perpustakaan Kota Surabaya mengembangkan program ke arah sana, di antaranya membuka perpustakaan selama tujuh hari dalam seminggu.

"Kami juga mengembangkan program pembinaan perpustakaan yang ada dengan pengadaan 157.095 buku setiap tahunnya, sekaligus melatih pustakawan yang ada," katanya.

Program lain yang sangat penting adalah pengembangan "Sudut Baca" di berbagai kawasan publik seperti puskesmas, balai kelurahan, perkantoran, perusahaan, dan pusat-pusat keramaian.

"Karena itu, kami merancang rancangan peraturan daerah untuk penyediaan fasilitas sudut baca di berbagai lokasi layanan publik di Surabaya," katanya.

Senada dengan itu, pakar perpustakaan dari Jerman Hermann Rosch menyatakan, perpustakaan itu menunjang pembelajaran sepanjang hidup, pengembangan pandangan yang tak muncul di permukaan, dan mendukung transparansi.

"Perpustakaan itu tidak hanya berfungsi pendidikan, tapi juga sosial, politik, dan informasi. Fungsi sosial terkait dengan pengembangan emansipasi, sedangkan fungsi politik terkait dengan kompetisi ide dan transparansi. Untuk fungsi informasi terkait dengan upaya mendorong keterbukaan dalam masyarakat," katanya.


Sumber : Ant

Minggu, 14 Juni 2009

Karya Abadi Plato: Untuk Abadinya Persahabatan



FRANZ MAGNIS-SUSENO SJ

Salah satu keanehan filsafat adalah dia tak pernah selesai dengan pertanyaan. Dalam ilmu-ilmu empiris—kimia, ilmu hayat, ilmu fisika—sekali sebuah masalah dipecahkan, masalah itu dapat dilupakan.

Sesudah diketahui bakteri apa yang menyebabkan penyakit tuberkulosis, terkaan para peneliti sebelumnya akan dilupakan dan para dokter mendasarkan diri pada penemuan itu. Para ahli akan maju ke masalah baru.

Namun, pertanyaan filosofis, misalnya tentang apa dan siapa manusia, apa yang membuatnya bahagia, atau apa arti persahabatan, tak pernah selesai. Untuk menjawabnya, filsafat selalu kembali ke akar-akarnya.

Pemikiran dari ribuan tahun lalu tetap, tidak hanya menarik, tetapi dapat membantu mengolah pertanyaan hakiki pada abad ke-21 pun. Karena itu pemikir-pemikir yang sudah ratusan tahun lalu meninggal—yang hidup dalam dunia sedemikian berbeda dari dunia kita sekarang—tetap dipelajari siapa pun yang butuh jawaban mendasar bagi kehidupan ini.

Kebutuhan demikian lebih lagi berlaku pada pemikiran dua raksasa filsafat Yunani kuno, Plato dan Aristoteles. Baik mengenai filsafat manusia, etika, filsafat politik, filsafat ketuhanan, maupun filsafat ilmu atau epistemologi, semua aktivitas berfilsafat kita sekarang selalu masih kembali kepada mereka.

Oleh karena itu, penerbitan buku ini, terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari karya Plato, merupakan peristiwa menggembirakan. Oleh banyak filosof, Plato dianggap filosof Yunani kuno paling besar dan salah satu dari lima filosof paling penting segala zaman. Kedalaman refleksinya yang jernih, keluasan cakupan masalah kemanusiaan yang diangkat, ketajaman argumentasi, dan, ini pun khas bagi Plato, humornya membuat pembacaan atas tulisannya menjadi pengalaman mengasyikkan.

Dialog sejati

Teks yang diterjemahkan ini, Lysis, diperkirakan ditulis Plato waktu ia masih muda. Lysis adalah dialog, seperti hampir semua tulisan Plato. Sokrates, yang selalu menjadi corong Plato dalam dialog-dialognya, sedang berjalan di taman Akademia—sekolah di mana Plato mengajar. Di situ ia bertemu dengan beberapa pemuda dan mulai berdiskusi dengan mereka. Masalah yang mereka persoalkan adalah persahabatan. Dan berkembanglah pembicaraan.

Persahabatan, dekat sekali dengan cinta, merupakan salah satu dimensi paling penting kemanusiaan. Dalam persahabatan, tak kurang dari ciri sosial hakikat manusia menemukan puncaknya. Persahabatan berarti begitu banyak, kegagalannya begitu memukul, dan kasihan orang yang tidak punya sahabat!

Segi lain pentingnya buku Lysis ini adalah sebagai ”demonstrasi” sebuah dialog hakiki. Lysis adalah dialog sejati, bukan traktat yang demi main-main diberi bentuk dialog. Meskipun Sokrates dengan segala kepintarannya mengemudikan arah dialog itu, dialog itu kelihatan tidak mempunyai arah yang jelas. Tetap bebas. Lain dari, misalnya, uraian Aristoteles tentang persahabatan dalam buku 8 dan 9 Etika Nikomacheia, dialog Lysis tidak maju secara sistematik, tetapi berliku-liku, ada pendapat silang, loncatan dalam argumentasi, dan kesimpulan yang sepertinya tidak dapat disimpulkan. Jadi, bukan hasil kesimpulan dari dialog Lysis itulah yang terpenting, melainkan dialognya sendiri. Kita jadi berpikir terus, seakan-akan terus ingin nyeletuk, ”Kok begitu!”, ”Kok jawabannya seperti itu!”, ”Apa tidak kacau argumentasinya?”

Seperti ditekankan Setyo Wibowo, sang penerjemah, tulisan ini justru bukan tulisan maieutik. Gaya maieutik adalah gaya Sokrates berdialog, yang bagaikan ”bidan” mengantar lawan bicara untuk dengan sendirinya menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dialog Lysis seperti debat tendang bola pendapat dan tanpa jawaban terang benderang. Justru itulah Plato. Selesai kita membaca teksnya, kita tetap belum selesai berpikir-pikir bagaimana sebenarnya ”persahabatan” itu.

Buku ini dipersiapkan dengan teliti oleh salah seorang ahli Plato terbagus di Indonesia berdasarkan pada teks asli dalam bahasa Yunani. Terjemahan ini betul-betul dapat dipertanggungjawabkan. Pengantar oleh penerbit dan penerjemah membantu pembaca menemukan bagaimana ia sebaiknya mendekati dialog Plato yang padahal tidak mudah. Yang amat membantu dan berguna adalah 53 halaman catatan akhir Setyo Wibowo yang menjelaskan baik istilah maupun konteks dan logika argumentasi, di mana itu terasa perlu. Dengan demikian, pembaca yang belum akrab dengan Plato dapat memahami sindiran Plato.

Pendek kata, buku ini perlu disambut gembira di kalangan para filosof Indonesia dan oleh semua yang tertarik pada filsafat. Buku ini betul-betul memperkaya pustaka filsafat klasik dalam bahasa Indonesia. Bagi siapa pun yang suka untuk sekali-sekali merefleksikan pengalaman-pengalaman ”biasa” kehidupannya, dalam hal ini mengenai persahabatan, buku ini merupakan bacaan yang pasti menarik. Dan yang terutama: pasti penting bagi kehidupan.

Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta

Sabtu, 13 Juni 2009

PERKEMBANGAN PERADABAN


Peristiwa Pembuka Cakrawala Sains

Manusia sebagai makhluk berpikir selalu berupaya melakukan inovasi demi peningkatan peradaban manusia. Sejarah manusia adalah sejarah evolusi peradaban. Di bawah ini diuraikan 10 penemuan yang oleh livescience.com dinilai telah mampu mengubah sejarah manusia secara signifikan. Penemuan mesiu

Pada abad ke-9, sekitar tahun 850 Masehi, sejumlah ahli kimia China berhasil menemukan bubuk mesiu atau peledak. Bubuk peledak tersebut merupakan hasil reaksi dari sulfur (S) atau belerang, arang, dan potasium nitrat. Bubuk mesiu lalu secara luas digunakan sebagai alat pembunuh dengan menggunakan pistol, senapan, dan granat. Sejak itu penemuan alat peledak melalui proses kimiawi terus berkembang hingga ditemukannya bom hidrogen (H) hingga ke penemuan nuklir—yang membayangi sejarah kemanusiaan karena dampaknya yang sungguh menghancurkan.

”Agora”

Istilah ini muncul pada era Yunani Kuno, menunjuk pada sebuah ruang publik di tengah kota, semacam pasar di mana warga kota bertemu satu sama lain. Di sana terdapat kegiatan perdagangan, diskusi antarwarga tentang berbagai topik menyangkut politik atau ide-ide besar seperti pemikiran Plato dan Aristoteles waktu itu. Agora merupakan bentuk sangat awal dari apa yang sekarang dikenal sebagai demokrasi—di mana semua orang bebas berpendapat.

Konsili Nice

Ketika Konstantin menjadi pemimpin Kristen pertama di zaman Kerajaan Romawi, dia berusaha menyatukan berbagai aliran agama dan kepercayaan melalui Konsili Nice. Tahun 325 Masehi Konstantin mengumpulkan 318 pemimpin agama Kristen, para bishop, dari seluruh wilayah kerajaan. Mereka mencari kesamaan pandangan pada isu-isu yang mereka hadapi. Konsili tersebut merupakan konsili pertama di dunia yang menyatukan gereja. Perkembangan agama Kristen kemudian banyak dipengaruhi oleh kesepakatan Konsili Nice.

Wabah sampar

Bencana besar yang tak hilang dari ingatan manusia di antaranya wabah sampar, Bubonic Plague atau Black Death, yang terutama menyerang Benua Eropa pada abad ke-14. Peristiwa itu membunuh sekitar separuh populasi Eropa—sekitar 75 juta orang yang lalu memicu perubahan sosial yang signifikan, naiknya gaji buruh dan goyangnya kepercayaan kepada gereja. Pada abad ke-21 ini, dunia digentarkan oleh perkembangan penyebaran influenza A akibat serangan virus H1N1 yang Kamis (11/6) lalu ditetapkan telah mencapai fase enam pandemi.

Penemuan gula

Gula, atau emas putih, telah mengubah sejarah. Pada awal abad ke-16, penemuan gula mendorong migrasi besar-besaran penduduk Afrika ke Amerika Serikat—mengawali zaman perbudakan. Kini penduduk Amerika rata-rata mengonsumsi 50 kilogram gula per tahun. Gula lalu terbukti memegang peran penting sebagai salah satu motor perekonomian dunia.

”The Declaration of Independence”

Deklarasi Kemerdekaan (The Declaration of Independence) yang ditandatangani Thomas Jefferson pada tahun 1776, yang menandai kemerdekaan Amerika Serikat dari kekuasaan Inggris, telah menginspirasi berbagai belahan dunia lain untuk merdeka atau lepas dari kekuasaan monarki. Deklarasi tersebut juga menginspirasi munculnya ide hak-hak asasi manusia.

Pendeta dan kacang polong

Pada abad ke-19, Abbot Gregor Mendel sukses membuka rahasia menurunnya sifat-sifat makhluk hidup. Dia membuat percobaan dengan kacang polong di sebuah biara di Austria. Percobaan dilakukan pada sejumput kacang polong yang dia silangkan satu sama lain. Perkembangan bioteknologi kini telah menyentuh aspek etika saat teknologi kloning dan sel punca ditemukan. Penemuan Mendel tidak langsung mendapatkan reaksi. Menjelang kematiannya dia berujar, ”Waktuku akan tiba.”

Ekspedisi Galapagos

Keanehan penampilan fisik binatang-binatang di Kepulauan Galapagos, seperti kura-kura raksasa, telah memicu rasa ingin tahu Charles Darwin yang kemudian menuliskannya dalam buku hariannya. Catatan tersebut menjadi dasar buku berjudul ”The Origin of Species” yang menandai lahirnya teori evolusi dengan ungkapannya yang terkenal ”the survival of the fittest” yang menjelaskan tentang perubahan secara perlahan dari suatu spesies hingga mencapai bentuk fisiknya sekarang melalui seleksi alam. Buku tersebut baru diterbitkan 20 tahun setelah pelayaran dan penelitian Darwin di Galapagos. Kini Galapagos telah ditawarkan sebagai salah satu tujuan wisata ilmiah.

12 detik di udara

Dua bersaudara dari Dayton, Ohio, AS, tak pernah menyangka bahwa keberhasilan mereka terbang dengan pesawat yang mereka bangun pada 17 Desember 1903 akan berkembang hingga peluncuran manusia ke angkasa luar. Wilbur dan Orville Wright ketika itu berhasil terbang selama 12 detik saja! Mereka terbang di atas tumpukan pasir di Kitty Hawk, Carolina Utara, AS. Sebelumnya manusia tidak pernah membayangkan akan bisa terbang di atas pesawat yang bobotnya jauh lebih besar dari udara dengan dipasangi mesin dan bisa dikendalikan. Wilbur dan Orville sukses menjelmakan mimpi tokoh mitos Yunani, Icarus, menjadi kenyataan. Kini kendaraan bermesin dipakai untuk mencari tempat hunian baru bagi manusia di angkasa luar hingga ke Planet Mars. Beberapa orang bahkan sudah mengecap piknik ke angkasa luar.

Bayi tabung

Sekitar 30 tahun lalu seorang bayi perempuan dilahirkan dari rahim seorang perempuan. Sekilas kelahiran tersebut merupakan kelahiran biasa, normal. Namun, kelahiran itu sebenarnya merupakan hasil dari pembuahan di luar tubuh manusia. Metode tersebut dikembangkan oleh ilmuwan Inggris, Louise Brown. Pada mulanya, hasil percobaan ”bayi tabung” tersebut memicu protes di berbagai belahan dunia, tetapi sekaligus mengubah pandangan akan kehidupan dan kemajuan sains. Metode tersebut telah menandai perubahan mendasar dalam perkembangan ilmu kedokteran.

(livescience.com/ISW)

Jumat, 12 Juni 2009

Menjernihkan Pendidikan

Robert Bala

Mendekati pemilu presiden, pendidikan menjadi salah satu isu penting.

Namun, debat visi dan misi capres kadang menimbulkan kegamangan. Falsafah pendidikan yang seharusnya menjadi ”harga mati” saat di tangan politisi ternyata diganti dengan pemahaman pragmatis (Kompas, 1/6). Bagaimana menjernihkannya?

Tiga elemen

Para pakar sepakat, pendidikan harus diteropong dari tiga aspek. Ia harus memiliki rumusan konseptual baku written curriculum. Di dalamnya tertuang apa yang harus diketahui dan kompetensi yang harus dimiliki siswa pada tiap level pendidikan.

Häyrynen dan Hautamäki, J dalam Människans Bildbarhet och Utbildningspolitiken (1997) memperluas konsep ini. Baginya, sebuah fungsi pembelajaran bermakna bila tidak berhenti pada aspek pengetahuan (to know), dan keahlian (to be able), tetapi merambah daya eksplorasi (to study) dan harapan (to hope).

Selanjutnya dibutuhkan langkah metodologis-pedagogis atau taught curriculum untuk mentransformasikan konsep ke dalam aksi. Ia adalah proses vital. Ide yang baik perlu diterapkan oleh pendidik yang kompeten. Meski demikian, ia bukan akhir. Secara analogis, ia diumpamakan dengan jembatan yang menyatukan konsep dan perwujudan. Ia menginspirasi orang untuk terus berjalan, bukan berhenti di situ.

Bila proses ini dilalui dengan baik, barulah kita berbicara tentang ujian atau learned/assessed curriculum. Pada level paling mendasar, ia bertujuan mengetahui apakah proses pembelajaran sudah dilewati dengan baik atau tidak. Kegagalan atau kesuksesan menjadi takaran tentang kualitas proses itu sendiri.

Tanpa arah

Dalam kenyataan, pemahaman pendidikan sering rancu, demikian Hugo Ferreira Gonzales dalam Calidad Total en la Educación, 2002. Visi sebagai konsep baku yang seharusnya melandasi cara berpikir dan bertindak, kenyataannya mudah dikalahkan oleh pragmatisme dan pertimbangan sesaat. ”Gonta-ganti” kurikulum menjadi contohnya.

Kegelisahan juga terlihat dari minimnya suasana kegembiraan dalam proses belajar-mengajar. Siswa terlampau dijejali aneka beban belajar. Memang sekilas hal itu menyenangkan para pejabat yang melihat berkurangnya kenakalan remaja menjelang ujian. Tetapi, bila dikritisi, esensi pendidikan sedang dikorbankan. Yang dibuat sekadar menghafal, bukan belajar dalam arti sebenarnya. Bahkan, menurut Cole, M dalam Cultural Psychology. A Once and Future Discipline (1996), pendidikan sebagai bagian dari proses sosialisasi pun diingkari.

Akhirnya, derita dalam pendidikan menjadi lengkap oleh ujian. Yang diuji bukan lagi pemahaman komprehensif, tetapi sekadar uji daya memori dan keahlian menjatuhkan pilihan pada alternatif jawaban yang disediakan. Realitas kehidupan yang begitu kompleks disederhanakan untuk dapat diselesaikan dalam waktu amat terbatas. Kita lalu puas dengan meningginya grafik kelulusan. Padahal, kehidupan yang rumit membutuhkan daya kreasi dan eksplorasi yang hanya muncul dari pribadi yang telah melewati proses pendidikan dengan gembira.

Membangun harapan

Perubahan seharusnya dilakukan jika kita berkomitmen pada visi kebangsaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya kesejahteraan sosial.

Pertama, perlu dihidupkan daya eksploratif yang muncul sebagai konsekuensi pembelajaran atraktif dan menyenangkan. Siswa terdorong untuk belajar bukan karena tekanan ujian nasional, tetapi karena iklim rekreatif-pedagogis. Siswa yang gembira secara sosial akan berkolaborasi membangun negeri dan menjadikannya lebih disegani dalam kancah internasional.

Kedua, perlu kemauan (willingness) dan kesediaan (readiness) membenahi proses pendidikan, demikian Snow, R dalam New Approaches to Cognitive and Conative Assessment in Education (1990). Para politisi harus sadar bahwa perubahan ada dalam tangan mereka. Kemauan mereka untuk meluruskan kerancuan konseptual merupakan langkah bijak. Ia lalu diikuti kesediaan mengorbankan visi pendidikan yang egoistik-pragmatis kepada pemangkuan visi pendidikan yang lebih komprehensif dan tepat sasar.

Bila proses ini dilalui, harapan sebagai elemen konstitutif pendidikan akan hadir sebagai ganjarannya.

Robert Bala Mengajar pada Sekolah Tunas Indonesia Bintaro; Lulusan Universidad Pontificia de Salamanca Madrid, Spanyol
Share on Facebook Share on Twitter 

HARI LAUT SEDUNIA

Limbah Plastik Mengancam Masa Depan



Jonson Lumban Gaol

Banyak orang berharap laut menjadi masa depan (Kompas, 5/6/2009). Namun, jika laut tidak dijaga, harapan itu akan sirna. Kita tidak boleh menutup mata bahwa laut yang menjanjikan itu saat ini juga terancam dari berbagai tindakan manusia baik secara sengaja maupun tidak.

Sadarkah Anda bahwa satu gelas plastik bekas yang dibuang begitu saja di sungai atau di pinggir pantai akan menutupi dasar laut dan lama-kelamaan akan menggunung? Plastik yang telah lama menumpuk akan berubah menjadi serpihan-serpihan kecil seukuran plankton, termakan oleh ikan dan secara tidak langsung menjadi santapan manusia.

Bayangkan, 10.000 gelas plastik volume 240 mililiter akan membentuk tumpukan 2,4 meter kubik (m3). Jika setiap minggu ada 1 juta pengunjung Ancol membuang gelas plastik ke pantai, akan terbentuk tumpukan 240 m3—dan ini terbawa ke laut. Sebagian besar akan melayang di bawah permukaan air lalu tenggelam di dasar laut. Ilmuwan Belanda menemukan lebih dari 70 persen sampah plastik akan tenggelam di dasar laut.

Pasifik tertutup plastik

Badan Lingkungan PBB memperkirakan, tahun 2006 tiap 1 mil persegi lautan mengandung 46.000 lembar sampah plastik (marine debris). Dilaporkan, dasar perairan Samudra Pasifik tertutup sampah plastik yang luasnya dua kali daratan Amerika Serikat—diperkirakan jadi dua kali lipat pada 2015. Ini akan berdampak negatif pada rantai makanan.

Di Pasifik terjadi proses oseanografi gyre, yakni arus melingkar serah jarum jam berkecepatan lambat. Lingkaran arus ini cukup luas, ribuan kilometer. Sampah plastik secara perlahan bergerak sesuai aliran gyre. Lama-kelamaan sampah plastik mengumpul di tengah gyre karena energi arus di tengah gyre cukup lemah—disebut sebagai ”zona mati”. Charles Moore, ahli oseanografi Amerika, menyebut Lautan Pasifik sebagai ”Great Pacific Garbage Patch”. Diperkirakan 100 juta ton sampah terapung mengikuti aliran gyre.

Hal yang sama dalam skala lebih kecil terjadi di perairan tertutup, misal di teluk. Hasil pengamatan pada 2007 selama berlayar dari pantai Marisa Gorontalo menuju Kepulauan Togean, kami menemukan di tengah Teluk Tomini banyak sampah, termasuk botol plastik.

Akibat bentuk Teluk Tomini yang tertutup diperkirakan sampah plastik akan mengumpul di suatu tempat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Mengingat Kepulauan Togean merupakan salah satu pusat terumbu karang dunia, hal ini perlu cepat ditanggapi.

Bayangkan jika keindahan terumbu karang tertutup sampah-sampah plastik. Lama-kelamaan terumbu karang itu akan rusak. Siapa yang akan datang ke sana? Ikan pun akan lari.

Teluk Jakarta dan Ambon

Berdasarkan data hasil penelitian mulai tahun 1990-2005 yang dirangkum lembaga Greenpeace telah ditemukan limbah plastik di sejumlah lokasi di dunia. Pada tabel terlihat bahwa Teluk Ambon mengandung serpihan plastik terpadat dari delapan lokasi yang disurvei. Di Kepulauan Seribu ditemukan ada pulau yang masih belum terkontaminasi, tetapi ada juga yang sangat tinggi hingga 29.000 item per km.

Tahun 2008 sekelompok pencinta lingkungan yang melakukan pembersihan sampah plastik menemukan cukup banyak sampah plastik di Pulau Untung Jawa. Mengingat dampak negatif sampah plastik ini, maka perhatian yang serius untuk mengatasinya perlu segera dilakukan.

Dampak negatif

Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan jutaan burung laut dan 100 ribu binatang laut mati setiap tahun dan ditemukan sejumlah partikel plastik di dalam perutnya. Peneliti Kanada, Dr James, menemukan plastik di dalam perut sepertiga kura-kura Leatherbacks. Kura-kura menyangka plastik yang mengapung adalah ubur- ubur sehingga salah makan.

Kura-kura tidak langsung mati, tetapi kesehatannya terganggu dan akhirnya mati. Sampah-sampah plastik yang mengapung di laut lama-kelamaan berubah menjadi serpihan-serpihan kecil menyerupai plankton dan termakan oleh berbagai jenis ikan.

Solusi

Beberapa langkah untuk mengatasi masalah serpihan laut ini telah dilakukan baik secara internasional maupun nasional, di antaranya International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) yang dikeluarkan tahun 1988 dan 122 negara telah meratifikasi.

Salah satu isi dari MARPOL adalah melarang kapal-kapal membuang sampah di laut. Namun, diperkirakan 80 persen debris berasal dari darat (Greenpeace). Karena itu, perlu ditingkatkan kesadaran seluruh umat manusia karena masalah ini tak bisa diatasi secara sepihak. Penanaman kesadaran bahaya debris laut ini perlu melalui pendidikan keluarga kepada anak-anak hingga ke pendidikan formal.

Sosialisasi Hari Laut Sedunia perlu dilakukan dengan melakukan kegiatan-kegiatan membumi sehingga umat manusia semakin sadar akan lingkungan. Diharapkan, tidak hanya sehari saja umat manusia tidak mencemari laut, tetapi setiap hari.

Pemulung plastik

Di Jabodetabek, sampah plastik menjadi salah satu sumber kegiatan ekonomi. Plastik dikumpulkan para pemulung dan dijual ke pengumpul.

Di tingkat pengumpul plastik sampah dipisahkan dan sebagian diolah menjadi bubuk plastik dan berupa bongkahan yang selanjutnya dijual ke pabrik daur ulang. Salah satu pengumpul sampah plastik di Bogor melaporkan, setiap hari sampah plastik, berupa gelas dan botol minuman, terkumpul beberapa mobil truk sehingga di tempat penampungan terlihat sampah- sampah plastik menggunung.

Para pemulung yang setiap hari mengumpulkan sampah- sampah plastik seharusnya dihargai, misalnya dengan memberikan insentif. Jasa mereka cukup besar menyerap sampah plastik yang secara langsung mengurangi dampak negatif pada laut. Jumlah pemulung, khususnya di kota-kota besar seperti di Jabodetabek, sangat banyak sehingga perlu diperhitungkan.

Sebaliknya, masyarakat yang membuang sampah plastik sembarangan perlu diberi sanksi. Hal ini merupakan salah satu tindakan nyata untuk menyelamatkan laut yang pada akhirnya untuk keselamatan kita semua.

JONSON LUMBAN GAOL Dosen Departemen Ilmu dan Kelautan, IPB Bogor

Kamis, 11 Juni 2009

Membenahi Ujian Nasional



Teuku Ramli Zakaria
(Dosen Fak Tarbiyah, UIN Syarif Hidayatullah)


Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan yang dirancang untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan sebagai kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa untuk kelulusan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penyelenggaraan UN juga mendorong siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, dan bahkan pemerintah daerah untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap proses pembelajaran di sekolah dan bekerja keras sesuai dengan peran masing-masing untuk mencapai kelulusan yang baik.

Namun, pelaksanaan UN dari tahun ke tahun tampaknya tidak sepi dari kesemrawutan. Kekacauan dalam penyiapan, pencetakan, dan pendistribusian soal serta penyimpangan yang sistematis pada tingkat sekolah dan daerah memang sangat memprihatinkan kita semua. Sangat ironis, dalam UN tahun 2008/2009 ini, seluruh siswa di sejumlah SMA, SMK, dan SMP yang berstatus negeri di beberapa daerah terindikasi gagal alias tidak lulus. Hal ini tampaknya sangat janggal. Karena, siswa sekolah negeri relatif telah terseleksi dalam proses penerimaan. Apalagi, bila disinyalir ada di antara sekolah-sekolah tersebut yang masuk dalam kategori sekolah unggulan. Oleh karena itu, sukar diterima kalau seluruh siswanya tidak lulus.

Untuk membenahi kesemrawutan UN saat ini, perlu ditelusuri akar permasalahannya, mengapa kesemrawutan tersebut dapat terjadi dan terus berulang dari tahun ke tahun. Dengan menemukan akar masalahnya, dapat ditentukan langkah dan alternatif pembenahan yang tepat. Menurut pengamatan penulis, faktor-faktor yang memicu kesemrawutan UN antara lain sebagai berikut.

Petama, penyiapan soal yang sepenuhnya terpusat. Dapat dibayangkan, betapa beratnya beban Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Untuk setiap mata ujian, Puspendik harus menyiapkan naskah master soal: 1 x 3 (naskah ujian utama, naskah ujian susulan, dan naskah cadangan) x 33 (jumlah provisi) x jumlah mata ujian x jenjang/jurusan/jenis sekolah. Jumlah seluruh naskah master soal yang harus disiapkan oleh Puspendik lebih dari 4000 naskah. Jumlah tenaga teknis yang terlibat dalam penyiapan naskah master soal ini kurang lebih 25 orang. Artinya, pukul rata, setiap tenaga teknis bertanggung jawab menyiapkan lebih dari 160 naskah. Oleh karena itu, mudah dipahami apabila terjadi kekeliruan kunci, kalimat butir soal kurang lengkap, kehilangan gambar stimulus, dan sebagainya. Berbeda dengan Malaysia, dalam pelaksanaan ujian nasional seperti ini, satu naskah soal digunakan untuk seluruh wilayah negara. Bagi para petugas, untuk mencermati satu naskah soal, tentu lebih mudah daripada mencermati naskah soal yang sedemikian banyak.

Mengatasi masalah ini, menurut hemat penulis, penyiapan naskah master soal sebaiknya didelegasikan ke daerah. Konsekuensinya, pada setiap daerah, perlu dikembangkan bank soal yang terkalibrasi dan perlu lembaga yang bertanggung jawab dalam pengembangan bank soal ini. Dalam penyiapan naskah soal, penyelenggara pusat hanya menyiapkan kisi-kisi dan sejumlah butir soal inti (ancor item) untuk menyamakan skala dalam penskoran. Daerah menyiapkan naskah master soalnya sendiri dengan menggunakan bank soal yang ada dan mengacu kepada kisi-kisi dari pusat.

Dengan prosedur penyiapan soal seperti ini, bila terjadi kebocoran di suatu daerah, ujian tidak perlu diulang secara nasional, cukup diulang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, semua sekolah dan daerah menguji kemampuan yang sama berdasarkan kisi-kisi dan standar kompetensi lulusan yang ada. Hasil ujiannya juga dapat diperbandingkan antarsiswa, antarsekolah, antardaerah, dan bahkan antartahun.

Kedua, kesemrawutan dalam penyelenggaraan UN terjadi karena banyaknya pihak atau lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan ujian: sekolah, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan sekarang ditambah dengan perguruan tinggi. Dengan demikian, titik-titik kerawanan dan penyimpangan yang dapat terjadi sangat banyak, yakni sama dengan jumlah sekolah, ditambah dengan jumlah kabupaten/kota, dan jumlah provinsi. Semua lembaga ini berkepentingan dengan hasil ujian. Karena mereka ikut bermain, tentu mudah dipahami kalau ada yang berusaha untuk menyiasati pelaksanaan guna memperoleh hasil ujian yang sebaik mungkin. Berbeda dengan Malaysia, ujian nasional seperti ini dilaksakan oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam penyelenggaraan ujian, yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga mana pun. Ujian nasional di Malaysia dilaksanakan oleh Malaysian Examination Syndicate (MES). Lembaga ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan memiliki cabang di semua daerah. Lembaga inilah yang mempersiapkan, menggandakan, dan mendistribusikan naskah soal sampai ke tempat pelaksanaan ujian, mengatur pengawasan, mengumpulkan lembar kerja siswa, dan memeriksa hasil kerja siswa serta melakukan penskoran.

Demikian pula di Singapura, ujian nasional seperti ini diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam penyelenggaran ujian, yaitu Singapure Examination and Assessment Board (SEAB). Badan ini berstatus swasta dan dibentuk pada bulan April 2004 berdasarkan The SEAB Act (2003). Ujian nasional di Singapura telah berlangsung sejak tahun 1892. Karena ada sebuah lembaga yang memiliki otoritas, seluruh proses penyelenggaraan ujian nasional di Malaysia dan Singapura tersistem dengan baik dan hasil ujiannya kredibel. Oleh karena itu, untuk membenahi pelaksanaan UN, apabila sistem ujian akhir seperti ini tetap dipertahankan, perlu dibentuk sebuah lembaga yang memiliki otoritas, seperti MES di Malaysia atau SEAB di Singapura. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang ada sekarang ini tetap diperlukan. Namun, kedudukannya adalah sebagai komisi pakar dalam struktur lembaga. Komisi ini terdiri atas para pakar evaluasi dan pakar psikometri. Lembaga penyelenggara UN ini sebaiknya permanen dan terstruktur sampai di daerah. Kedudukannya dapat berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional seperti di Malaysia atau menjadi sebuah lembaga swasta seperti di Singapura. Anggota komisi pakarnya dapat berganti secara periodik, seperti anggota BSNP yang ada saat ini.

Membebani pelaksanaan UN sepenuhnya pada BSNP adalah melampau kapasitas yang dapat dilakukan oleh BSNP. Karena, beban BSNP sangat berat, antara lain merumuskan dan memantau semua standar nasional pendidikan. Selain itu, badan ini juga tidak permanen dan terstruktur. Anggotanya 15 orang yang diangkat untuk jangka waktu empat tahun. Pada umumnya, beliau-beliau tersebut memiliki tanggung jawab melaksanakan tugas tetap di tempat lain. Melibatkan banyak pihak yang terkait dalam pelaksanaan UN seperti sekarang ini tentu sukar menghindari kesemrawutan dan senantiasa akan mengundang penyimpangan. Banyak pihak yang terlibat dalam pelaksanaan UN tentu banyak kepentingan juga yang akan ikut bermain.

Alternatif lain adalah kembali kepada sistem Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam sistem ini, kelulusan siswa ditentukan oleh gabungan Nilai EBTANAS Murni (NEM) dan nilai dua semester terakhir (P dan Q) yang diberikan guru. Kelebihan sistem ini, siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah tidak terlalu khawatir dengan ketidaklulusan sehingga kecenderungan untuk melakukan kecurangan akan lebih rendah. Kelemahannya adalah guru dan kepala sekolah cenderung me-mark up nilai P dan Q guna mencapai kelulusan yang maksimal. Selain itu, siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah kurang terdorong untuk bekerja keras dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.

Bila kita kembali ke sistem ujian sekolah sepenuhnya, seperti yang pernah berlaku pada era tahun 1970-an, berarti kita rela membiarkan sekolah meluluskan siswa semaunya. Dengan kata lain, kita rela membiarkan sekolah memberikan 'pendidikan semu' kepada masyarakat, tanpa membekali para siswa dengan kompetensi yang mencukupi sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh.

(-)