Sabtu, 22 Agustus 2009

KOMPAS cetak - Kisah Hotel Lambert dan Pangeran Qatar

KOMPAS cetak - Kisah Hotel Lambert dan Pangeran Qatar: "Kisah Hotel Lambert dan Pangeran Qatar

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:30 WIB

Nasib sebuah rumah di Quai Anjou, di ujung timur Ile Saint-Louis, Paris, dikhawatirkan warga distrik bersejarah ibu kota Perancis itu.

Bangunan indah rancangan arsitek Louis Le Vau yang dibangun di sebuah pulau di tengah Sungai Seine di Paris antara tahun 1640 dan 1644 itu dikenal bernama Hotel Lambert.

Hari Jumat, para selebriti yang merupakan warga pulau yang termasuk distrik IV Paris itu maju ke pengadilan untuk mencoba menghentikan upaya sebuah keluarga bangsawan Qatar merenovasi rumah besar itu."

Senin, 17 Agustus 2009

KOMPAS.com

KOMPAS.com: "Edukasi - Senin, 17/8/2009
Mendiknas: Reformasi Pendidikan bisa Dinikmati 2014/2015 Mendatang"

KOMPAS.com - Prof Har, Resmi Menjadi Rektor Binus

KOMPAS.com - Prof Har, Resmi Menjadi Rektor Binus: "Prof Har, Resmi Menjadi Rektor Binus
shutterstock
Ilustrasi:'World class university tidak sama dengan ranking, tetapi sebuah visi yang harus bisa dirasakan oleh para stakeholder, orang tua, dan mahasiswa untuk menjawab tantangan pendidikan ke depan,' ujar Prof Har, rektor Binus di Jakarta, Sabtu (15/6).
/
Artikel Terkait:

* Kampus Kelas Dunia 2020, Tekad Rektor Terpilih Binus

Senin, 17 Agustus 2009 | 13:05 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Prof Dr Ir Harjanto Prabowo resmi dilantik sebagai rektor Universitas Bina Nusantara (BINUS) periode 2009-2013, Sabtu (15/8). Ia menggantikan kepemimpinan Prof Dr Gerardus Polla, M.App, Sc yang telah mengabdi selama empat tahun di Binus."

Sabtu, 15 Agustus 2009

Rabu, 12 Agustus 2009

ANALISIS POLITIK Dua Kuburan, Dua Tanda

Selasa, 11 Agustus 2009 | 03:02 WIB

YUDI LATIF

Apa yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar belasungkawa semiresmi secara membahana saat kematian Mbah Surip, tetapi nyaris tak terdengar ucapannya saat WS Rendra wafat? Apakah hal itu pertanda derajat kaum ”gelandangan” ditinggikan di atas kaum intelektual-budayawan?

Terpujilah jika negara memiliki empati yang lebih besar kepada orang yang lebih menderita. Masalahnya, biografi Mbah Surip berkata lain. Seseorang yang memilih jalan gelandangan sebagai jalan survival, mewakili jutaan gelandangan lainnya yang hidup tidak tergantung dan tanpa perlindungan negara. Sekali negara hadir, hal itu pertanda bencana.

Dalam situasi ordinary, kehadiran negara justru tidak dikehendaki karena menambah beban hidup, tersirat dari kelakar Mbah Surip yang kerap mengaduh, ”Ampun pemerintah!” Dalam situasi unordinary, negara hanya hadir saat prahara menerjang, musim pemilu tiba, atau demam Cinderella melanda, tatkala orang-orang biasa sontak terkenal. Itu pun bukanlah karena kepedulian kepada orang biasa, melainkan demi citra dan popularitas (pejabat) negara.

Sebagian kecil dari kaum gelandangan ini berkat perjuangan pantang menyerah berhasil membangun rumah kehidupan, tetapi lebih banyak lagi yang jatuh dari sarangnya. Tanpa peran negara, pahlawan kaum gelandangan ini mengemban misi penyelamatan, ”menggendong” beban hidup sesamanya.

Apa yang keluar dari hati akan membekas di hati, seperti spontanitas lagu-lagu Mbah Surip yang bergema di jiwa jutaan pendengarnya. Kekuatan senyawa komunitas inilah yang menjadi kompensasi atas ketidakhirauan negara, yang membuat Indonesia masih bertahan hingga saat ini. Meski demikian, tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena tata laksana kenegaraan yang menjamin persamaan dan pemenuhan kesejahteraan bersama, solidaritas kebangsaan mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan keterkucilan.

”Orang-orang harus dibangunkan,” pekik WS Rendra. Seorang penyair hadir, dalam istilah Wallace Stevens, sebagai the priest of the invisible, untuk mengeluarkan terang dari gelap, membawa matahari kesadaran atas kebebalan kekuasaan. Seperti kata John F Kennedy, ”Tatkala kuasa mengarahkan orang pada kepongahan, puisi mengingatkan akan keterbatasannya. Tatkala kuasa menyempitkan ruang kepedulian orang, puisi mengingatkan akan kekayaan dan keragaman hidupnya. Tatkala kuasa korup, puisi membersihkannya. Karena seni membentuk dasar kebenaran manusia yang mesti menjadi landasan keputusan kita.”

Memang, ”kebanyakan orang melupakan puisi karena kebanyakan puisi melupakan kebanyakan orang”, sindir Adrian Mitchell. Namun, sepanjang sejarah kepenyairannya, seorang Rendra adalah saksi penderitaan dan penindasan banyak orang.

Menurut kredonya, ”Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan.” Ia menjadi artikulator dari suara bisu kaum gelandangan model Mbah Surip: mengingatkan orang yang memanah rembulan serta burung yang jatuh dari sarangnya. Apakah itu dalam ”Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”, ”Pesan Pencopet pada Pacarnya”, ”Sajak Seonggok Jagung”, ”Sebatang Lisong”, dan banyak lagi yang lainnya, pisau pena Rendra selalu bermata dua: mengiris kezaliman kuasa serta mengupas daya hidup orang biasa.

Ketika negara dan pasar memonopoli tafsir dengan menjadikan subyektivitasnya sebagai standar obyektivitas seraya meminggirkan suara liyan di luar itu. Dalam ketaklukan media dan aparatur pengetahuan pada standar ortodoksi negara dan pasar, keliaran ekspresi artistik sering kali menyediakan wahana tanding bagi warga untuk menemukan kebenaran alternatif. Situasi paradoks pun terjadi.

Sastra sebagai ranah imajinasi malah menjelma menjadi kerajaan obyektivitas; fiksi menjadi pengganti ilmu sosial, dan guru terbaik tentang realitas justru pemimpi, seniman sastrawan. Demikianlah, karya WS Rendra menampilkan deskripsi yang paling genuin dan paling representatif tentang problem riil bangsanya ketika aktor dan institusi pengetahuan lain terbungkam.

Kepergian Rendra (sang artikulator) menyusul kematian Mbah Surip (sang realitas sejati), yang dikubur berdampingan, membersitkan tanda buruk. Kenyataan yang terus-menerus diabaikan oleh kuasa, cuma jadi tumpangan popularitas sesaat, untuk kemudian dikubur di belam narsisme politik. Sementara peran artikulator yang mengganggu kenyamanan kuasa dikesampingkan sebagai sesuatu yang tidak berharga, lantas dikubur dari kesadaran publik.

Namun, ribuan orang yang menyertai mereka ke pembaringan terakhir memberi kita optimisme bahwa kesejatian cinta dan kewarasan pikir tak bisa dikubur. Seperti memenuhi nubuat Antonio Skármeta, sastrawan Cile, ”Jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik—berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan—di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan.”

”Tuhan menolong pemimpin yang menghargai seni,” tulis Lord Melbourne. Ketika seniman besar wafat, saatnya para pemimpin memuliakan seni agar yang ada di langit mencintai yang ada di bumi.

Yudi Latif Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia)