Ali Khomsan
Lahirnya UU Badan Hukum Pendidikan disikapi dengan penolakan dari berbagai kalangan. Meskipun DPR menggaransi bahwa UU BHP tidak akan menyebabkan biaya studi di perguruan tinggi semakin mahal, tampaknya hal ini belum bisa diterima.
Para pengamat pendidikan dan mahasiswa yang menolak UU BHP melihat perjalanan beberapa PTN sebelumnya yang berubah status menjadi PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pada kenyataannya, PT BHMN dianggap menerapkan tarif pendidikan yang cenderung lebih mahal. Bangku universitas seolah kini menjadi hak orang kaya.
Sebagian orang melihat bahwa UU BHP akan membuat perguruan tinggi meraup dana masyarakat setinggi-tingginya karena alokasi dana pendidikan pemerintah yang tidak pernah mencukupi. Kalau kita mencermati persoalan-persoalan yang dihadapi beberapa PT BHMN, kekhawatiran masyarakat terhadap UU BHP mungkin cukup ber- alasan. UI hanya menerima anggaran pemerintah kurang dari 10 persen dari total anggaran yang dibutuhkan, yaitu Rp 1,4 triliun.
IPB mengandalkan subsidi pemerintah yang hanya Rp 4 juta per mahasiswa, padahal idealnya Rp 18 juta. Unpad menerima Rp 110 miliar per tahun untuk gaji dosen dan pegawai, sedangkan biaya operasionalnya mencapai Rp 320 miliar.
Dirjen Dikti mengakui, unit biaya pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat minim, yaitu Rp 8 juta per mahasiswa per tahun. Rendahnya unit biaya ini menyulitkan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bermutu. Kalau kita bandingkan dengan unit biaya pendidikan di negara- negara tetangga, kita akan tercengang. Di Hongkong, besarannya mencapai Rp 240 juta per mahasiswa per tahun dan di Singapura Rp 150 juta. Proporsi biaya yang ditanggung pemerintah adalah 80 persen, mahasiswa 10 persen, dan industri 10 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa kita selama ini kurang memberikan masukan yang memadai untuk mengelola pendidikan tinggi yang berkualitas. Anggaran yang minim tidak sejalan dengan tuntutan untuk menjadikan PTN sebagai the world class university. Cita-cita membentuk research university hanyalah mimpi pada siang bolong. Tidak ada keseriusan untuk membangun universitas yang baik kalau pemenuhan kebutuhan belanja operasional selalu menjadi kendala.
Mengarah ke kapitalisme?
Unit biaya pendidikan tinggi terkait erat dengan mutu penyelenggaraan pendidikan. Rendahnya biaya akan mengorbankan kualitas yang hendak dicapai. Peningkatan mutu dosen, aktivitas riset, dan pelaksanaan proses belajar mengajar memerlukan biaya besar, dan itu semua merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan sarjana yang kompeten di bidangnya.
Mahalnya biaya pendidikan tinggi yang harus dipikul masyarakat membuat kita waswas. Fakultas Kedokteran ada yang menawarkan biaya masuk hingga Rp 175 juta. Pada masa yang akan datang tidak akan ada lagi dokter yang berasal dari keluarga miskin. Semua lulusan kedokteran pasti mereka yang mampu membayar puluhan juta untuk membiayai sekolahnya.
Apakah ini berarti pendidikan tinggi tengah mengarah pada kapitalisme? Bagaimana nasib bangsa ini bila pendidikan yang baik hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya?
Sepertinya kita akan terus terkungkung dalam kemiskinan. Entry point untuk mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi tertutup karena pendidikan hanya berpihak kepada mereka yang mampu. Kesempatan orang miskin untuk masuk universitas sangat terbatas karena biaya masuk perguruan tinggi dibuat sangat mahal.
Biaya pendidikan yang semakin mahal ternyata tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang semakin baik. Dari tahun ke tahun tampaknya kualitas SDM kita tidak menunjukkan perbaikan yang berarti ditinjau dari peringkat Human Development Index (HDI). Kita pernah mencapai peringkat 99 pada tahun 1997 dan peringkat 96 pada 1998 dari sekitar 170 negara, tetapi kini posisi HDI Indonesia pada peringkat ke 111 atau 112. Ini menunjukkan tidak adanya perbaikan signifikan yang dibuat Indonesia dalam perbaikan SDM-nya.
Jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak, yakni sekitar 36 juta orang. Karakteristik orang miskin adalah pendidikannya rendah, kurang sehat, dan kurang gizi.
Sebagian perguruan tinggi kini terjebak membuka program studi yang sifatnya hanya meraup recehan. Nama besar sebuah universitas akan tenggelam kalau terlalu sibuk mengurus program diploma, program eksekutif, atau program extension. Sebuah departemen atau jurusan di perguruan tinggi terkemuka hanya menerima mahasiswa S-1 sebanyak 35 orang setiap tahun dan pada saat yang sama menerima 200 mahasiswa diploma. Padahal, core business perguruan tinggi adalah S-1 reguler, S-2, dan S-3 yang semuanya merupakan jalur akademik.
Jalur diploma terus dikembangkan karena bisa menjadi mesin uang bagi perguruan tinggi. Kalau alasannya hanya ini, keberadaan jalur profesional (diploma) sungguh patut dipertanyakan. Pembukaan program diploma harus selalu disertai feasibility study untuk mengetahui sejauh mana permintaan pasar akan tenaga-tenaga terampil yang kelak akan diluluskan.
Ini semua merupakan rentetan buruk akibat minimnya unit biaya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi. Kebijakan pendidikan yang kurang tepat, kurangnya perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akhirnya akan membawa dampak negatif terhadap keseluruhan SDM bangsa. Sarjana-sarjana yang dihasilkan tidak akan mempunyai kompetensi cukup untuk bersaing dengan sarjana-sarjana lulusan luar negeri. Hal ini akan memunculkan sarjana penganggur atau sarjana yang tidak bisa mendapatkan penghasilan layak.
Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB