Sabtu, 27 Desember 2008

Becermin BHMN, Menolak BHP

sssssssss

Ali Khomsan

Lahirnya UU Badan Hukum Pendidikan disikapi dengan penolakan dari berbagai kalangan. Meskipun DPR menggaransi bahwa UU BHP tidak akan menyebabkan biaya studi di perguruan tinggi semakin mahal, tampaknya hal ini belum bisa diterima.

Para pengamat pendidikan dan mahasiswa yang menolak UU BHP melihat perjalanan beberapa PTN sebelumnya yang berubah status menjadi PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pada kenyataannya, PT BHMN dianggap menerapkan tarif pendidikan yang cenderung lebih mahal. Bangku universitas seolah kini menjadi hak orang kaya.

Sebagian orang melihat bahwa UU BHP akan membuat perguruan tinggi meraup dana masyarakat setinggi-tingginya karena alokasi dana pendidikan pemerintah yang tidak pernah mencukupi. Kalau kita mencermati persoalan-persoalan yang dihadapi beberapa PT BHMN, kekhawatiran masyarakat terhadap UU BHP mungkin cukup ber- alasan. UI hanya menerima anggaran pemerintah kurang dari 10 persen dari total anggaran yang dibutuhkan, yaitu Rp 1,4 triliun.

IPB mengandalkan subsidi pemerintah yang hanya Rp 4 juta per mahasiswa, padahal idealnya Rp 18 juta. Unpad menerima Rp 110 miliar per tahun untuk gaji dosen dan pegawai, sedangkan biaya operasionalnya mencapai Rp 320 miliar.

Dirjen Dikti mengakui, unit biaya pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat minim, yaitu Rp 8 juta per mahasiswa per tahun. Rendahnya unit biaya ini menyulitkan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bermutu. Kalau kita bandingkan dengan unit biaya pendidikan di negara- negara tetangga, kita akan tercengang. Di Hongkong, besarannya mencapai Rp 240 juta per mahasiswa per tahun dan di Singapura Rp 150 juta. Proporsi biaya yang ditanggung pemerintah adalah 80 persen, mahasiswa 10 persen, dan industri 10 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa kita selama ini kurang memberikan masukan yang memadai untuk mengelola pendidikan tinggi yang berkualitas. Anggaran yang minim tidak sejalan dengan tuntutan untuk menjadikan PTN sebagai the world class university. Cita-cita membentuk research university hanyalah mimpi pada siang bolong. Tidak ada keseriusan untuk membangun universitas yang baik kalau pemenuhan kebutuhan belanja operasional selalu menjadi kendala.

Mengarah ke kapitalisme?

Unit biaya pendidikan tinggi terkait erat dengan mutu penyelenggaraan pendidikan. Rendahnya biaya akan mengorbankan kualitas yang hendak dicapai. Peningkatan mutu dosen, aktivitas riset, dan pelaksanaan proses belajar mengajar memerlukan biaya besar, dan itu semua merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan sarjana yang kompeten di bidangnya.

Mahalnya biaya pendidikan tinggi yang harus dipikul masyarakat membuat kita waswas. Fakultas Kedokteran ada yang menawarkan biaya masuk hingga Rp 175 juta. Pada masa yang akan datang tidak akan ada lagi dokter yang berasal dari keluarga miskin. Semua lulusan kedokteran pasti mereka yang mampu membayar puluhan juta untuk membiayai sekolahnya.

Apakah ini berarti pendidikan tinggi tengah mengarah pada kapitalisme? Bagaimana nasib bangsa ini bila pendidikan yang baik hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya?

Sepertinya kita akan terus terkungkung dalam kemiskinan. Entry point untuk mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi tertutup karena pendidikan hanya berpihak kepada mereka yang mampu. Kesempatan orang miskin untuk masuk universitas sangat terbatas karena biaya masuk perguruan tinggi dibuat sangat mahal.

Biaya pendidikan yang semakin mahal ternyata tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang semakin baik. Dari tahun ke tahun tampaknya kualitas SDM kita tidak menunjukkan perbaikan yang berarti ditinjau dari peringkat Human Development Index (HDI). Kita pernah mencapai peringkat 99 pada tahun 1997 dan peringkat 96 pada 1998 dari sekitar 170 negara, tetapi kini posisi HDI Indonesia pada peringkat ke 111 atau 112. Ini menunjukkan tidak adanya perbaikan signifikan yang dibuat Indonesia dalam perbaikan SDM-nya.

Jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak, yakni sekitar 36 juta orang. Karakteristik orang miskin adalah pendidikannya rendah, kurang sehat, dan kurang gizi.

Sebagian perguruan tinggi kini terjebak membuka program studi yang sifatnya hanya meraup recehan. Nama besar sebuah universitas akan tenggelam kalau terlalu sibuk mengurus program diploma, program eksekutif, atau program extension. Sebuah departemen atau jurusan di perguruan tinggi terkemuka hanya menerima mahasiswa S-1 sebanyak 35 orang setiap tahun dan pada saat yang sama menerima 200 mahasiswa diploma. Padahal, core business perguruan tinggi adalah S-1 reguler, S-2, dan S-3 yang semuanya merupakan jalur akademik.

Jalur diploma terus dikembangkan karena bisa menjadi mesin uang bagi perguruan tinggi. Kalau alasannya hanya ini, keberadaan jalur profesional (diploma) sungguh patut dipertanyakan. Pembukaan program diploma harus selalu disertai feasibility study untuk mengetahui sejauh mana permintaan pasar akan tenaga-tenaga terampil yang kelak akan diluluskan.

Ini semua merupakan rentetan buruk akibat minimnya unit biaya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi. Kebijakan pendidikan yang kurang tepat, kurangnya perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akhirnya akan membawa dampak negatif terhadap keseluruhan SDM bangsa. Sarjana-sarjana yang dihasilkan tidak akan mempunyai kompetensi cukup untuk bersaing dengan sarjana-sarjana lulusan luar negeri. Hal ini akan memunculkan sarjana penganggur atau sarjana yang tidak bisa mendapatkan penghasilan layak.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

Profei GSSURU

s
Jajak Pendapat "Kompas"
Menakar Penghargaan Masyarakat terhadap Profesi Guru
Sabtu, 27 Desember 2008 | 00:50 WIB

Profesi guru secara perlahan tampak ”naik daun”. Meski terseok-seok, semenjak terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta munculnya sejumlah kebijakan yang propendidikan, guru dan profesi guru kian memperoleh perhatian memadai.

Hasil jajak pendapat Kompas, 19-20 November 2008, memperlihatkan, bagian terbesar responden (29,5 persen) secara mengejutkan menempatkan profesi guru sebagai pilihan pertama profesi yang dicita-citakan. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan cita-cita untuk menjadi dokter atau bidan yang menempati tempat favorit kedua.

Dilihat dalam kategori jenis kelamin, perempuan tampak lebih berminat bekerja dalam profesi pendidik ini ketimbang laki- laki. Proporsi responden perempuan yang berminat menjadi guru dua kali lipat lebih besar daripada pria.

Namun, ada yang berbeda dari alasan yang dikemukakan. Berlainan dengan asumsi umum bahwa mencari pekerjaan didorong karena motivasi mencari penghasilan, responden yang bercita-cita menjadi guru ternyata lebih banyak didasari alasan nonmateri.

Kebanyakan responden mengaku minatnya menjadi guru karena menyukai keilmuan yang dipelajari, status yang diperoleh, dan aspek empati lainnya. Hanya 3,3 persen saja responden yang bercita-cita menjadi guru karena faktor gaji dan penghasilan.

Kondisi tersebut cukup istimewa jika mengingat kondisi sulitnya mencari pekerjaan, tetapi sekaligus menyiratkan pesan, profesi guru sebetulnya tetap menarik minat pencari kerja.

Profesionalisme guru

Kemunculan Undang-Undang Guru dan Dosen pada intinya didorong oleh semangat untuk lebih menghargai profesi tenaga pendidik. Untuk mengubah pandangan publik selama ini tentang profesi guru dari sebuah tugas ”pengabdian” menjadi sosok pekerjaan profesional, Undang-Undang Guru dan Dosen memberi kesempatan seluruh tenaga pendidik meningkatkan kompetensi melalui program sertifikasi.

Dengan pendekatan demikian, selain gaji dan pemberian tunjangan fungsional, kini guru yang mampu membuktikan kompetensinya akan mendapat imbalan khusus berupa tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Program ini menjadi pintu masuk penguatan aspek profesionalisme dari sebuah pekerjaan guru yang berujung pada peningkatan kesejahteraan guru.

Niat pemerintah untuk memperbaiki nasib guru melalui perbaikan undang-undang dihadapkan pada berbagai masalah teknis dan nonteknis. Masalah status guru, misalnya, tidaklah sesederhana hanya dengan membagi menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS) atau non-PNS. Konsekuensi yang mengikuti kedua status itu sungguh berbeda, khususnya dari segi kesejahteraan yang diterima.

Masalah lain adalah program sertifikasi. Jumlah guru yang kini sudah berstatus sarjana atau D-4 lebih sedikit dibandingkan dengan guru yang belum mencapai ”pagu” pendidikan minimal untuk dapat mengikuti program tersebut. Hingga tahun 2006-2007, dari total 2,7 juta guru di seluruh Indonesia, 60 persen belum memiliki kualifikasi akademik minimal, seperti yang disyaratkan undang-undang (lihat Grafik).

Efek dari ketentuan ini semula cukup positif. Guru berbondong-bondong meneruskan pendidikan demi meraih ijazah minimal yang disyaratkan. Sayang, setelah guru bersusah payah melanjutkan pendidikan dengan menghabiskan waktu dan dana, program sertifikasi terkendala kuota tahunan.

Demikian juga bagi sejumlah guru swasta, program sertifikasi dianggap menganaktirikan mereka. Hal ini karena adanya ketentuan, yakni bagi guru yang belum berstatus karyawan tetap, meski sudah memegang ijazah D-4 atau S-1, tidak diperbolehkan mengikuti program sertifikasi. Hanya guru yang berstatus karyawan tetap saja yang dapat mengikuti sertifikasi.

Berbagai kendala yang dihadapi untuk membuktikan kompetensi guru melalui sertifikat profesi itulah yang menjadikan program ini masih seperti mimpi mengawang-awang.

Gaji guru

Terkait penghasilan guru yang minim, publik jajak pendapat juga berpendapat, angkatan ”Oemar Bakrie” ini semestinya bergaji Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Tingkatan penghasilan itu harus semakin tinggi sesuai jenjang pendidikan yang diajar.

Saat ini, untuk sebagian guru yang berstatus PNS, besaran penghasilan tersebut bisa dicapai. Di sebagian daerah, pemerintah setempat bahkan menyubsidi gaji guru sehingga sampai di tingkat yang cukup layak.

Sebagaimana dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sejak tahun 2006 memberikan tambahan tunjangan perbaikan penghasilan untuk guru senilai Rp 1 juta per bulan. Dengan tambahan penghasilan itu, guru yang bergaji pokok Rp 1 juta, misalnya, akan menerima gaji Rp 2,7 juta per bulan, belum termasuk berbagai tunjangan.

Namun, hal itu sulit diwujudkan untuk guru non-PNS, apalagi mereka yang non-PNS tetapi mengajar di sekolah negeri. Hingga saat ini, problem guru non-PNS (swasta) maupun guru bantu (honorer) masih berputar-putar di persoalan kemampuan anggaran, baik itu pemerintah maupun yayasan tempat para guru swasta bernaung.

Seluruh kondisi tersebut menggambarkan niat baik pemerintah saja dengan berbagai perangkat yang dimiliki ternyata belum cukup. Perlu komitmen dan konsisten sistem untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan menjadikan profesi ini memang menarik karena aspek penghargaannya pula.

(Palupi Panca Astuti/ Litbang Kompas)

Jumat, 26 Desember 2008

BHP, Menuju Liberalisasi Pendidikan


Emile A Laggut

Liberalisasi kebijakan pendidikan (education policy). Itulah semangat UU Badan Hukum Pendidikan yang baru saja disetujui DPR.

Keputusan itu amat paradoks. Sebab, selain menegasikan amanat konstitusi, juga mengingkari realitas kehidupan masyarakat saat ini. Keputusan DPR ini bukannya memberi angin segar, melainkan justru mengembus angin ”polusi” bagi publik.

”Lex specialis” BHP

Pengesahan UU BHP dengan sendirinya menggeser UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya, UU ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebab, UU BHP mengandung asas lex specialis yang bakal menjadi acuan bagi semua kegiatan pendidikan, mulai dari pengembangan infrastruktur, tata kelola, proses, kegiatan formal dan non-formal, kurikulum, hingga penyediaan semua komponen terkait.

Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.

Ini berarti globalisme-liberalisme telah merambah dunia pendidikan. Menurut Dale R dan Robertson SL, ”The varying Effects of Regional Organization as Subjects of Globalization on Education”, Comparative Education Review (2002), terjadinya liberalisasi pendidikan tidak terlepas dari pembentukan organisasi-organisasi regional, seperti EU, NAFTA, AFTA, GATT, PECC, dan APEC.

Kehadiran organisasi-organisasi ini berpengaruh besar pada kebijakan pendidikan, bahkan sampai urusan pelaksanaan kebijakan. Global(isme) juga telah berpengaruh terhadap perkembangan konsep desentralisasi atau otonomisasi pendidikan. Hal ini akan berdampak pada pengelolaan kurikulum di setiap jurusan atau program studi, (Astiz, M F Wiseman, dan Baker D P Slouching towards Decentralization: Consequences of Globalization for Curricular Control in National Education System, 2002).

Untuk mengikuti tren ini pemerintah mendorong proses liberalisasi atau privatisasi sistem pendidikan. Sasarannya agar sistem pendidikan dicanangkan secara demokratis, efisien, akuntabel, kompetetif, serta memberdayakan sumber daya para dosen, guru, orangtua, dan siswa atau mahasiswa dan pihak-pihak lain dalam membangun pendidikan.

Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan (sekolah dan universitas) serta ketersediaan anggaran untuk gaji guru atau dosen dengan berbasiskan kompetensi dan daya saing yang tinggi. Pada tahap ini pendidikan semakin dianggap sebagai investasi sehingga pemerintah menjadikannya sektor terbuka bagi penanaman modal dan komoditas.

Selamatkan pendidikan

Ada sejumlah dampak negatif atas hadirnya UU BHP.

Pertama, sistem desentralisasi atau otonomi menyebabkan semua institusi pendidikan akan berlomba-lomba mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan membebani masyarakat.

Kedua, terpolarisasinya antara siswa atau mahasiswa jalur khusus (ekstensien) yang relatif berduit dan jalur mahasiswa reguler yang kebanyakan tidak berduit sehingga nilai pengabdian guru atau dosen terkontaminasi dengan aspek materialisme semata. Jadi, nilai pengabdian hanya diukur dengan duit, selain itu adanya bentuk diskriminasi pelayanan pendidikan antara si kaya dan si miskin.

Ketiga, otonomi perguruan tinggi tak terhindarkan sehingga fokus utamanya adalah otonomi pengelolaan keuangan. Maka, perguruan tinggi terus bersaing mencanangkan program-program yang relatif banyak mendatangkan uang.

Dengan pertimbangan finansial, perguruan tinggi telah berubah menjadi perusahaan yang melakukan kalkulasi perdagangan dengan mempertimbangkan untung-rugi. Maka, besar kemungkinan akan menutup jurusan atau program studi yang dianggap tidak menguntungkan.

Jadi, melalui UU BHP, universitas bisa dinyatakan pailit atau bangkrut. Proses pembisnisan pendidikan seperti ini amat meresahkan banyak kalangan, khususnya bagi orang miskin yang menginginkan anaknya menempuh pendidikan tinggi.

Seharusnya perguruan tinggi berposisi sebagai institusi yang mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang bersifat universal. Begitu pula dengan institusi pendidikan tingkat dasar dan menengah, selayaknya bisa membuka akses pendidikan bagi rakyat miskin.

Akses pendidikan

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), sebanyak 33,9 juta anak Indonesia dilanggar hak pendidikannya, 11 juta anak usia 7-8 tahun buta huruf dan sama sekali belum pernah mengecap bangku sekolah serta sisanya putus sekolah. Bila dirinci lagi ada 4.370.492 anak putus sekolah dasar dan 18.296.332 anak putus sekolah menengah pertama.

Adapun 11 juta sisanya (lebih dari 30 persen) anak buta huruf karena tidak pernah bersekolah. Bahkan, hanya 70,85 persen masyarakat miskin di Indonesia mendapatkan akses pendidikan sampai pada jenjang pendidikan menengah saja, sementara kelompok kaya mencapai 94,58 persen (Susenas, 2004).

Dengan hadirnya UU BHP ini justru lebih besar risikonya ketimbang manfaatnya karena semakin lemahnya akses kaum miskin terhadap pendidikan. Sejauh ini pemerintah tidak memprioritaskan program dan anggaran wajib belajar sembilan tahun. Bahkan, pemerintah sendiri belum melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN dan APBD 2008 ini.

Pendek kata, pengesahan UU ini telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat di satu sisi. Sementara itu, di sisi lain amat bertentangan dengan konstitusi, juga mengingkari hakikat pendidikan yang sesungguhnya.

Maka, sebaiknya sistem pendidikan nasional tetap mengacu konstitusi dan UU No 20 Tahun 2003 yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional yang demokratis, berkeadilan, manusiawi, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai kultural.

Sudah saatnya kita bersama-sama mematuhi amanat konstitusi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional demi terwujudnya pembangunan manusia Indonesia yang bermutu dan bermartabat.

Emile A Laggut Penulis Buku; Peneliti Bidang Hukum dan Masalah Sosial Politik

PERINGATAN HARI IBU


Saat Para "Ina" Merayakan Kemandirian
Jumat, 26 Desember 2008 | 00:45 WIB

Begitu memasuki halaman Pusat Program Perempuan Kepala Keluarga Lodan Doe di Desa Hinga, Kecamatan Kelubagolit, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (20/12) siang, sekelompok perempuan tampak asyik memainkan tarian bambu.

Kelompok lain yang terdiri dari sejumlah perempuan tua-muda menari kedong, tari perang adonara yang biasa dimainkan pria. Saat menari para perempuan yang mengenakan selendang tenun itu tampak perkasa. Dengan cekatan, mereka memegang perisai serta mengayun-ayunkan tombak dan parang.

Tari-tarian itu merupakan pembuka rangkaian acara Peringatan Hari Ibu yang diadakan Pusat Program Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Lodan Doe, komunitas perempuan kepala keluarga di Kecamatan Kelubagolit, Adonara, Kabupaten Flores Timur. Tarian yang mereka mainkan juga merupakan simbol keperkasaan kaum perempuan Adonara melawan kemiskinan.

Seusai mendengarkan sejumlah sambutan dari pengurus Pekka ataupun pejabat kantor kecamatan setempat, ratusan anggota komunitas itu pun mengambil bekal mereka. Dengan lahap, para ina (ibu) itu menyantap makanan yang dibawa dari rumah.

Tak berapa lama, hujan deras mengguyur. Mereka berbondong-bondong memasuki ruang pertemuan Pekka Lodan Doe untuk berteduh. Beberapa saat kemudian, acara cerdas cermat yang diikuti kelompok-kelompok Pekka dari sejumlah desa dimulai.

Meski berimpitan, para ina dengan penuh semangat menyaksikan lomba itu dan ikut menyemangati perwakilan kelompok mereka yang maju sebagai tim cerdas cermat. Salah seorang ina tampak memandu acara dan mengajukan beragam soal kepada para peserta.

Pertanyaan yang diajukan sangat bervariasi, mulai dari berhitung, pengetahuan tentang tanaman dan hewan di lingkungan sekitar, sampai seputar kesehatan reproduksi dan kesetaraan jender. Setiap ada peserta yang berhasil menjawab pertanyaan, para hadirin bertepuk tangan.

Yang tidak kalah seru adalah lomba peragaan busana, pada malam harinya. Jangan membayangkan pesertanya adalah para perempuan cantik bertubuh langsing dan berbaju glamor yang mahir berlenggak-lenggok. Sebab, pesertanya adalah para ina, bahkan banyak yang telah berusia lebih dari 60 tahun.

Ada tiga kategori yang dilombakan, yaitu baju pesta, pakaian untuk melayat, serta baju untuk bekerja di sawah dan berjualan di pasar. Mereka tak hanya menampilkan busana, tetapi juga memperagakan cara berdagang di pasar, aktivitas mencangkul dan menyiangi rumput, serta menyalakan lilin saat melayat.

Gelak tawa ramai terdengar setiap kali ada peserta lomba yang berusaha berlenggak-lenggok dengan gemulai dan berlagak genit di atas teras yang disulap menjadi panggung. Sementara itu, sejumlah peserta terlihat gugup dan malu-malu saat memperagakan busana.

Hak-hak perempuan

Sore beranjak malam. Mereka pun beranjak pulang. Sebagian hadirin berjoget bersama setelah lomba peragaan busana selesai diadakan. Sejenak mereka berbagi suka, menghilangkan segala beban hidup yang harus dipikul sebagai kepala keluarga.

Puncaknya, Minggu (21/12), di bawah terik matahari ratusan ina yang mengenakan baju dan sarung tenun dengan penuh semangat mengikuti pawai kendaraan berkeliling sejumlah desa di Pulau Adonara.

Di bagian depan kendaraan terpampang spanduk bertuliskan, ”Ibu adalah Segalanya”, ”Hapus Kekerasan Dalam Rumah Tangga”.

Pawai keliling desa itu sekaligus untuk menyosialisasikan hak-hak kaum perempuan di daerah terpencil tersebut yang selama ini terabaikan.

Dalam sambutannya, Ketua Serikat Pekka Lodan Doe Maria Abombole menekankan pentingnya kemandirian bagi perempuan agar lepas dari belenggu kemiskinan dan meraih keadilan. ”Kita oma-oma tidak punya ijazah sekolah. Tapi, kita tak mau kalah, kita juga ingin maju,” ujarnya.

Bagi para ina, peringatan Hari Ibu yang dilaksanakan sekali dalam setahun sangat dalam artinya dan tak sebatas seremonial. Perayaan Hari Ibu sekaligus untuk meneguhkan tekad yang terus terucap dari bibir mereka, ”Satukan Hati, Samakan Langkah, Raih Kemenangan”. (EVY)


UMU BHP


Eksistensi Yayasan Tidak Terganggu

Jakarta, Kompas - Eksistensi yayasan penyelenggara pendidikan tidak akan terganggu seiring dengan disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal di Jakarta, Rabu (24/12).

Seperti diberitakan sebelumnya, Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia dan Forum Komunikasi Penyelenggara Pendidikan terganggu dengan Pasal 67 Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Dalam pasal itu disebutkan, yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang belum menyesuaikan tata kelolanya sebagaimana diatur dalam UU BHP, harus menyesuaikan paling lambat enam tahun sejak undang-undang itu diundangkan.

Dalam ayat lain pada pasal yang sama disebutkan pula penyesuaian tata kelola itu dengan mengubah akta pendiriannya. Saat ini terdapat badan pembina, pengawas, dan pengurus. Namun, setelah enam tahun struktur organisasi harus tunduk kepada tata kelola BHP, yang artinya keberadaan yayasan bisa terpengaruh. Padahal, saat ini justru yayasan yang menjadi pendiri dan penyandang dana awal pendirian perguruan tinggi swasta.

”Sebagai yayasan umum, tetap bisa melakukan kegiatan dan dilindungi UU Yayasan. Hanya saja, dalam konteks penyelenggaraan pendidikan harus terdapat struktur yang melaksanakan fungsi-fungsi yang diminta dalam UU BHP,” kata Fasli Jalal.

Menurut Fasli, penyesuaian itu antara lain dalam pembentukan majelis wali amanat. ”Namanya terserah, tetapi tugasnya dalam menjalankan fungsi sebagai majelis wali amanat harus berjalan,” kata Fasli.

Untuk memperkaya representasi, anggota tidak hanya dari yayasan. Namun, itu pun hanya sepertiga dan lainnya boleh orang yayasan. Pembina yang menjadi tokoh utama yayasan bisa duduk di majelis wali amanat. ”Hanya saja, kalau membuat perguruan tinggi baru kelak, harus menjadi struktur BHP penuh,” ujar Fasli. Perguruan tinggi swasta yang ada sekarang diberi kesempatan untuk membenahi diri selama enam tahun ke depan.

Struktur yang sudah ada di yayasan juga dapat disesuaikan agar menjalankan fungsi yang diminta BHP. Dia mencontohkan, badan pengawas yayasan dapat menjadi dewan audit. Fasli mengatakan, para pendiri yayasan juga dapat tetap berperan dominan.

Mengenai rencana berbagai elemen pendidikan untuk mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi, Fasli mengatakan, semua hak hukum warga negara harus dihargai. Depdiknas siap menerima dan menjalankan keputusan hukum apa pun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi. (INE)

Senin, 22 Desember 2008

Mari Mengungsi ke Mars



Brigitta Isworo L

Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim di Poznan, Polandia, berakhir sepekan lalu. Tidak ada perubahan komitmen pengurangan emisi karbon. Pemanasan bumi akibat emisi karbon diprediksi menyebabkan Bumi tak mampu lagi menyangga kehidupan pada akhir abad ini.

Ke mana kita akan mengungsikan kehidupan (terutama manusia) ini? Pencarian ini antara lain yang kemudian menjadi obyek ketika penjelajahan ruang angkasa menjadi semakin ”menjanjikan” sejak pendaratan Neil Armstrong 10 Juli 1967 di permukaan Bulan.

Penjelajahan terus berlanjut bukan hanya ke Bulan, tetapi merambah planet-planet lain dalam galaksi Bimasakti.

Program observasi National Aeronautics and Space Administration (Badan Aeronautika dan Ruang Angkasa Nasional/NASA) Amerika Serikat Mars Reconnaissance Orbiter (MRO) telah berakhir dan hasilnya dipaparkan dalam jurnal ilmiah Science, Jumat (19/12).

Hasil dari misi penjelajahan MRO yang pertama tersebut telah berhasil menemukan bukti- bukti akan adanya mineral-mineral yang penting untuk mendukung kehidupan. Bukan hanya mineral, bahkan jejak-jejak yang membuktikan adanya air di permukaan Mars juga terekam di beberapa lokasi.

Penemuan akan bukti-bukti tersebut mengindikasikan bahwa pernah ada mikroba—sebagai bentuk awal kehidupan—hidup di Mars ketika planet tersebut kondisinya lebih basah (baca: mengandung air) dibandingkan saat ini. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan MRO tahap kedua yang akan berlangsung selama dua tahun.

Penemuan yang cukup melegakan ini karena ternyata Mars tidaklah ”seganas” yang pernah dipikirkan semula.

Bukti akan adanya air di Mars diketahui saat ditemukan adanya parit-parit yang terbentuk oleh aliran air, kemungkinan berasal dari danau purba.

Bukti akan adanya air juga muncul ketika ada ditemukan jenis-jenis mineral yang hanya bisa terbentuk jika terjadi interaksi dengan unsur air.

Persoalan yang masih ada dan masih harus terus dicari dan dibuktikan adalah seberapa banyak air yang pernah ada di Mars tersebut, dan seberapa besar dukungannya terhadap kehidupan mikroba atau kehidupan yang primitif (metabolismenya sederhana)? Jawabannya mungkin belum akan ditemukan dalam waktu dekat.

Di sisi lain, bukti-bukti tersebut mengisyaratkan bahwa di Mars pernah ada periode ketika air membentuk tanah liat yang disusul periode kering saat Mars kaya akan unsur garam dan unsur airnya bersifat asam. Kondisi ini amat tidak cocok untuk mendukung kehidupan.

Persoalannya, kondisi di Mars tidaklah serupa antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Oleh karena masih ditemukan sejumlah unsur karbon yang mengindikasikan wilayah itu tidak bersifat asam-unsur asamnya rendah. Karbon amat mudah terurai jika bertemu unsur asam. Unsur karbon juga ditemukan pada batuan meteorit yang berasal dari Mars.

”Kehidupan yang primitif mungkin menyukainya. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, dan tidak terlalu asam. Sebuah tempat yang ’tepat’,” ujar Bethany Ehlmann sarjana dari Brown University di Providence.

Unsur karbon yang telah memberikan harapan tersebut ditemukan MRO di daerah yang disebut Nili Fossae, sekitar 667 kilometer panjang dan berada di tepian Isidis-kolam yang telah kering, dan di dekat batuan yang terekspos di tepi lembah kawah. Jejak serupa ditemukan di Terra Tyrrhena dan Libya Montes.

Sejumlah peneliti memiliki teori yang berbeda-beda tentang terbentuknya karbon. Misalnya, ada yang menyebutkan air tanah (Mars) terangkat ke permukaan melewati batuan yang mengandung olivin di permukaan dan terpapar pada hujan atau danau kecil. Teori tersebut mempertebal keyakinan bahwa di Planet Merah itu pernah ada air di permukaannya.

Berkeliling

Perjalanan MRO berkeliling planet telah membawanya menemukan bukti-bukti bahwa sebagian besar wilayah dataran tinggi di bagian selatan planet yang luas itu dialiri air dengan kondisi lingkungan yang bervariasi pada 4,6 miliar-3,8 miliar tahun yang lalu.

Bukti-bukti itu ditunjukkan dengan penemuan batuan filosilikat yang tersebar meluas di belahan selatan planet. Batuan filosilikat ini mengandung unsur besi, magnesium atau aluminium, mica, dan kaolin.

”Dalam filosilikat, atom-atomnya tertata secara berlapis dan semua memiliki unsur air atau kandungan hidrogen dan oksigen yang membentuk suatu struktur kristal,” tutur anggota tim MRO, Scott Murchie, dari John Hopkins University.

Lapisan batuan yang mengandung kristal air tersebut berada di lapisan batuan vulkanik yang belum terlalu tua. Di bagian kawah, misalnya di Valles Marineris, di belahan selatan planet, terpapar lapisan lempung purba dan berbagai mineral lain.

”Ini seperti sebuah perjalanan ke lapisan batuan di dasar Grand Canyon,” ujar Murchie merujuk pada salah satu fenomena geologis yang terbesar.

Variasi tanah lempung dan berbagai mineral yang ditemukan di Mars tersebut mengindikasikan adanya variasi kondisi lingkungan di Mars.

Di belahan utara Mars ditemukan batuan dengan kandungan berbeda, yaitu sulfat yang mengindikasikan lingkungan yang lebih kurang mendukung kehidupan dibandingkan selatan.

Nah, mungkin suatu hari nanti kita bisa mengungsi ke belahan selatan Mars? Atau... maukah kita menyelamatkan kapal kehidupan kita yang bernama Bumi...?

UU BHP


Korporatisasi Pendidikan

Darmaningtyas

Korporatisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai perusahaan besar yang memisahkan antarkepemilikan saham dengan manajemen.

Sedangkan korporatisasi pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah proses pembentukan korporasi di dalam dunia pendidikan. Bentuk korporasi pendidikan yang dimaksudkan di sini memang tidak persis seratus persen sama dengan korporasi dalam dunia bisnis, yang aktivitas utamanya mencari keuntungan bagi para pemilik saham dan manajemen, tapi langkah-langkah, tahapan, prosedur, maupun hasil akhir yang ingin dicapai itu sama persis, yaitu penciptaan standardisasi dan efisiensi guna mencapai produk unggulan.

Proses ke arah pembentukan korporasi dalam pendidikan itu dilakukan secara sistematis dan legal. Sistematis dimulai dengan memperkenalkan istilah-istilah korporasi ke dalam khazanah pendidikan sehingga menghegemoni masyarakat sekolahan, sedangkan legal diberikan payung hukumnya, baik dalam bentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah, maupun undang-undang, dan yang terakhir adalah Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru disahkan, 17 Desember 2008.

Awal proses

Awal proses pembentukan korporasi dalam dunia pendidikan itu dimulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan dan kemudian diikuti dengan PP No 152-155 Tahun 2000 tentang pembentukan UI, UGM, IPB, dan ITB menjadi PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status dari PTN menjadi BHMN memiliki implikasi luas terhadap perubahan peran institusi pendidikan tersebut, yang menjadi sangat komersial dan pabrikan. Perguruan tinggi, khususnya universitas, bukan lagi sebagai wahana untuk pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan mencari kebenaran, tapi sekadar institusi legal yang punya kedudukan hukum di masyarakat untuk melakukan pungutan-pungutan yang amat mahal dan mencekik.

Istilah baru

Beberapa istilah baru, seperti Majelis Wali Amanah (MWA), tata kelola, Dewan Audit, Organ Audit, Dewan Pengawas, penjaminan mutu, layanan prima, usaha komersial, investasi, investasi dalam bentuk portofolio, ketenagaan, keuntungan, sisa keuntungan, kekayaan, kekayaan dan pendapatan, pemisahan kekayaan, transparansi, akuntabilitas, dan tanggung gugat, volume pendapatan, aktiva, pasiva, penggabungan, pembubaran, dan pailit, adalah istilah yang sebelumnya tidak pernah dikenal di dunia pendidikan, termasuk dalam UU No 4/1950 tentang Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah serta UU No 2/1989 dan UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, sejak keluarnya PP No 61/1999 dan PP No 152- 155 Tahun 2000, istilah-istilah tersebut menjadi sangat akrab dan semakin melembaga lagi setelah DPR mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP. UU BHP memang UU tentang korporasi pendidikan karena yang diatur hanya mengenai masalah tata kelola, kekayaan, pemisahan kekayaan, ketenagaan, pendanaan, tata cara investasi, serta mekanisme pembubaran dan pailit dari badan hukum pendidikan.

Istilah-istilah yang digunakan dalam bab dan pasal dalam UU BHP ini adalah istilah yang biasa digunakan di dalam korporasi, bukan di dalam dunia pendidikan. Maka wajar bila UU BHP lebih cocok mengatur tentang sebuah korporasi, bukan mengatur pendidikan yang visinya mencerdaskan bangsa dan misinya sosial. Sebab, UU BHP justru secara resmi mengatur aktivitas bisnis bagi BHP (Pasal 43). Ini bertentangan dengan pasal di depan yang menyatakan BHP sifatnya nirlaba.

Penyederhanaan masalah

Berdasarkan istilah-istilah yang dipakai dalam UU BHP itulah yang membuat kami menolak RUU BHP untuk disahkan menjadi UU karena sama saja mendorong pendidikan menjadi korporasi. Sebab, berangkat dari istilah-istilah itulah, maka ketika UU itu diimplementasikan, implementasinya tidak akan jauh berbeda. Bila dalam UU BHP tidak dikenal lagi istilah ”sekolah” dan ”guru” karena digantikan dengan istilah ”badan hukum pendidikan” dan tenaga pendidik, maka dalam implementasinya nanti tidak ada istilah ”sekolah” dan ”guru”. Padahal, kata ”sekolah” dan ”guru” memiliki makna sosiologis dan filosofis yang lebih luas daripada kata ”badan hukum pendidikan” dan ”tenaga pendidik”. Sebaliknya, karena dalam pasal-pasal UU BHP itu adalah Badan Audit, Badan Usaha Komersial, Pemisahan Kekayaan, Investasi, dan sebagainya, maka yang akan terjadi di lapangan ya seperti itu. Akhirnya, ketika UU BHP dilaksanakan, tidak menjawab persoalan pendidikan nasional sama sekali, tapi hanya menjawab masalah tata kelola. Padahal, tata kelola itu hanya sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.

Tugas pokok lembaga pendidikan formal untuk melakukan pengajaran dan pendidikan justru terabaikan karena penyelenggara justru sibuk dengan urusan tata kelola yang teknis-administratif-manajerial, termasuk mengurusi masalah pemisahan kekayaan antara pemerintah dan BHP atau antara pendiri dan BHPM (sekolah-sekolah swasta). Atau sibuk mengembangkan bisnis melalui investasi. UU BHP memang mereduksi pendidikan hanya pada masalah tata kelola, dan tata kelola pun lebih fokus pada pendanaan saja, terutama bagi-bagi peran antara pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan UU BHP akan mengeliminir pelaksanaan pendidikan gratis karena tidak ada pasal yang mengatur tentang masalah tersebut (kecuali pendidikan dasar) serta akan menjadikan nasib guru makin tidak jelas, kecuali sebagai buruh kontrak saja.

UU BHP juga mengabaikan hak anak-anak miskin dan bodoh—yang notabene populasinya di masyarakat mencapai 40 persen sendiri—karena yang diatur hanya beasiswa untuk yang miskin tapi pintar dan bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Lantas, siapa yang membiayai pendidikan anak-anak miskin dan bodoh tersebut? Sungguh tragis apabila masalah pendidikan hanya disederhanakan pada masalah tata kelola.

”Judicial review”

Disahkannya RUU BHP menjadi UU sebetulnya merupakan lonceng kematian bagi pendidikan nasional karena negara tidak lagi melindungi hak-hak warganya untuk memperoleh akses pendidikan secara gratis dan bermutu. Untuk itu, sebelum UU BHP diterapkan, ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melawan keberadaan UU BHP, yaitu, pertama, melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan kedua pembangkangan sipil (civil disobedience) dengan tidak mau menjalankan UU tersebut karena kita sudah memiliki UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disusun dengan menimbulkan kontroversi. Judicial review agar dapat mempunyai kekuatan mencari kebenaran mutlak harus dilakukan bersama-sama di antara kelompok yang menolak RUU BHP, baik itu di perguruan tinggi, yayasan, aktivis LSM, mahasiswa, dan sebagainya. Mereka harus mau membuang ego sektoralnya guna membangun aliansi yang kuat untuk menolak UU BHP.

Semoga para hakim di Mahkamah Konstitusi masih diterangi oleh cahaya kebenaran sehingga dapat melihat bahwa UU BHP menyimpang dari semangat Pancasila dan UUD 1945.

Darmaningtyas Aktivis Pendidikan yang Anti-UU BHP

Kamis, 18 Desember 2008

Memburu Gelar Magister


  • Oleh Wardjito Soeharso

DALAM dasa warsa terakhir ini, semakin banyak pejabat pemerintahan yang melanjutkan studi jenjang magister/strata dua (S-2). Seperti sudah menjadi tren, gelar magister harus terpajang di belakang nama. Kalau sudah memiliki gelar itu, tampaknya para pejabat tersebut menjadi lebih percaya diri, bergengsi, dan berwibawa.

Sayangnya, gelar itu tidak diikuti dengan penampilan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Dalam penampilan sehari-hari, mereka ”biasa-biasa” saja. Artinya, ketika berbicara dalam berbagai forum, mereka tidak memperlihatkan keluasan berpikir, ketajaman analisis, dan ketepatan dalam memilih berbagai alternatif pemecahan masalah.

Lebih parah lagi, mereka justru lebih banyak diam, tidak ikut ambil bagian dalam diskusi, sehingga memunculkan persepsi yang mengarah kepada stereotype bahwa gelar magister yang berderet di belakang namanya tidak memiliki makna apa-apa.

Dalam birokrasi pemerintahan, jenjang pendidikan memang sangat penting untuk meniti karier. Lulusan SMA, D-2, D-3, S-1, S-2, dan S-3, masing-masing sudah ditentukan di mana posisi awal ketika diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Begitu pula, dalam meniti karier selanjutnya, jenjang pendidikan juga memiliki porsi cukup besar, sebagai bahan pertimbangan untuk promosi menuju struktur jabatan yang lebih tinggi.

Sesungguhnya, birokrasi pemerintahan sangat memerlukan PNS yang berkualitas akademik cukup baik, dari tingkat D-3, S-1, S-2, sampai S-3. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, birokrasi pemerintahan harus memiliki think tank yang kuat. Pemikir dengan kapasitas akademik yang baik, ditunjang pelaksana dengan kemampuan manajerial yang andal, menjadi kebutuhan mutlak bagi birokrasi pemerintahan saat ini.

Era globalisasi yang membawa angin perubahan begitu cepat di seluruh dunia, mau tidak mau, suka tidak suka, dilihat sebagai tantangan yang harus dijawab. Untuk menjawab tantangan globalisasi, peningkatan kapasitas keilmuan melalui studi lanjut juga menjadi alternatif yang banyak dipilih.

Maka wajar saja kalau para pejabat kemudian berusaha mati-matian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena dengan gelar akademik yang tinggi itu akan meningkatkan daya saingnya, dan membuka peluang yang lebih luas untuk memperoleh posisi yang lebih strategis.

Sekadar Alat

Sayangnya, kebutuhan birokrasi terhadap pejabat yang berkualitas akademik itu tidak dipahami secara benar. Gelar magister sebagai bukti selesainya studi lanjut atau pascasarjana di perguruan tinggi, dianggap sekadar alat atau sarana untuk meningkatkan kualifikasi kepegawaian semata. Akibatnya, para pejabat itu menempuh studi lanjut hanya untuk mencari tambahan gelar, bukan untuk meningkatkan kapasitas keilmuan. Itulah bentuk kredensialisme, faham yang hanya melihat dokumen (ijazah) sebagai simbol status belaka.

Berangkat dari asumsi yang salah kaprah seperti itu, banyak pejabat yang meneruskan belajar ke jenjang pascasarjana sekadar ingin memperoleh ijasah dan gelar. Bagi mereka, yang penting memperoleh gelar magister, sedangkan soal substansi atau ilmu bukanlah prioritas yang perlu dipikirkan.
Dengan gelar magister terpajang di belakang namanya, dalam administrasi kepegawaian, posisinya di daftar urut kepangkatan (DUK) akan cepat terdongkrak naik. Dengan tambahan gelar, status sosialnya pun ikut terangkat; orang lain menjadi semakin hormat.

Dalam hukum ekonomi, berlaku hukum supply and demand, yaitu jika ada permintaan tentu ada penawaran. Adanya minat yang tinggi dari pejabat untuk meneruskan belajar ke jenjang pascasarjana ditangkap dengan baik oleh lembaga pendidikan tinggi.

Kini hampir semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba untuk membuka program pascasarjana. Bahkan ada perguruan tinggi yang secara khusus menawarkan program pascasarjananya kepada pejabat secara berkelompok untuk mengikuti perkuliahan memanfaatkan waktu yang disesuaikan dengan jam kerja lembaga pemerintah.

Banyak perguruan tinggi membuka model long distance learning (perkuliahan jarak jauh) atau week-end (kuliah sabtu-minggu) hanya untuk mengakomodasi keleluasaan waktu kuliah para pejabat.

Sebenarnya tidak ada yang salah apabila perguruan tinggi memberikan kesempatan kepada PNS untuk belajar dalam program pascasarjana. Sudah semestinya perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan tinggi, menjadi salah satu mesin yang harus mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Para lulusan pascasarjana diharapkan mampu menampilkan diri sebagai intelektual yang kritis, analitis, dan mampu memberikan sumbangan pemikiran signifikan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dan pemerintah.

Formalitas Prosedural

Tetapi tampaknya harapan ideal itu masih jauh dari jangkauan. Perguruan tinggi, dalam seleksi penerimaan calon mahasiswa program pascasarjana masih berorientasi kepada kuantitas, bukan kualitas. Tes masuk bukanlah alat seleksi untuk pendaftar, melainkan sekadar formalitas prosedural yang harus dilalui pendaftar sebelum diterima sebagai mahasiswa pascasarjana. Tak heran, banyak calon mahasiswa pascasarjana (terutama dari PNS) yang kapasitas akademiknya rendah, tetap dapat diterima sebagai mahasiswa.

Karena sistem entri yang kurang baik itulah, kualitas pendidikan jenjang pascasarjana sering dipertanyakan. Gelar magister akhirnya mengalami degradasi, karena pemiliknya gagal memperlihatkan kualitas akademik sesuai dengan gelarnya.

Kalau hal itu tidak segera diubah, opini publik terhadap kualitas pejabat di birokrasi semakin rusak; begitu pula nama perguruan tinggi akan dipertaruhkan.

Mestinya ada standarisasi, perguruan tinggi dengan akreditasi seperti apa yang boleh dipilih pejabat untuk meneruskan studi lanjut pascasarjananya. Dengan adanya standarisasi, pejabat tidak boleh kuliah di perguruan tinggi, selain di perguruan tinggi yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, pejabat yang ingin meneruskan kuliah dibatasi, hanya boleh memilih perguruan tinggi papan atas yang berkualitas. Standarisasi perguruan tinggi semacam itu tentu dapat berfungsi sebagai alat seleksi yang wajar dan alamiah. Hanya pejabat yang memang memiliki kemampuan akademik yang baik sajalah, yang dapat meneruskan studi lanjut ke program pascasarjana.

Lebih parah lagi, mereka justru lebih banyak diam, tidak ikut ambil bagian dalam diskusi, sehingga memunculkan persepsi yang mengarah kepada stereotype bahwa gelar magister yang berderet di belakang namanya tidak memiliki makna apa-apa.

Adapun kalau ada yang memaksakan diri meneruskan kuliah pascasarjana di perguruan tinggi di luar standar akreditasi, apalagi di perguruan tinggi yang tidak jelas statusnya, mereka hanya akan buang waktu, tenaga, dan uang, karena ijazah dan gelar mereka tidak diakui dan tidak akan berpengaruh terhadap status kepegawaiannya.

Itu sebuah fenomena menarik yang perlu dicermati. Bertambah hari semakin banyak pejabat yang melanjutkan belajar, lulus, dan menambah gelar akademik magister di belakang namanya. Logikanya, dengan semakin banyak pejabat lulusan pascasarjana, tentu semakin meningkat pula kinerjanya. Apakah logika itu benar, tampaknya masih perlu diuji dulu.

Fakta membuktikan, yang terjadi justru semakin banyak pejabat sedang terkena virus kredensialisme. Paham yang menganut ijazah dan gelar akademik sebagai kehormatan yang mampu memberikan simbol dan status sosial kepada pemakainya. Yang penting punya ijazah, dan berhak memajang gelar magister di belakang namanya. Mutu perguruan tinggi tak terlalu perlu, tesis bisa dicuri, ijazah bisa dibeli.(68)

–– Wardjito Soeharso, Widyaiswara pada Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Provinsi Jawa Tengah.

Rabu, 17 Desember 2008

Kurikulum Lipstik


Doni Koesoema A

Pembentukan karakter merupakan bagian penting kinerja pendidikan. Namun, kecenderungan untuk menciptakan praksis on the spot yang dipaksakan hanya akan melahirkan sikap reaktif. Kurikulum lipstik lantas menjadi tren. Siswa menjadi obyek bagi ajang pelatihan. Akibatnya, pendidikan terjerembab pada kedangkalan.

Sekolah menjadi reaktif saat terburu- buru ingin menanggapi tantangan zaman. Seolah sekolah adalah obat bagi masalah itu. Saat korupsi merajalela di masyarakat, pendidik sibuk mengembangkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Ada yang mempromosikan sekolah antikorupsi, program kantin kejujuran, dan lainnya (Kompas, 5/12/2008). Juga ada yang mengusulkan masuknya mata pelajaran khusus, Pendidikan Antikorupsi untuk menggantikan PPKn dan Agama yang dianggap gagal menjalankan misinya.

Selain itu, tuntutan akuntabilitas pendidikan akibat tantangan standardisasi telah membuat para pendidik lari pontang- panting mengikuti berbagai macam program kilat pengembangan diri, mulai dari seminar cara mengajar efektif dan kreatif, pola pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), diklat positive thinking, mengikuti lokakarya, dan berbagai macam pelatihan bertajuk pendidikan. Pola kian menjadi-jadi saat model portofolio sertifikasi mensyaratkan adanya berbagai macam sertifikat untuk memperoleh poin. Lembaga seminar menjamur, panitia untung, guru untung, tetapi murid buntung.

Sikap reaktif inilah yang belakangan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Seperti lipstik hanya menjadi tampilan luar dan akan hilang dalam sekejap, reformasi pendidikan juga tidak akan bertahan lama jika pendidik sibuk mengurusi hal-hal yang bukan menjadi tugas utamanya, apalagi jika menjadikan siswa sekadar obyek pelatihan. Gejala ini saya sebut dengan kurikulum lipstik.

Restrukturisasi

Oleh Fulan (1993), gejala ini disebut restrukturisasi, yaitu sekadar proses pembaruan guru di tingkat pinggiran, berupa peningkatan keterampilan teknis pengajaran, tetapi tidak disertai perubahan cara pandang. Selain itu, gelojoh mengikuti tren berbagai macam gerakan, dengan berbagai macam label anti (korupsi, kekerasan, narkoba, pornografi, dan lainnya) yang dipaksakan di sekolah hanya akan mengorbankan siswa untuk keinginan politik kelompok tertentu.

Memang, sekolah harus melawan korupsi, menentang kekerasan, menawarkan cara hidup sehat, dan mendidik siswa cara menghormati tubuh sesama sebagai makhluk mulia dan berharga karena sama- sama ciptaan Tuhan. Namun, gagal melawan kesabaran disertai nafsu reaktif bisa menjadikan guru sebagai pahlawan kesiangan yang tidak pernah menyadari bahwa menekuni pekerjaan rutin harian di kelas itulah tugas utamanya. Pembentukan karakter itu terjadi melalui dinamika pengajaran di kelas, bukan melalui seminar, sosialisasi, atau pelatihan dadakan.

Diskursus tentang pembentukan karakter yang dipahami secara parsial bisa menjadi sarana pelarian (eskapisme) guru dari tanggung jawab mereka untuk meningkatkan prestasi akademis siswa dengan cara memberi penekanan berlebihan pada unsur-unsur non-akademis.

Padahal, keunggulan akademis adalah bagian dari pembentukan karakter itu sendiri. Tugas utama guru adalah mengembangkan ekselensi akademis dalam diri siswa. Mutu pendidikan kita kian menurun karena visi keunggulan akademis ini diabaikan. Akibatnya, pembentukan karakter siswa juga terpinggirkan.

Agar pembentukan karakter terjadi integral, guru perlu memahami kembali visi pengajarannya dan percaya bahwa mengembangkan keunggulan akademis adalah tugas utamanya sebagai pendidik. Siswa yang memiliki ekselensi akademis mengandaikan keterbukaan, kemampuan bertanya, berdiskusi, menganalisis masalah, dan mampu mendialogkan ilmu pengetahuan dengan orang lain. Dialog seperti ini terjadi jika masing-masing memiliki keyakinan nilai tentang kebenaran pengetahuan dan maknanya bagi kemaslahatan hidup bersama. Jika ini terjadi, secara tidak langsung karakter anak didik yang terbuka, kritis, dan mau berdialog akan berkembang. Siswa menjadi individu dengan karakter kuat.

Rekulturasi

Di tengah maraknya ”kurikulum lipstik” itu, yang sebenarnya diperlukan adalah rekulturasi, yaitu proses pengembangan diri guru untuk kembali memahami hakikat kinerjanya sebagai pendidik yang hidup dalam keterbatasan ruang, waktu, dan bekerja melalui struktur sekolah yang sering malah membatasi fungsi utamanya sebagai pendidik. Restrukturisasi tidak dengan sendirinya meningkatkan kualitas pengajaran (Elmore, 1992). Seminar-seminar tidak otomatis mengubah paradigma mengajar guru, bahkan bisa jadi malah memperkuat konservatisme (Lortie, 1975).

Pembaruan dangkal tetapi ingar-bingar memang lebih seksi dan menarik hati. Namun, pembentukan nilai dan peningkatan kualitas akademis sebenarnya kinerja bersama yang tidak bisa diatasi sekadar dengan menimba ilmu dari orang- orang luar atau dari pembicara publik yang sama sekali tidak mengerti proses belajar- mengajar di kelas. Yang mengenal siswa di kelas adalah guru. Yang paling mengerti apa yang dibutuhkan siswa agar maju dalam menimba ilmu adalah guru.

Rekulturasi mengandaikan guru mampu membangun komunitas belajar profesional dalam lingkungan sekolah. Penumbuhan komunitas belajar profesional hanya bisa muncul saat guru bekerja sama, saling berbagi informasi dan mengevaluasi pekerjaan satu sama lain dengan mengambil kasus-kasus nyata dalam kelas. Meningkatkan mutu pembelajaran membutuhkan ketekunan, terutama berani menilai diri bagaimana guru mengajar di kelas. Inilah pekerjaan on the spot guru.

Pekerjaan seperti ini jauh dari ingar- bingar dan meriahnya seminar di hotel. Juga tidak ada sertifikat atau plakat sebab guru langsung masuk ke jantung pekerjaan utama. Kurikulum lipstik akan lewat, tetapi guru berdedikasi akan berdiri kuat. Mati raga sambil terus mau mengubah diri, bahkan mau belajar dari rekan guru dan siswa agar siswa menggapai keunggulan akademis, inilah yang membuat guru benar-benar menjadi guru.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Pertumbuhan Profesionalitas Keguruan


Mochtar Buchori

Profesionalitas keguruan—atau keprofesionalan di bidang keguruan—adalah sesuatu yang tumbuh, berkembang, dan layu.

Keprofesionalan itu tumbuh saat seseorang menyiapkan diri menjadi guru. Berkembang saat mereka bekerja sebagai guru; layu saat mereka tak lagi menggeluti pekerjaan sebagai guru.

Pandangan ini bertentangan dengan anggapan banyak orang, profesionalisme dan profesionalitas merupakan sesuatu yang konstan, tidak berubah-ubah, dalam diri guru. Menurut anggapan ini, jika seseorang telah mendapat pendidikan profesional untuk pekerjaan guru, ia akan menjadi guru profesional dengan profesionalitas yang menetap di suatu jenjang tangga profesionalitas keguruan.

Mana yang benar? Menurut saya anggapan pertama. Dalam setiap profesi, profesionalitas seseorang akan berubah dan umumnya perubahan itu berupa kenaikan. Amat langka profesionalitas seseorang mengalami kemunduran. Ini hanya terjadi ketika orang meninggalkan jabatan profesionalnya.

Almarhum Prof Dodi Tisna Amijaya semula adalah seorang ilmuwan biologi. Namun, setelah bertahun-tahun menjadi birokrat—mulai dari Rektor ITB, lalu Dirjen Pendidikan Tinggi, Ketua LIPI, dan akhirnya Duta Besar RI di Paris—beliau merasa bukan lagi seorang ilmuwan biologi. Katanya suatu ketika, ”Saya ini kan bukan biologist lagi. Saya sudah berubah menjadi biopolitician.”

Begitu pula jika seorang dokter pindah jabatan menjadi menteri. Ia akan kehilangan profesionalitasnya sebagai dokter, apalagi jika dokter itu bertahun-tahun bertahan menjadi menteri. Almarhum dr Soedarsono, mantan Dubes RI di Yugoslavia, pada tahun 1947 duduk sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Linggarjati. Suatu saat, ada seorang anggota delegasi asing jatuh sakit. Dr Soedarsono diminta memeriksa anggota delegasi asing itu. Merasa tidak sanggup lagi melakukan pekerjaan seorang dokter, dia meminta koleganya, almarhum dr Yuwono, untuk menggantikan memeriksa pasien asing itu. Kata dr Soedarsono kepada dr Yuwono: ”Tolong gantikan saya! Saya sudah bertahun-tahun tidak memeriksa pasien.” Konon, selama pendudukan Jepang beliau sibuk dengan urusan politik.

Profesionalitas

Mari kita periksa dinamika profesionalitas bidang kepilotan.

Ketika seseorang menyelesaikan pendidikannya sebagai pilot, ia sudah seorang pilot profesional. Tetapi, profesionalitasnya dalam mengemudikan pesawat terbang masih terbatas. Ia hanya boleh mengemudikan pesawat terbang dari jenis yang dipelajari selama pendidikan. Biasanya jenis ringan atau kecil dan belum boleh mengemudikan pesawat terbang besar, seperti Boeing 737 atau Boeing 747. Izin untuk ini kelak akan diperoleh setelah ia mengikuti serangkaian pendidikan pilot tambahan. Jika kelak pilot itu dipindahkan dari pesawat Boeing 747 ke Airbus 380, ia harus menjalani pendidikan atau pelatihan khusus untuk Airbus 380 sebelum benar-benar boleh mengemudikan Airbus 380.

Bagaimana dengan seorang guru? Ketika ia menyelesaikan pendidikan profesionalnya sebagai guru, ia sudah disebut guru profesional. Gajinya pun sudah lebih tinggi daripada guru yang belum mendapat predikat guru profesional. Tetapi, dalam status guru profesional pemula, profesionalitas keguruannya masih terbatas. Ia belum dapat melaksanakan tugas-tugas keguruan yang kompleks. Misalnya, ia belum dapat menangani murid yang bandel. Ia juga belum mampu melayani dengan baik kebutuhan murid yang amat cerdas atau yang lamban pikirannya. Ia baru dapat melayani murid-murid biasa, murid ”rata-rata” (average pupils) karena baru itulah yang dipelajari.

Batas profesionalitas

Dalam setiap profesi, ada tugas-tugas profesional yang relatif mudah selain yang relatif rumit. Tugas profesional yang relatif mudah dapat diserahkan kepada profesional pemula dengan kecakapan profesional minimal. Adapun tugas profesional yang kompleks atau rumit harus ditangani petugas profesional dengan profesionalitas lebih tinggi.

Di bidang kedokteran, dokter muda dengan profesionalitas kedokteran masih minim hanya boleh menangani apa yang disebut ”penyakit-penyakit umum”. Untuk penyakit-penyakit khusus harus ditangani dokter dengan profesionalitas lebih tinggi, seperti dokter spesialis.

Masalahnya, apa batas minimal profesionalitas keguruan? Ini merupakan masalah yang harus ditentukan secara hati-hati. Dalam bidang profesionalitas pilot, batas minimalnya (mungkin) mampu menerbangkan pesawat secara lancar dan selamat. Tetapi, jika pilot profesional pemula ini dibajak di udara, dapatkah dia mengatasinya dengan baik, tanpa seorang penumpang pun menjadi korban? Mungkin tidak! Untuk mengatasi pembajakan udara, diperlukan pilot dengan profesionalitas kepilotan lebih tinggi.

Profesionalitas tambahan seperti ini biasanya datang dari pengalaman. Jadi, dalam bidang kepilotan, peningkatan jenjang profesionalitas ditentukan oleh dua faktor, pendidikan lanjutan dan pengalaman.

Profesionalitas keguruan

Bagaimana dengan keguruan? Faktor-faktor apa yang menjadi kriteria untuk menentukan, apakah jenjang profesionalitas seorang guru harus dinaikkan atau belum? Saya tidak tahu! Saya tidak punya pengalaman di bidang supervisi pendidikan.

Pertanyaan ini dikemukakan dengan maksud agar kita yang merasa turut berkepentingan juga ikut memikirkannya. Jika masyarakat tidak turut berpikir, proyek besar nasional untuk membuat guru-guru kita menjadi profesional bisa terancam bahaya kekacauan konseptual yang dalam praktik bisa muncul dalam berbagai jenis malapraktik dalam pengelolaan guru.

Tujuan profesionalisasi keguruan ini akhirnya bukan hanya menciptakan kesempatan bagi para guru untuk meningkatkan pendapatannya secara sah (¬legitimate). Yang lebih penting ialah menaikkan kompetensi para guru kita dalam kegiatan pembelajaran (teaching), kegiatan pelatihan (training), dan kegiatan pendidikan (educating)

Secara umum, batas minimal profesionalitas keguruan ditentukan oleh definisi kita tentang kompetensi keguruan. Apa tugas guru? Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran saja, atau juga menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan pendidikan?

Pertanyaan ini pada gilirannya bergantung pada paradigma pendidikan yang kita ikuti. Jika kita ingin membentuk watak para murid, selain membimbing mereka memupuk pengetahuan dan keterampilan, mau tidak mau kita harus mengikuti paradigma klasik, yaitu pendidikan adalah kegiatan untuk memupuk keterampilan hidup, yaitu keterampilan menghidupi sendiri, keterampilan hidup secara bermakna, dan untuk turut memuliakan kehidupan.

Jika ini paradigma yang diikuti, berdasarkan pelajaran sejarah pendidikan universal, di sekolah para murid harus dibimbing untuk memupuk pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan kearifan (wisdom).

Jika pandangan ini yang diikuti, profesionalitas keguruan sungguh bukan hal sederhana, yang cukup dipelajari sekali dalam hidup. Profesionalitas keguruan merupakan keterampilan yang kompleks, yang harus jelas dirinci untuk dapat dikuasai dengan baik oleh setiap guru.

Mochtar Buchori Pendidik

Minggu, 14 Desember 2008

BatikBatik


Antara Tradisi dan Teknologi

Dalam rangkaian acara Festival Batik Nusantara di Senayan City, Rabu (10/12), dilangsungkan diskusi mengenai batik.

Diskusi yang diselenggarakan Yayasan Batik Indonesia, Dinas Pariwisata DKI Jakarta, dan Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) itu membahas batik sebagai gaya hidup, kegiatan ekonomi, perlindungan bagi konsumen dan produsen, dan yang paling banyak menyita minat peserta diskusi, batik fraktal.

Nancy Margried dari Pixel People Project Research and Design yang juga beranggotakan Muhamad Lukman dan Yun Hariadi dari bandung, mendapat bertubi pertanyaan. Mulai dari apakah batik fraktal adalah batik sampai apa yang baru dari batik fraktal.

Pada dasarnya Pixel People menciptakan motif baru dari motif batik tradisional memakai rumus matematika fraktal.

Rumus ini terdiri dari sederetan persamaan yang dicirikan pengulangan. Secara ringkas, dengan rumus ini motif dapat diulang sesuai kebutuhan sehingga menghasilkan bentuk baru dari perulangan motif yang sama.

”Motif yang kami hasilkan lalu kami print di atas kertas dan dipolakan di atas kain. Setelah itu diselesaikan dengan pembatikan, memakai canting dan malam,” kata Nancy.

Batik, seperti ditetapkan Departemen Perindustrian, adalah teknik membuat motif dengan merintang warna memakai malam. Dalam definisi itu, motif batik dapat dibuat dengan cara apa pun dan berbentuk apa saja.

Tentu saja, sama seperti motif apa pun, termasuk motif batik tradisional, motif batik fraktal dapat di-print di tekstil, atas kayu, kertas, atau kulit.

Pada diskusi ini Yusran Munaf dari Yayasan Batik Indonesia menjelaskan batik mark, yaitu penanda apakah sehelai kain batik tulis, cap, atau kombinasi keduanya. Penanda yang dikeluarkan Balai Besar Batik di Yogyakarta ini untuk melindungi konsumen dan produsen.

Sementara perancang busana Carmanita membahas sisi ekonomi batik.

Selain Festival Batik Nusantara, pada Kamis dan Jumat lalu IPMI juga menyelenggarakan pergelaran arah mode 2009. (Ninuk MP)

Menjadikan Batik Gaya Hidup


Ninuk Mardiana Pambudy

Akankah masyarakat luas terus bergairah menggunakan batik dalam kehidupan sehari-hari?

Pertanyaan ini sulit-sulit gampang dicari jawabnya. Bahwa batik berkembang mencapai bentuknya saat ini, baik dalam pengembangan motif dan warna, pemakaian material di mana teknik dan motif batik diterapkan, hingga keluasan pemanfaatannya, itu adalah bukti batik menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia di luar urusan ritual.

Perkembangan batik dalam dua tahun terakhir memang mencengangkan. Batik sebagai pakaian menjadi begitu populer. Dengan mudah kita menemukan baju batik dari berbagai kualitas, model, dan harga. Bahkan perancang busana dan department store yang perhatian utamanya selama ini tidak pada batik pun ”tertular virus batik”.

Meski demikian, batik dalam kehidupan sehari-hari memang mengalami pasang-surut, meskipun tidak pernah benar-benar mati.

Ada masa di mana para pria berkemeja batik hanya bila menghadiri pertemuan informal, sedangkan untuk acara lebih formal, seperti resepsi pernikahan, peluncuran produk baru atau rapat, jas dan dasi dianggap lebih pantas. Begitu pun sebagai pakaian perempuan, batik sempat hanya dikenakan sebagai kain panjang melengkapi kebaya pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.

Seniman batik terkemuka, Iwan Tirta, yang buku batiknya dalam versi bahasa Indonesia terbitan Femina Group diluncurkan Kamis (11/12) di Jakarta, saat peluncuran buku versi bahasa Inggris-nya, Batik, A Play of Light and Shades tahun 1996 di Jakarta, saat itu berujar, batik akan tetap bertahan. ”Paling tidak perempuan akan tetap memakai batik sebagai selendang (melengkapi gaun),” kata Iwan Tirta.

Di tengah masih bergairahnya masyarakat pada batik dan kebutuhan konkret menciptakan lapangan kerja di bawah ancaman resesi ekonomi global, Dinas Pariwisata DKI Jakarta mengadakan Festival Batik Nusantara, bekerja sama dengan Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI).

Sebelas perancang anggota IPMI, Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia, dan perancang nonorganisasi Rabu (10/12) malam di Jakarta memperlihatkan rancangan mereka memakai bahan batik.

”Rancangan mereka idenya sangat segar, terutama yang ditujukan untuk orang muda. Kita harus menjaga agar tidak terjadi kejenuhan pada batik. Kita perlu membuat batik dapat disukai orang biasa, bukan hanya untuk tampilan di panggung,” kata mantan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave yang juga aktif di Yayasan Batik Indonesia.

Rabu, 10 Desember 2008

20.000 Mahasiswa Dilatih Kewirausahaan

Rabu, 10 Desember 2008 | 01:28 WIB

Jakarta, Kompas - Ditargetkan sekitar 20.000 mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta mulai mendapatkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan pada tahun 2009. Para mahasiswa ini tidak sekadar diajarkan teori kewirausahaan oleh para dosen, tetapi juga dibimbing untuk menjalankan bisnis dan akan mendapat pinjaman modal usaha.

”Pendidikan dan pelatihan kewirausahaan ini merupakan langkah serius dari pemerintah untuk mengatasi pengangguran terdidik yang terus bertambah jumlahnya,” kata Hendarman, Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, pada acara pelatihan kewirausahaan untuk dosen yang merupakan kerja sama Depdiknas dan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, Selasa (9/12) di Jakarta.

Menurut Hendarman, perguruan tinggi yang merupakan badan hukum milik negara masing-masing mendapat bantuan dana senilai Rp 2 milar, perguruan tinggi negeri lainnya masing-masing Rp 1 miliar, politeknik masing-masing Rp 500 juta, dan untuk perguruan tinggi swasta diserahkan kepada 12 Kopertis yang masing-masing mendapat dana Rp 1 miliar.

Antonius Tanan, Presiden Direktur Universitas Ciputra Entrepreneur Center Ciputra, mengatakan pendidikan kewirausahaan di kampus ini mengandalkan para dosen. Untuk itu, dosen-dosen dari perguruan tinggi negeri dan swasta disiapkan untuk bisa menjadi pelatih kewirausahaan bagi mahasiwa.

Pengusaha Ciputra mengatakan, pendidikan kewirausahaan membekali mahasiswa untuk mandiri dan tidak berorientasi menjadi pencari kerja saat lulus dari perguruan tinggi. (ELN)

SD Bertaraf Internasional Disubsidi Rp 500 Juta


SDBI Akan Dibangun di Setiap Kota dan Kabupaten
Rabu, 10 Desember 2008 | 01:28 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah memberikan dana bantuan kepada rintisan Sekolah Dasar Berstandar Internasional sebesar Rp 500 juta pada tahun pertama, Rp 300 juta pada tahun kedua, dan Rp 200 juta pada tahun ketiga.

Kepala Seksi Pemberdayaan TK/SD sekaligus Penanggung Jawab Kegiatan SD Bertaraf Internasional (SDBI) M Husnan, Selasa (9/12), mengatakan, terdapat 36 SD yang dijadikan rintisan SDBI pada tahun 2007 dan bertambah menjadi 66 SDBI pada tahun 2008, baik negeri maupun swasta. Diharapkan nantinya masing-masing kabupaten dan kota mempunyai setidaknya satu SDBI.

Biaya di SDBI lebih besar dua hingga tiga kali lipat dibandingka>w 9536mw 9436mw 9736m

Semua anak pada dasarnya boleh masuk ke SDBI. Hanya saja, peminat sekolah-sekolah itu sangat besar dan kerap tidak sebanding dengan kapasitas yang hanya 28 anak dalam satu kelas.

Lebih penting pemerataan

Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, mengatakan, program SDBI merupakan proyek prestisius pemerintah yang sebenarnya tidak perlu. ”Yang lebih penting dan diperlukan itu menciptakan pemerataan pendidikan berkualitas,” ujarnya.

Tanpa embel-embel sekolah internasional pun, sekolah berkualitas itu sudah berbobot dan banyak lulusannya yang berprestasi.

Obsesi pemerintah mendirikan SDBI dengan biaya sangat besar menjadikan iri sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas dan sarana prasarana pembelajaran relatif minim.

Dikhawatirkan bakal terjadi kesenjangan di bidang pendidikan. Masyarakat ekonomi tinggi menikmati pendidikan terbaik, sedangkan masyarakat miskin kian tertinggal. (INE)

Minggu, 07 Desember 2008

Tan Joe Hok



FOTO-FOTO: KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Minggu, 7 Desember 2008 | 03:00 WIB

Jimmy S Harianto

Selalu punya cita-cita, punya tujuan. Sikap hidup inilah yang membuat Tan Joe Hok—satu-satunya pebulu tangkis anggota tim Piala Thomas 1958 yang masih tersisa—meraih sukses demi sukses dalam hidupnya. Bahkan, dalam usia senja sekalipun, ia masih punya cita-cita.

Kita hidup, menurut Tan Joe Hok (71), memang selalu harus punya attainable goal, tujuan yang bisa kita capai. Kalau tidak punya cita-cita, itu sama halnya dengan kapal yang tanpa tujuan di tengah lautan, lalu limbung diombang-ambingkan ombak.

Ketika ia masih kecil, misalnya. Mungkin sekitar umur 12 tahun. Si kecil Tan Joe Hok di Kampung Pasir Kaliki, Bandung, juga punya cita-cita sederhana, ”ingin hidup berkecukupan, bisa makan”.

Maklumlah. Masa itu, setelah perang kemerdekaan, sungguh sebuah masa yang sangat sulit. Bisa makan pun masih untung.

”Saya bawa keinginan itu dalam doa, ’Ya Tuhan, bawalah saya kepada apa yang saya impikan, apa yang saya tuju...’,” tutur Tan Joe Hok.

Si kecil Tan lalu merintis tujuannya itu melalui bulu tangkis. Berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Dan, ikut bergabung di klub Blue White, Bandung, ketika ia ditawari Lie Tjuk Kong. Siapa tahu bisa berkecukupan dari bulu tangkis....

Tentu bukan tanpa upaya untuk meraih cita-citanya. Ia biasa berlatih keras dari pagi-pagi buta (sampai sekarang pun Tan Joe Hok terbiasa bangun pukul 04.15 dan senam di gym pribadinya untuk tetap menjaga kebugarannya di usia senja, di rumahnya di kawasan Jalan Mandala, Pancoran, Tebet, Jakarta).

Pintu menuju tujuan sederhananya mulai terkuak lima tahun kemudian di Surabaya tahun 1954.

”Saya mengalahkan Njoo Kiem Bie dan tampil sebagai juara nasional pada usia 17 tahun,” katanya. Setelah sukses pertamanya itu, pintu-pintu cita-cita seperti mulai terbuka.

”Saya mulai diundang ke kanan, ke kiri, dan saya pun diundang ke India bersama (pasangan juara All England) Ismail bin Mardjan dan Ong Poh Lin,” tutur Tan.

Mulailah Tan pergi keliling India—ke Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, Jabalpur, dan kota lainnya di India. Keliling lebih dari setengah bulan, pulangnya mampir di Bangkok dan Singapura (Malaya, waktu itu).

”Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tetapi juga sahabat saya,” ungkap Tan Joe Hok, tentang pemain Melayu itu. Dari mulut Ismail pula terembus cita-cita kedua Tan Joe Hok yang mulai ”bisa hidup berkecukupan”.

”Ismail bin Mardjan bilang kepada saya, ini saya tak akan lupakan, ’Eh, Joe Hok, kamu akan menjadi yang terbaik di dunia. Asalkan kamu latihan keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya ini...’,” tutur Ismail bin Mardjan.

Ketika mampir di rumah Ismail di Malaya, barulah mengerti apa arti kata Ismail ”jangan hidupnya kayak saya”.

”Jangan bayangkan Singapura seperti sekarang ini. Rumah Ismail ada di kampung, kotor, dan sungainya hitam, berbau,” tutur Tan. Sore hari, pukul 18.00, Ismail selalu pamit kepada Tan Joe Hok. Ternyata, guna menyambung hidupnya, sang juara All England itu harus bekerja jadi petugas satpam, dari pukul 6 petang sampai pukul 6 pagi.

”Doa” Ismail kepada Tan Joe Hok itu rupanya terwujud. ”Saya kerja keras dan rupanya doa itu dikabulkan. Saya diundang ke (kejuaraan bulu tangkis paling bergengsi—sebuah kejuaraan dunia tak resmi) All England, ke Kanada dan Amerika Serikat. Ketiga-tiganya saya juara dalam kurun waktu sekitar tiga minggu,” tutur Tan Joe Hok.

Tak hanya berhasil tampil sebagai orang Indonesia pertama yang mampu juara All England, pada tahun 1959, Tan Joe Hok rupanya juga memikat publik di Amerika Serikat.

”Saya dimasukkan di majalah Sports Illustrated,” tutur Tan Joe Hok. Majalah itu masih rapi disimpannya dan, memang, profil Tan Joe Hok menghiasi dua halaman majalah tersebut, terbitan 13 April 1959.

”Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit...”, tulis majalah tersebut. Ada satu foto besar Tan Joe Hok yang berselonjor dengan kedua telapak kaki telanjangnya melepuh-darah, blood-blister, setelah menjuarai AS Terbuka.

”Ketika dioperasi, isinya darah dan nanah,” tutur Tan Joe Hok. Hadiah juaranya? Tan Joe Hok mendapat kesempatan untuk meninjau pabrik mobil di Detroit.

Cita-cita apa lagi? Menurut Tan Joe Hok, semua impiannya sejak masa kecil dan juga ketika remaja sudah tercapai semua. Cita-cita berikutnya, Tan Joe Hok ingin menggapai sukses dalam studi.

Sejak tahun 1959 itu, Tan Joe Hok studi di Texas, memenuhi beasiswa dari Baylor University Jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology.

”Antara tahun 1959-1963 (saat menyelesaikan studi di Baylor), saya masih sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas 1961 di Jakarta serta 1964 di Tokyo. Tahun 1962, saya juga pulang untuk Asian Games,” kata Tan Joe Hok, yang menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games.

Meski demikian, ada juga ”pengorbanan” yang dilakukan Tan Joe Hok untuk bulu tangkis. Gara-gara ia harus pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Tokyo 1964, studi S-2-nya di Baylor gagal lantaran kurang empat jam kredit (credit hours), maka dia tak lulus, tutur Tan Joe Hok.

Situasi konfrontasi, Bung Karno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”, membuat Tan Joe Hok mengurungkan niatnya untuk kembali ke AS meneruskan studi S-2. Ia lalu tinggal di Tanah Air.

”Apa kata Bung Karno, saya nurut saja. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai ke Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang,” ungkap Tan Joe Hok.

”Dulu Ganyang Amerika, eh, tahun 1965 giliran Ganyang China. Dampaknya, kita yang nggak ngerti apa-apa jadi kena,” tutur Tan Joe Hok.

Di pelatnas Senayan pun terjadi perubahan drastis. Suatu siang, di flat atlet—kini Plaza Senayan—Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan para atlet.

”Kami semua disuruh ganti nama begitu saja. Pak Mulyono yang tentukan,” tutur Tan.

Maka, anggota-anggota Piala Thomas pun ”diberi nama” Indonesia, Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Tjiong Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno.

”Saya diberi nama Hendra oleh (Panglima Kodam Siliwangi) HR Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri, pokoknya ada ’tan’- nya,” papar Tan Joe Hok.

Ternyata tak sesederhana pergantian nama. Perlakuan terhadap Tan Joe Hok dan kawan- kawannya itu ternyata ”dibedakan”.

Mengurus KTP dan paspor, mereka harus menunjukkan bukti Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) meski nyata-nyata bertahun-tahun mereka sebenarnya telah berjuang untuk negeri ini. Itulah namanya dinamika hidup, terkadang manis, ada waktunya pula pahit-getir.

Memelihara Puncak-puncak Gairah


Kembali populernya batik sejak tahun 2006 ternyata bertahan hingga tahun 2008. Bahkan, sampai tahun depan pun batik diperkirakan akan tetap populer.

Ada beberapa hal yang menyebabkan batik kembali populer. Salah satunya karena klaim negara tetangga sebagai pemilik batik. Reaksi keras pun bermunculan dari berbagai pihak, tetapi hikmahnya perhatian masyarakat pada batik kembali tumbuh.

Hal lain, peran perancang busana bersama artisan batik dalam menghasilkan desain baru batik dan busana dari batik. Kebetulan pada tahun 2006 dan 2007 mata dunia sedang mengarah ke Asia.

Perkumpulan pencinta kain, seperti Yayasan Batik Indonesia, Wastraprema, dan Ratna Busana, aktif mempromosikan batik melalui pameran dan kegiatan sehari-hari mereka. Tanda batik masih akan bertahan hingga tahun depan terlihat dari kegiatan Dinas Pariwisata DKI dan Ikatan Perancang Mode Indonesia mengadakan festival Batik Nusantara pada Rabu (10/12) sebagai bagian dari arah mode 2009.

Selain itu, sejumlah kantor memberlakukan hari Jumat sebagai hari memakai batik untuk karyawan dan ritel kelas menengah-atas, seperti Alun-alun, Metro Department Store, dan Pasaraya menyediakan tempat untuk aneka produk batik. Batik juga bukan hanya muncul dalam bentuk busana, tetapi interior yang kini juga digarap rumah-rumah batik sebagai produk berkelas.

Kegairahan masyarakat pada batik amat penting untuk industri yang menurut Departemen Perindustrian pada 2007 berjumlah 48.000 unit usaha batik tulis, cap, dan kombinasi keduanya dengan nilai bisnis Rp 2,3 triliun dan ekspor 110 juta dollar AS.

Perkembangan terakhir, masuknya teknologi digital ke dalam teknologi tradisional batik. Anak-anak muda kreatif dari Bandung, Pixel People, memasukkan motif batik tradisional ke dalam persamaan matematika fraktal yang memungkinkan lahirnya variasi motif baru dari motif lama dalam berbagai kemungkinan.

Meski begitu, kegairahan ini tak dapat diperlakukan seolah akan berlangsung sendirinya selamanya. Pemerintah yang sudah mencanangkan pengembangan industri kreatif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan lapangan kerja harus ikut menjaga kegairahan tersebut. Salah satunya dengan memastikan konsumen tidak terkecoh kain print bermotif batik yang diaku produsen dan penjual sebagai batik. Selain itu, banjir kain bermotif batik dari China yang sebagian diduga ilegal pun perlu diwaspadai karena ujung-ujungnya akan merugikan produsen batik yang sebagian besar usaha kecil dan menengah. (Ninuk M Pambudy)

Mengenang Pembantaian Nanjing



KOMPAS/ROBERT ADHI KSP / Kompas Images
Memorial Hall of Nanjing Massacre merupakan monumen peringatan Pembantaian Nanjing oleh Jepang selama enam minggu sejak 13 Desember 1937 dan menewaskan 300.000 warga China. Setiap tanggal 13 Desember, Pemerintah China memperingati peristiwa kelam ini.
Minggu, 7 Desember 2008 | 03:00 WIB


ROBERT ADHI KSP

Nanjing Massacre alias Pembantaian Nanjing. Peristiwa pahit yang terjadi selama enam minggu sejak 13 Desember 1937 itu masih dikenang warga Nanjing dan warga China sebagai peristiwa pembantaian oleh serdadu Jepang saat Negeri Matahari Terbit itu menduduki China.

Pemerintah China mengklaim 300.000 warga tewas dalam pembantaian tersebut. Untuk mengenang para korban akibat kekejaman serdadu Jepang itu, Pemerintah China membangun monumen kenangan di Kota Nanjing, Memorial Hall of Nanjing Massacre.

Sudah hampir 71 tahun peristiwa itu berlalu, tetapi warga Nanjing belum sepenuhnya dapat melupakan kejadian tersebut. Dan memang, Pembantaian Nanjing bukan untuk dilupakan. Anak-anak sekolah di China sejak dini diajak ke monumen Pembantaian Nanjing agar mereka sejak kecil sudah diingatkan akan peristiwa ini. Ketika Kompas mengunjungi Memorial Hall of Nanjing Massacre, awal November lalu, museum itu ramai dikunjungi warga China. Di sana, semua data dan deskripsi peristiwa ini tergambar dengan sangat jelas. Bahkan, ada contoh bagaimana korban-korban tewas di dalam rumahnya.

Pembantaian Nanjing adalah bukti nyata kebrutalan serdadu Jepang selama masa Perang Dunia II. Ribuan warga sipil tak bersenjata dan tentara China yang terluka, yang ditangkap, ditembak dengan senjata mesin dan dibunuh dengan bayonet. Mayat-mayat bergelimpangan di tepi Sungai Qinhuai dan Sungai Yantze yang membelah Kota Nanjing. Kota Nanjing berubah menjadi kota penuh darah dan ketakutan. Tak ada tempat bagi warga kota untuk berlindung. Bukan itu saja. Yang mengerikan adalah ribuan perempuan China menjadi korban pemerkosaan oleh tentara Jepang.

Peristiwa ini memberi inspirasi bagi Iris Chang, perempuan Amerika keturunan China, untuk menulis buku berjudul The Rape of Nanking-The Forgotten Holocaust of World War II. Data-data yang terungkap dalam buku itu, termasuk data tentang neneknya yang menjadi korban, mengejutkan dunia Barat. Namun, Iris Chang setelah itu mendapat ancaman dan teror dari kaum sayap kanan Jepang, yang menolak peristiwa Nanjing. Tidak tahan dengan teror dan ancaman itu, Iris Chang akhirnya ditemukan tewas, diduga akibat mengalami depresi. Namun, bukunya, The Rape of Nanking, mengalami cetak ulang dan menjadi best seller.

Salah satu korban pembantaian Nanjing, Li Xiuling, seperti dikutip Newsweek (20/7/1998), mengungkapkan kemarahannya kepada Jepang. ”Saya benci Jepang begitu dalam,” kata Liu Xiuling, yang saat peristiwa terjadi sedang hamil tujuh bulan. Tiga serdadu Jepang menikamnya 37 kali saat itu. Bayi yang dikandungnya tewas, tetapi Li selamat.

Komentar generasi muda

Bagaimana hubungan China dan Jepang sekarang setelah 71 tahun berlalu? Untuk generasi China yang lebih muda seperti Wan Xilin (42), editor surat kabar Shanghai Daily, peristiwa Nanjing masih diingat untuk generasi yang lebih muda berusia 20-an, peristiwa itu mungkin mulai terlupakan. ”Saat ini banyak generasi muda China lebih peduli pada kebudayaan pop, tetapi belum melupakan peristiwa itu,” kata Wan Xilin kepada Kompas.

Takeshi Kokubu, editor The Nishinippon Shimbun, surat kabar berbahasa Jepang terbesar di Pulau Kyushu, mengakui peristiwa itu, tetapi agak ragu dengan jumlah 300.000 korban tewas. Namun, Toshi Noda, Direktur UN HABITAT Kawasan Asia Pasifik yang berkantor di Fukuoka, Jepang, mengatakan, sebagai orang Jepang, dia mengakui peristiwa itu benar adanya. ”Peristiwa itu tidak akan terulang lagi karena militer Jepang diawasi kaum sipil,” kata Noda yang ditemui di Nanjing.

Adapun Mariko Toyofoku (30), perempuan Jepang yang bekerja di Nanjing, mengaku tidak terlalu paham dengan peristiwa itu. ”Saya hanya tahu samar-samar. Saya belum pernah datang ke monumen Pembantaian Nanjing,” kata Mariko.

Bagi sebagian masyarakat Nanjing, terutama generasi tua, Pembantaian Nanjing adalah peristiwa pahit yang tak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Namun justru di Nanjing investor Jepang menanamkan investasinya, setidaknya dalam mal gaya hidup, Nanjing Aqua City yang merupakan kembaran Fukuoka Canal City. Investor Jepang juga bermitra dengan pengusaha Nanjing, membangun kembali Hotel Holiday Inn.

Pembantaian Nanjing telah 71 tahun berlalu. Sejarah masa lalu yang kelam itu sempat membuat hubungan Jepang dan China terganggu. Namun melalui monumen Pembantaian Nanjing yang menonjolkan angka 300.000 korban tewas, Pemerintah China ingin mengingatkan bahwa perang hanya menyisakan kesedihan mendalam.

Peristiwa itu memberi hikmah: agar tidak ditindas bangsa lain, seperti saat ditindas Jepang pada masa lalu, China harus menjadi bangsa yang kuat. China bertekad mengalahkan Jepang dalam perdagangan barang-barang elektronika dan menguasai pasar ekonomi dunia. Dengan cara seperti itulah, China memulihkan dan mengangkat harga diri bangsa.

Pendidikan merupakan Pilar Utama Kemajuan Bangsa


JAKARTA, KOMPAS - Bangsa yang maju dan berkembang adalah bangsa yang menempatkan pendidikan sebagai pilar utama. Namun, karena pranata sosial masih lemah, kurang terbangun penyelenggaraan pendidikan sebagai rekonstruksi sosial.

Dua butir pemikiran itu dipungut dari pidato Ketua Umum Pengurus Pusat Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Sudhamek AWS dan Ketua Umum Sangha Agung Indonesia Mahathera Nyanasuryanadi dalam acara pembukaan Munas VIII MBI di Jakarta, Sabtu (6/12).

Menurut Sudhamek, pendidikan merupakan pilar utama kemajuan suatu bangsa. Pemerintah semakin menyadari pentingnya pendidikan. Alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan perlu diapresiasi walaupun mungkin dalam pelaksanaan masih terjadi ketimpangan. MBI pun sudah memiliki cetak biru bidang pendidikan sebagai tema sentral MBI lima tahun ke depan.

Ketimpangan praksis pendidikan, kata Nyanasuryanadi, mengakibatkan persoalan yang muncul, seperti disintegrasi sosial, konflik antaretnis, kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang, dan pola hidup konsumtif, tidak ditangani tuntas.

”Oleh sebab itu, perlu dibangun dan dikembangkan sistem pendidikan atas dasar kesadaran kolektif dalam rangka memecahkan persoalan bangsa yang kita hadapi,” tegas Nyanasuryanadi.

Membuka munas ini, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Dirjen Bimas Buddha Budhi Setiawan, Menteri Agama Maftuh Basyuni mengharapkan peningkatan kualitas keagamaan umat Buddha, di antaranya melalui kegiatan pendalaman ”dharma” yang diaktualisasikan dalam pemberdayaan ekonomi umat.

”Tantangan yang kita hadapi semakin besar dan kompleks,” tegas Maftuh.

Religiositas yang membumi

Harapan keberagamaan (religiositas) yang membumi, dengan rumusan masing-masing, disampaikan para penanggap. Jimly Asshiddiqie mengharapkan satu religiositas yang tidak formalistik, melainkan mengarus dalam kehidupan sosial masyarakat.

”Semangat keberagamaan harus meluber dalam kehidupan umum dan menjadi berkat bagi masyarakat,” kata Franz Magnis-Suseno SJ menambahkan.

Jakob Oetama menggarisbawahi jati diri hakiki agama yang damai dan toleran hendaknya terus mewarnai pertemuan antaragama. Keberagamaan hendaknya mampu mengubah agar para pemeluk agama-agama lebih partisipatif dalam kehidupan riil masyarakatnya.

Penanggap lain, Djohan Effendi, Yudi Latif, dan Komaruddin Hidayat mengapresiasi kebiasaan MBI yang senantiasa menyertakan para tokoh agama lain dalam kegiatan mereka. ”Kita bersama-sama mencari satu kebenaran lewat agama-agama untuk memperoleh satu agama yang benar, satu religion dengan huruf R besar,” kata Komaruddin Hidayat.

Munas VIII MBI dengan tema pengembangan SDM ini berlangsung di Prasadha Jinarakkhita (rumah besar Jinarakkhita) di Puri Indah, Jakarta Barat, pada tanggal 5-8 Desember. Munas yang dihadiri 300 peserta dari 25 provinsi, sebagian dari sekitar 8 juta pemeluk Buddha di Indonesia, mengagendakan penyempurnaan AD/ART dan kepengurusan MBI periode 2009-2014. (STS)

Kamis, 04 Desember 2008

Anggaran Pendidikan Tak Akan Dikurangi


Meskipun Krisis, Tetap 20 Persen dari APBN 2009

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, pemerintah akan tetap mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN 2009 mendatang. Krisis global yang berimbas ke Indonesia tidak akan dijadikan alasan untuk mengurangi anggaran pendidikan.

”Ini merupakan bukti keseriusan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan ribuan para guru yang tengah memperingati Hari Guru Nasional Tahun 2008 dan Hari Ulang Tahun Ke-63 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Acara itu berlangsung di Lapangan Tenis Indoor Senayan, Jakarta, Selasa (2/12).

Dalam acara itu, Presiden didampingi Ibu Negara Ny Ani Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri, di antaranya, Menko Kesra Aburizal Bakrie dan Mendiknas Bambang Soedibyo, serta menteri lainnya.

”Meskipun dewasa ini dunia mengalami krisis keuangan dan resesi ekonomi, dan pasti berdampak pada APBN kita, akan tetapi komitmen kita untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen akan tetap kita jalankan. Namun, sebelumnya mari kita gunakan 20 persen anggaran pendidikan itu dengan sebaik-baiknya, dalam arti tepat sasaran, efisien dan efektif, serta bebas dari penyimpangan,” ujar Presiden Yudhoyono.

Minimal Rp 2 juta

Menurut Presiden, untuk tahun anggaran 2009, pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 Pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20 persen.

”Terkait dengan itu, kepada Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, saya telah memberi pengarahan agar mulai tahun anggaran 2009 pendapatan guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat terendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja nol tahun sekurang-kurangnya berpendapatan Rp 2 juta,” tutur Presiden, menambahkan.

Dalam arahannya, Presiden Yudhoyono meminta Menkeu, Mendiknas, gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota dan wakil wali kota agar dapat menggunakan anggaran pendidikan dengan tepat guna serta menambah dana biaya operasional sekolah (BOS) untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Penghormatan guru

Tentang keseriusannya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru, Presiden Yudhoyono mengungkapkan, pekan ini pihaknya akan menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Guru dan Dosen yang sudah lama ditunggu.

”PP itu juga mengatur sejumlah tunjangan yang akan diberikan kepada guru,” tandas Presiden.

Dalam kesempatan itu, Presiden Yudhoyono menganugerahi Muslimah, guru SD Negeri Gantong, Bangka Belitung, tokoh guru yang menjadi inspirasi dalam film Laskar Pelangi, sebagai penerima penghargaan Satyalencana Pendidikan. Selain Muslimah, 12 guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah juga mendapat penghargaan serupa. Penghargaan Satyalencana Pembangunan Bidang Pendidikan diberikan kepada sejumlah gubernur, bupati, dan wali kota. (HAR)

Rabu, 03 Desember 2008

Anggaran Pendidikan Tak Akan Dikurangi


Meskipun Krisis, Tetap 20 Persen dari APBN 2009
Rabu, 3 Desember 2008 | 01:07 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, pemerintah akan tetap mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN 2009 mendatang. Krisis global yang berimbas ke Indonesia tidak akan dijadikan alasan untuk mengurangi anggaran pendidikan.

”Ini merupakan bukti keseriusan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan ribuan para guru yang tengah memperingati Hari Guru Nasional Tahun 2008 dan Hari Ulang Tahun Ke-63 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Acara itu berlangsung di Lapangan Tenis Indoor Senayan, Jakarta, Selasa (2/12).

Dalam acara itu, Presiden didampingi Ibu Negara Ny Ani Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri, di antaranya, Menko Kesra Aburizal Bakrie dan Mendiknas Bambang Soedibyo, serta menteri lainnya.

”Meskipun dewasa ini dunia mengalami krisis keuangan dan resesi ekonomi, dan pasti berdampak pada APBN kita, akan tetapi komitmen kita untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen akan tetap kita jalankan. Namun, sebelumnya mari kita gunakan 20 persen anggaran pendidikan itu dengan sebaik-baiknya, dalam arti tepat sasaran, efisien dan efektif, serta bebas dari penyimpangan,” ujar Presiden Yudhoyono.

Minimal Rp 2 juta

Menurut Presiden, untuk tahun anggaran 2009, pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 Pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20 persen.

”Terkait dengan itu, kepada Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, saya telah memberi pengarahan agar mulai tahun anggaran 2009 pendapatan guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat terendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja nol tahun sekurang-kurangnya berpendapatan Rp 2 juta,” tutur Presiden, menambahkan.

Dalam arahannya, Presiden Yudhoyono meminta Menkeu, Mendiknas, gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota dan wakil wali kota agar dapat menggunakan anggaran pendidikan dengan tepat guna serta menambah dana biaya operasional sekolah (BOS) untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Penghormatan guru

Tentang keseriusannya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru, Presiden Yudhoyono mengungkapkan, pekan ini pihaknya akan menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Guru dan Dosen yang sudah lama ditunggu.

”PP itu juga mengatur sejumlah tunjangan yang akan diberikan kepada guru,” tandas Presiden.

Dalam kesempatan itu, Presiden Yudhoyono menganugerahi Muslimah, guru SD Negeri Gantong, Bangka Belitung, tokoh guru yang menjadi inspirasi dalam film Laskar Pelangi, sebagai penerima penghargaan Satyalencana Pendidikan. Selain Muslimah, 12 guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah juga mendapat penghargaan serupa. Penghargaan Satyalencana Pembangunan Bidang Pendidikan diberikan kepada sejumlah gubernur, bupati, dan wali kota. (HAR)