Rabu, 28 Januari 2009

Indonesia Hanya Terbitkan 8.000 Buku






InfoKita/Ign Haryanto / Kompas Images
CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dan General Manager Hotel Santika Premiere Cita K Dewantoro (dari kanan) meninjau stan Hotel Santika seusai membuka Kompas Gramedia Fair ke-22, Selasa (27/1) di Jakarta. Acara yang digelar di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, ini berlangsung hingga 1 Februari.

Jakarta, Kompas - Indonesia yang berpenduduk lebih dari 225 juta jiwa baru sanggup menerbitkan sekitar 8.000 judul buku per tahun. Jumlah ini sama dengan Malaysia yang berpenduduk sekitar 27 juta jiwa dan jauh di bawah Vietnam yang bisa mencapai 15.000 judul buku per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa.

”Penerbitan buku berdasarkan data dari semua Toko Buku Gramedia baru mencapai sekitar 8.000 judul buku per tahun. Jumlah itu di bawah angka yang disebutkan Ikapi mencapai 10.000 judul buku per tahun,” kata CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo pada acara pembukaan Kompas Gramedia Fair di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (27/1).

Hadir dalam pembukaan Kompas Gramedia Fair ke-22 yang dilaksanakan pada 28 Januari-1 Februari itu antara lain Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Presiden Komisaris Kompas Gramedia Jakob Oetama, Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Henry Koenaifi, dan Direktur PT KIA Mobil Indonesia Hartanto Sukmono.

Agung mengatakan, dari sejumlah riset soal jumlah penduduk yang mengunjungi toko buku atau yang suka membaca, jumlahnya hanya mencapai 12-15 persen. Karena itu, perubahan untuk mendorong minat baca perlu terus ditingkatkan.

Kompas Gramedia, kata Agung, siap menyambut ”ledakan besar” minat baca yang bisa ditumbuhkan di masyarakat melalui beragam media yang ada. Kehadiran Kompas Gramedia juga untuk memperluas wawasan dan membangun visi kebangsaan untuk membangun keunggulan.

Fauzi Bowo mengatakan, Indonesia perlu mengatasi ketertinggalan dari segi minat baca dan jumlah penerbitan buku. Di Vietnam, harga buku dipastikan murah karena ada subsidi dari pemerintah. Buku-buku literatur sastra terkenal dunia dapat dibaca warga Vietnam dengan harga murah dan mudah didapat di toko buku.

Selain pameran buku dan media, Kompas Gramedia Fair juga menyajikan lomba paduan suara TK-SD, diskusi buku, dan sejumlah kegiatan lain. Penyelenggaraan Kompas Gramedia Fair yang bernuansa hiburan dan pendidikan ini sekaligus untuk menyambut HUT ke-39 Toko Buku Gramedia yang sudah berjumlah 90 outlet di Tanah Air serta HUT ke-35 PT Gramedia Pustaka Utama. (ELN)

Sabtu, 24 Januari 2009

Imlek, Merayakan Kehidupan


Oleh P Agung Wijayanto

Setelah dijadikan hari libur nasional, Imlek kian menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Orang tidak lagi ragu atau takut untuk merayakannya.

Di sejumlah tempat tampak bahwa semakin banyak anggota masyarakat ikut merayakan, baik secara aktif maupun pasif. Berbagai pertunjukan dan pernak- pernik perayaan Imlek semakin mudah dijumpai.

Tidak dapat dimungkiri, Imlek semula merupakan perayaan bagi petani bangsa Tionghoa pada awal musim semi. Dalam perjalanan waktu, bangsa Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya juga ikut merayakan. Hal ini sudah berlangsung berabad-abad. Bangsa-bangsa yang mengalami empat musim memahami bahwa peralihan musim dingin ke musim semi tidak sekadar suatu peristiwa alamiah belaka, tetapi juga menyediakan makna yang mendalam bagi kehidupan manusia.

Merayakan Imlek tanpa mengolah kandungan rohani yang ada hanya akan berakhir pada pameran kulit luar. Karena itu, amat bermanfaat menilik dan merenungkan beberapa kekayaan rohani yang dihayati bangsa atau masyarakat yang merayakannya, terutama masyarakat Tionghoa sebagai pemula perayaan ini.

Merayakan kehidupan

Imlek sebagai perayaan awal musim semi bagi orang Tionghoa tidak dapat dipisahkan dari pemahaman dan penghayatan mereka tentang kehidupan itu sendiri. Ada beberapa pemahaman dasar bangsa China tentang kehidupan.

Pertama, perjalanan sejarah manusia bagi bangsa China ditandai oleh berbagai usaha untuk mewujudkan hidup yang membahagiakan. Kebahagiaan manusia tidak pertama-tama terletak pada keberhasilan duniawi, tetapi pada kepenuhan hidup yang mewujudnyatakan kesatuan antara kebaikan tertinggi dan kepenuhan keindahan.

Dengan demikian, hidup yang sejati selalu bersumber dari kesucian, kebaikan, dan keindahan itu sendiri. Di mana ada kehidupan, di sana ada kebaikan dan keindahan. Kemudian, dunia pun dipahami sebagai wahana kebajikan berhiaskan keindahan. Hidup di dunia yang baik dan indah itu sungguh membahagiakan.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa berbagai perayaan bangsa China sangat terkait dengan peristiwa kehidupan dan yang ditampilkan penuh dengan kebaikan dan keindahan. Selama perayaan Imlek, manusia diharapkan tidak memikirkan yang jahat, berbicara tentang hal-hal yang tidak senonoh atau melukai hati orang lain, atau melakukan kejahatan yang merusak keindahan martabat diri dan sesama. Mereka saling mengucapkan salam atau nyanyian yang menyanjung kemuliaan kehidupan. Mereka juga berbagi makanan, uang, atau hal-hal lain untuk mengungkap kebaikan dan kemurahan Sang Sumber Kehidupan. Semua itu dilakukan dan dibungkus secara indah, tidak sembarangan, atau melanggar kesantunan hidup bersama.

Kedua, pengikat dan sumber daya kehidupan adalah kasih yang mengalir dan merasuki semua hal yang ada di alam raya ini. Dao sebagai prinsip kehidupan memang tidak terumuskan sebagaimana kasih, tetapi senantiasa hadir, menjiwai, dan mengubah semua bentuk kehidupan menjadi baik dan indah.

Hidup manusia bagi masyarakat Tionghoa pada dasarnya baik dan indah. Kalimat pertama dalam buku bacaan klasik anak- anak Tionghoa, San Zhi Jing, mengajarkan paham ini. Perkembangan perbedaan di antara manusia dipengaruhi pendidikan yang mereka alami. ”Pendidikan” tidak dipandang pertama-tama sebagai suatu kegiatan belajar-mengajar formal di bangku sekolah, tetapi pengalaman hidup langsung dan nyata dengan kebaikan dan keindahan itu sendiri.

Masyarakat Tionghoa mengusahakan agar Imlek menjadi saat bagi semua orang untuk mengalami kebaikan dan keindahan itu secara nyata. Pada hari itu, semua anggota keluarga berkumpul bersama. Generasi muda secara langsung mengalami kebaikan dari yang lebih tua: berbagai pemberian dan hadiah dalam bentuk hong bao (angpau), kue, makanan, dan sebagainya. Mereka juga mendengar orangtua mereka berdoa bagi kedamaian dan kesejahteraan, baik yang telah mendahului maupun yang masih hidup.

Ketiga, hidup harus dijalani dan dirayakan. Bangsa China dikenal sebagai bangsa yang ulet dan rajin bekerja. Boleh dikatakan, tidak banyak waktu di sepanjang tahun bagi masyarakat Tionghoa untuk bersantai atau bermalas-malasan. Bahkan, ada banyak keluarga Tionghoa tidak pernah libur selain pada masa perayaan Imlek. Itu tidak berarti masyarakat Tionghoa tidak merayakan kehidupan.

Masyarakat Tionghoa menjalani dan merayakan kehidupan tidak dalam kesendirian, tetapi dalam kebersamaan dengan orang lain, bahkan termasuk bersama leluhur. Setiap hari orang Tionghoa menyediakan makanan, minuman, dan persembahan perayaan hidup bagi leluhur sekaligus wujud syukur kepada mereka yang telah menjadi perantara kehidupan.

Perayaan Imlek juga ditandai oleh perayaan syukur dan sujud kepada sumber-sumber kehidupan. Misalnya, pada malam Imlek, masyarakat Tionghoa berdoa dan bersujud kepada langit, bumi, leluhur, orangtua, dan sumber kehidupan yang lain. Sesudah itu, mereka makan dan minum merayakan kebersamaan hidup. Keesokan harinya, mereka bertandang ke rumah saudara, teman, guru, atau yang dipandang berjasa dalam kehidupan mereka.

Bangsa Indonesia merayakan kehidupan

Bangsa Indonesia telah menjadikan Imlek sebagai salah satu hari libur nasional. Dengan kata lain, bangsa Indonesia telah menyatakan diri mau ikut serta dalam tradisi berbagai bangsa di dunia ini untuk menghargai dan merayakan segala bentuk kehidupan yang telah diterima dari Sang Sumber Kasih.

Dengan merayakan Imlek setiap tahun, semoga semakin sedikit tingkat pelanggaran dan pemerkosaan atas kehidupan (manusia dan alam) di Indonesia. Pada sisi lain, semoga kehidupan di Indonesia semakin ditandai oleh kebaikan dan keindahan yang membahagiakan.

Selamat merayakan Tahun Baru Imlek. Gongxi xinnian. Wanshi ru yi.

P Agung Wijayanto SJ Pemerhati Kebudayaan China; Tinggal di Semarang

Pesta IMLEK



TBI sebagai Pesta Kemanusiaan

Oleh William Chang

Jutaan warga Tiongkok kehilangan pekerjaan akibat tsunami keuangan global. Akankah Tahun Baru Imlek (Pesta Musim Semi) 2560 mengembuskan angin pembaruan di tengah krisis mondial?

Kendati terlilit kesulitan keuangan, Tahun Baru Imlek (TBI) tetap diperingati kebanyakan masyarakat Tionghoa karena khazanah kultural ini mengawetkan tali-temali persaudaraan. Silang selisih dan salah paham dituntaskan. Relasi personal dicairkan. Gaya persaudaraan ini ternyata membangkitkan rasa kemanusiaan di tengah kekalutan sosial.

Nilai persaudaraan ini ditransformasi dalam konteks dinamika sosial yang multikultur. Pilar utama persaudaraan bukan lagi terutama mengandalkan kesamaan marga, kultur, dan profesi, tetapi terutama berupa kesetiakawanan manusia dalam derita. Seluruh Tiongkok berkabung kala gempa memorakporandakan Sichuan. Bunuh diri seorang anak remaja yang terjun dari apartemen mengundang seluruh rakyat Taiwan berkabung.

Malah, dimensi inklusif persaudaraan umat manusia diperluas melalui mondialisasi perayaan TBI. Keikutsertaan masyarakat dari pelbagai etnis, agama, dan kultur dalam pesta ini mencerminkan kepedulian sosial dalam proses membangun jejaring persaudaraan. Batas-batas primordial diterobos dan wadah kemanusiaan baru ditata ulang.

Filsafat pengharapan

Ibarat menantikan salju tebal pada musim dingin, masyarakat Tiongkok mengharapkan perbaikan dinamika sosial-ekonomi dan politik dalam Tahun Kerbau 2560. Filsafat pengharapan dalam poesia-poesia kuno seputar TBI mengarah ke masa depan yang lebih baik dan sejahtera.

Setiap benih yang disemaikan dalam musim semi biasanya akan memberi hasil pada musim gugur. Untaian syair optimistik di atas secarik kertas merah masih disitir dan ditempelkan di depan pintu rumah pada perayaan TBI.

Merupakan pengharapan terdalam untuk meraih damai, keselamatan, kesehatan, segenggam emas, segunung sukses, kelancaran usaha, dan reformasi hidup. Pandangan positif dan keuletan manusia menjadi dasar pengharapan.

Optimisme dalam syair-syair klasik melukiskan pentingnya kekuatan fisik untuk meratakan bukit dengan sebuah cangkul. Kebulatan hati dan ketekunan akan mengubah kesedihan menjadi kegembiraan, kelemahan menjadi kekuatan, dan keputusasaan menjadi pengharapan.

Dunia kontemporer mendambakan roh pengharapan yang memotivasi hidup manusia di tengah krisis sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Roh ini menyadarkan manusia akan kekinian sambil menyiapkan masa depan sehingga manusia tidak hanya tenggelam dalam nostalgia tempo doeloe. Masa terindah selalu terletak di depan dan tak terlewatkan.

Kreativitas dalam pesta kemanusiaan

Mata, telinga, dan jiwa poesia optimistik itu mengandung semangat moralitas dan kemanusiaan. Kebaikan dan kesejahteraan hidup dikejar terus. Kesatuan dan ketergantungan kosmik tak termungkiri. Tentu seorang petani malas akan lapar dan petani yang kelaparan akan meninggal (Zhang Qishi, Traditional Chinese Culture, Beijing, 2004).

Dalam dinamika kemanusiaan terkandung daya kreatif yang terkait peran akal budi. Optimalisasi potensi manusia akan lebih efektif daripada menguras kekayaan alam tanpa rencana matang yang bertanggung jawab. Kekayaan tanah air dipikul ke luar negeri, sedangkan rakyat kecil tetap menderita. Pengembangan daya kreatif ini sepadan dengan pencanangan tahun 2009 sebagai Tahun Kreatif (bandingkan dengan Menteri Perdagangan Mari Pangestu).

Kesulitan keuangan global ini mengandaikan kreativitas manusia saat memerangi habitus bermalas-malasan, konsumtif, indiferen, konfliktual, dan apatis.

Keterlibatan sosial dalam pembangunan mengubah keadaan negara. Bagaimanakah anak bangsa bisa belajar hidup lebih sejahtera tanpa mengandalkan kekayaan alam? (bandingkan dengan Y Bingling, Chinese Democracies: A Study of Kongsis of the West Borneo: 1776-1884, 2000).

Terkait dengan semangat Tahun Kerbau, kreativitas dan kerja ulet perlu lebih dipupuk dan ditingkatkan dalam tahun 2009. Rentetan terobosan dan strategi baru seharusnya menjunjung kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara. Yang dibarui dalam perayaan TBI adalah pola pikir dan sistem hidup yang meneguhkan jejaring hidup sosial yang adil, sejahtera, dan toleran. Watak kerbau yang ulet membajak, mencari makan sendiri, dan tekun mengunyah bisa diteladani dalam era krisis keuangan global.

Kini kerbau tidak bisa lagi menunggu rumput segar dari majikan, tetapi kerbau harus proaktif mencari dan menemukan makanan sendiri agar tidak mati kelaparan di tengah rerumputan hijau. Yang jelas, tiada hari yang buruk bagi seekor kerbau yang tekun bekerja keras.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor

Kamis, 01 Januari 2009

Forum Rektor Kritik UU BHP

Tamansiswa Akan Ajukan Judicial Review


Yogyakarta, Kompas - Walau tidak menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang baru disahkan DPR, Forum Rektor Indonesia akan terus mengkritisi tajam UU itu. Selain mendesak penegasan terhadap kalimat-kalimat yang bias, UU itu penerapannya harus dilakukan secara bertahap.

Persoalan itu terungkap dalam ”Diskusi UU BHP, Implikasinya bagi Penyelenggaraan di Daerah”, yang diadakan Lembaga Ombudsman Swasta Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (30/12).

Ketua Forum Rektor Indonesia, Edy Suandi Hamid, mengatakan, UU BHP harus diterapkan bertahap. ”Tidak bisa sekaligus, semua lembaga pendidikan disamaratakan,” ujarnya.

Salah satu hal yang bias, menurut dia, adalah pendanaan. BHP di perguruan tinggi swasta (PTS) dan sekolah swasta tidak diakomodir karena dalam UU hanya disebutkan ”dibantu” pemerintah. Sementara untuk BHP negeri sudah tersurat tegas mengenai minimal atau seluruh dukungan dana pemerintah.

Terkait dengan akuntabilitas keuangan, keharusan laporan keuangan sekolah dasar dan menengah (SD/SMP) diaudit akuntan publik atau tim audit, menurut Edy, jelas butuh dana besar sehingga sulit dilaksanakan.

”Judicial review”

Jika Forum Rektor memilih mengkritisi tajam karena masih ada sisi positif UU BHP, Tamansiswa secara tegas menolak. Ki Wuryadi, Ketua III Majelis Luhur Tamansiswa yang juga pembicara diskusi, mengatakan, Tamansiswa segera mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Wuryadi mengatakan, UU BHP tekanan utamanya sebagai badan usaha (korporat), bukan badan pendidikan yang mengemban tugas mendidik.

”Kami akan ajukan judicial review, atau sekalian tidak akan tunduk pada UU pemerintah itu. Tamansiswa jelas tidak mungkin menerapkan BHP. Konseptor BHP sudah kentara menyiapkan perangkat pendukung terjadinya liberalisasi pendidikan,” tuturnya.

Baskara Aji, Kepala Bidang Bina Program Dinas Pendidikan DIY, berpendapat, pihaknya juga menyayangkan UU yang di saat- saat terakhir sebelum disahkan, isi drafnya pun tak banyak diketahui kalangan pendidikan.

Di Bandung, Forum Aktivis Bandung yang melakukan Malam Renungan Pendidikan menyatakan, tidak ada jaminan UU BHP tidak akan menggerus nilai-nilai kearifan lokal yang biasa tumbuh alamiah di lembaga-lembaga pendidikan. Diperbolehkannya modal asing masuk di dalam BHP tanpa pembatasan ketat mempertinggi risiko ini.

Anthon Freddy Susanto, pengamat hukum pendidikan dari Universitas Pasundan, mengatakan, semangat liberalisasi pendidikan yang dimunculkan UU BHP pada akhirnya potensial lebih banyak menghasilkan hal negatif. ”Banyak ideologi dari luar yang akan secara tidak sadar dibawa dan dicangkokkan ke dalam sistem pendidikan kita,” ujarnya.

Kekhawatiran senada diungkapkan Ketua Forum Rektor Jawa Barat dan Banten Prof Didi Turmudzi. ”Jika UU BHP diimplementasikan, bisakah nilai-nilai lokal, budaya, itu tetap dimunculkan?” ujarnya. (PRA/JON)

Tahun, Semesta, dan Kehidupan

Oleh NINOK LEKSONO

“Mungkin Tuhan menciptakan Alam Semesta bagi kemaslahatan kita.” (Fisikawan Andrei Linde, Discover, 12/08)

Dalam beberapa jam lagi, Matahari terakhir tahun 2008 akan tenggelam di ufuk barat, dan warga dunia pun berpesta menyambut datangnya tahun baru. Inilah peristiwa yang mengulangi apa yang terjadi, setahun silam, dua tahun silam, sepuluh tahun silam, seabad silam, satu milenium silam, dan sejuta tahun silam… bahkan semiliar tahun silam sekalipun. Seperti kita petik dari ilmu astronomi, sistem Matahari-Bumi yang melahirkan konsep tahun— yaitu periode atau kurun waktu sekali Bumi mengelilingi Matahari—sudah lahir sekitar 4,5 miliar tahun silam.

Seperti inilah ”rutin” yang akan dijalani penduduk Bumi selama sekitar empat miliar tahun lagi, yakni sebelum Matahari mengembang menjadi bintang raksasa merah yang akan memanggang Bumi.

Menjadi pertanyaan menarik, masihkah kehidupan ada di Bumi saat itu? Atau manusia sudah bertransformasi menjadi makhluk pengelana antariksa? Pertanyaan itu masuk akal karena bahkan sekarang pun kondisi lingkungan di Bumi mulai tampak menurun akibat aktivitas manusia.

Tahun dan ”tahun”

Dengan jarak rerata dari bintang induk Matahari 150 juta kilometer, Bumi perlu 365 hari untuk sekali mengelilingi Matahari. Itulah satu tahun kita. Bagi planet Merkurius yang berjarak 57,5 juta kilometer dari Matahari, satu tahun di sana tidak 365 hari, tetapi 87,9 hari Bumi. Lalu satu tahun untuk Venus hanya 224,7 hari Bumi. Sementara itu, satu tahun untuk planet luar, yang jaraknya dari Matahari lebih besar dari Bumi, yakni Mars 686,9 hari Bumi, Jupiter 11,9 tahun Bumi, Saturnus 29,5 tahun Bumi, Uranus 84 tahun Bumi, Neptunus 164,8 tahun Bumi, dan Pluto 247,9 tahun Bumi. Ibaratnya, untuk merayakan tahun baru di Pluto—seandainya manusia bisa hidup di planet yang jauhnya 40 kali jarak Matahari-Bumi ini—diperlukan tempo 247,9 tahun!

Di Bumi, jangka waktu selama itu telah diisi oleh berbagai kemajuan teknologi dan peradaban yang luar biasa. Kalau saat ini di Pluto ada perayaan menyambut tahun baru, maka perayaan tahun baru sebelumnya terjadi tahun 1760 Bumi, satu dekade sejak awal Revolusi Industri di Inggris. Kita sudah menyaksikan betapa hebatnya perkembangan zaman sejak Revolusi Industri hingga hari ini.

Ya, ketika berbicara tentang tahun, yang berarti juga tentang waktu, manusia Bumi pun mau tidak mau harus berbicara tentang jarak. Jaraklah yang sebenarnya membuat manusia seperti tak berdaya—karena kecilnya—di hadapan kosmos yang mahaluas.

Dalam ketidakberdayaan menghadapi jarak, manusia telah memperlihatkan keteguhannya untuk tidak mau menyerah. Melalui wahana antariksa seperti Pioneer 10 (diluncurkan tahun 1972) dan Pioneer 11 (1973), mata manusia telah dibawa ke jarak lebih jauh dari planet Mars, sehingga citra planet raksasa Jupiter secara close-up pun bisa dibuat.

Wahana Voyager bahkan melangkah lebih jauh. Setelah diluncurkan tahun 1977, Voyager 2 menjadi wahana buatan manusia pertama yang mendekati planet Uranus dan Neptunus, sementara Voyager 1 yang menempuh arah berlainan kini telah memasuki ruang antarbintang.

Namun, harus diakui, meski ciptaannya telah berhasil menjangkau ruang antarbintang, jarak sekitar 10 miliar kilometer tersebut masih sangat-sangat kecil untuk ukuran kosmos.

Sekadar perbandingan, bintang terdekat dari Bumi, Alpha Centauri, sudah berjarak 4,5 tahun cahaya, padahal satu tahun cahaya—yakni jarak yang ditempuh cahaya dalam satu tahun—adalah sekitar 9,5 triliun kilometer. Bisa kita hitung berapa triliun kilometer jarak Alpha Centauri ke Bumi.

Bisa juga kita hitung berapa jarak dalam kilometer dari Matahari kita yang ada di salah satu lengan Galaksi Bima Sakti (Milky Way) ke pusat Galaksi yang jauhnya 30.000 tahun cahaya. Juga bisa kita hitung jarak galaksi terdekat, yakni Andromeda, yang jauhnya 2 juta tahun cahaya.

Bak debu

Di hadapan kosmos, Bumi dan manusia ibarat debu yang dimensinya demikian kecil. Namun, Sang Maha Pencipta rupanya memberikan kelebihan yang sungguh besar kepada manusia. Ini diwujudkan dengan munculnya temuan ilmiah terakhir yang memperlihatkan bahwa alam semesta tercipta untuk kehidupan. Jadi, bukan kehidupan menyesuaikan diri dengan alam semesta, tetapi justru alam semestalah yang menyesuaikan diri untuk kehidupan.

Pemahaman baru ini muncul setahap demi setahap di kalangan astronom yang mempelajari kosmos. Astronom yang bekerja di kegelapan malam di observatorium Cile yang amat gelap dan tinggi merasakan dirinya bukan warga Bumi, tapi warga Galaksi. (The sensation of being on Earth faded away, she recalled. ”I was a citizen of the Galaxy.” Dari ”Space—The Once and Future Frontier”/NG)

Adanya kedekatan, meskipun terpisahkan oleh jarak mahajauh, seperti menyiratkan bahwa kehidupan merupakan ”anak kandung” alam semesta. Dalam penjelasannya kepada Tim Folger (Discover, Desember 2008), fisikawan visioner Andrei Linde dari Universitas Stanford di Palo Alto, California, menyebutkan, sifat-sifat dasar alam semesta secara ajaib pas untuk kehidupan. Kalau hukum fisika yang berlaku diubah sedikit saja—di alam semesta ini—maka kehidupan yang kita kenal ini tidak akan pernah ada.

Ambil dua contoh. Atom terdiri dari proton, neutron, dan elektron. Kalau proton 0,2 persen lebih berat, ia akan tidak stabil dan akan meluruh jadi partikel lebih simpel. Atom lalu tidak akan eksis, demikian pula kita. Kalau gravitasi sedikit saja lebih kuat, bintang-bintang akan mengerut lebih kuat, membuatnya lebih kecil, panas, dan padat. Bintang tidak akan bertahan miliaran tahun, tetapi akan terbakar habis bahan bakarnya dalam jutaan tahun, lalu padam jauh sebelum kehidupan punya peluang untuk berevolusi.

Ada banyak contoh yang memperlihatkan bahwa alam semesta punya sifat ramah terhadap kehidupan sehingga para fisikawan sulit menganggapnya hanya sebagai kebetulan.

Kita hidup dalam satu waktu dan tempat khusus di alam semesta di mana kehidupan mungkin terjadi. (Ini dikenal sebagai Prinsip Antropik Lemah). Sementara Prinsip Antropik Kuat menegaskan bahwa hukum-hukum fisika memang bias (amat pro) terhadap kehidupan. Freeman Dyson, fisikawan di Institute for Advanced Study di Princeton, lebih gamblang lagi mengatakan bahwa Prinsip Antropik Kuat menyiratkan, ”alam semesta tahu kita akan datang”.

Kalau memang ini soalnya, tampaknya ada titah khusus yang diamanatkan kepada kehidupan, dan khususnya kepada manusia dari alam semesta, atau dari Penciptanya. Menjadi kewajiban kitalah untuk secara cerdas menangkap amanat tersebut. Ini tentu lebih serius daripada sekadar mengulang ritual setiap tahun tatkala Matahari di hari terakhir bulan Desember tenggelam di ufuk barat.