Selasa, 08 September 2009

Batik Jadi Warisan Budaya Dunia

Batik Jadi Warisan Budaya Dunia

Selasa, 8 September 2009 | 03:19 WIB

Bogor, Kompas - Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Batik dinilai sebagai ikon budaya yang memiliki keunikan dan filosofi mendalam, serta mencakup siklus kehidupan manusia, sehingga ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari kemanusiaan.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie serta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menjelaskan hal itu seusai menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (7/9).

”Kami melaporkan mengenai diangkatnya batik Indonesia menjadi representasi dari budaya tak benda warisan manusia,” ujar Aburizal.

Sebelumnya UNESCO menyatakan wayang dan keris sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.

”Yang berikutnya sedang dimasukkan sekarang adalah angklung. Kita terus memperjuangkan satu per satu karya budaya bangsa kita,” ujar Jero Wacik.

Menko Kesra menjelaskan bahwa yang dimaksud budaya tak benda oleh UNESCO terdiri dari budaya lisan, cerita, termasuk bahasa, seni pentas, tari, wayang, adat istiadat kebudayaan masyarakat, kerajinan tradisional, dan semua benda yang terkait dengan lingkungan alam tersebut. Sementara budaya benda terdiri dari monumen, candi, pemandangan alam, dan sebagainya.

”Batik merupakan warisan budaya tak benda dari kemanusiaan. Ini penting. Kata kemanusiaan saya tekankan karena ini bukan hanya menyangkut Indonesia. Batik dianggap sebagai budaya yang asalnya dari Indonesia,” ujar Aburizal.

Turun-temurun

Penetapan kain tradisional batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia antara lain dengan menimbang batik sebagai kerajinan tradisional turun-temurun dari Indonesia yang kaya akan nilai budaya.

Dalam penilaiannya, UNESCO juga meneliti perlindungan yang diberikan Pemerintah Indonesia terhadap batik. ”Dipertanyakan apakah pemerintah melakukan safeguard (perlindungan dalam perdagangan) terhadap batik? Untuk itulah pemerintah membuat buku dan panduan pendidikan tentang batik yang disebarkan di sekolah-sekolah,” kata Aburizal.

UNESCO juga meneliti apakah Indonesia memiliki masyarakat batik, industri batik, konsumen pemakai, budaya, serta sejarah batik di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, UNESCO menyetujui batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia. ”Insya Allah peresmiannya akan dilaksanakan pada tanggal 28 September sampai 2 Oktober di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab,” ujar Aburizal lebih lanjut.

Kenakan batik

Terkait dengan peresmian batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia, Presiden Yudhoyono meminta seluruh masyarakat Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009 mengenakan batik. Menurut Aburizal, hal itu dimaksudkan Presiden sebagai bentuk penghargaan masyarakat terhadap batik.

Pada kesempatan yang sama, Jero Wacik mengatakan, pengakuan UNESCO terhadap batik akan memperkuat tekad untuk terus membudayakan batik di Indonesia. (DAY)

Selasa, 01 September 2009

Republika Online - Muhammadiyah Harus Fokus pada Pendidikan

Republika Online - Muhammadiyah Harus Fokus pada Pendidikan: "Muhammadiyah Harus Fokus pada Pendidikan

YOGYAKARTA -- Memasuki usia satu abad, Muhammadiyah dinilai perlu lebih fokus pada peningkatan kualitas amal usaha pendidikan. Menurut Dirjen Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, dunia pendidikan bergerak sangat dinamis sehingga perubahan-perubahan begitu cepat terjadi."

Sabtu, 22 Agustus 2009

KOMPAS cetak - Kisah Hotel Lambert dan Pangeran Qatar

KOMPAS cetak - Kisah Hotel Lambert dan Pangeran Qatar: "Kisah Hotel Lambert dan Pangeran Qatar

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:30 WIB

Nasib sebuah rumah di Quai Anjou, di ujung timur Ile Saint-Louis, Paris, dikhawatirkan warga distrik bersejarah ibu kota Perancis itu.

Bangunan indah rancangan arsitek Louis Le Vau yang dibangun di sebuah pulau di tengah Sungai Seine di Paris antara tahun 1640 dan 1644 itu dikenal bernama Hotel Lambert.

Hari Jumat, para selebriti yang merupakan warga pulau yang termasuk distrik IV Paris itu maju ke pengadilan untuk mencoba menghentikan upaya sebuah keluarga bangsawan Qatar merenovasi rumah besar itu."

Senin, 17 Agustus 2009

KOMPAS.com

KOMPAS.com: "Edukasi - Senin, 17/8/2009
Mendiknas: Reformasi Pendidikan bisa Dinikmati 2014/2015 Mendatang"

KOMPAS.com - Prof Har, Resmi Menjadi Rektor Binus

KOMPAS.com - Prof Har, Resmi Menjadi Rektor Binus: "Prof Har, Resmi Menjadi Rektor Binus
shutterstock
Ilustrasi:'World class university tidak sama dengan ranking, tetapi sebuah visi yang harus bisa dirasakan oleh para stakeholder, orang tua, dan mahasiswa untuk menjawab tantangan pendidikan ke depan,' ujar Prof Har, rektor Binus di Jakarta, Sabtu (15/6).
/
Artikel Terkait:

* Kampus Kelas Dunia 2020, Tekad Rektor Terpilih Binus

Senin, 17 Agustus 2009 | 13:05 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Prof Dr Ir Harjanto Prabowo resmi dilantik sebagai rektor Universitas Bina Nusantara (BINUS) periode 2009-2013, Sabtu (15/8). Ia menggantikan kepemimpinan Prof Dr Gerardus Polla, M.App, Sc yang telah mengabdi selama empat tahun di Binus."

Sabtu, 15 Agustus 2009

Rabu, 12 Agustus 2009

ANALISIS POLITIK Dua Kuburan, Dua Tanda

Selasa, 11 Agustus 2009 | 03:02 WIB

YUDI LATIF

Apa yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar belasungkawa semiresmi secara membahana saat kematian Mbah Surip, tetapi nyaris tak terdengar ucapannya saat WS Rendra wafat? Apakah hal itu pertanda derajat kaum ”gelandangan” ditinggikan di atas kaum intelektual-budayawan?

Terpujilah jika negara memiliki empati yang lebih besar kepada orang yang lebih menderita. Masalahnya, biografi Mbah Surip berkata lain. Seseorang yang memilih jalan gelandangan sebagai jalan survival, mewakili jutaan gelandangan lainnya yang hidup tidak tergantung dan tanpa perlindungan negara. Sekali negara hadir, hal itu pertanda bencana.

Dalam situasi ordinary, kehadiran negara justru tidak dikehendaki karena menambah beban hidup, tersirat dari kelakar Mbah Surip yang kerap mengaduh, ”Ampun pemerintah!” Dalam situasi unordinary, negara hanya hadir saat prahara menerjang, musim pemilu tiba, atau demam Cinderella melanda, tatkala orang-orang biasa sontak terkenal. Itu pun bukanlah karena kepedulian kepada orang biasa, melainkan demi citra dan popularitas (pejabat) negara.

Sebagian kecil dari kaum gelandangan ini berkat perjuangan pantang menyerah berhasil membangun rumah kehidupan, tetapi lebih banyak lagi yang jatuh dari sarangnya. Tanpa peran negara, pahlawan kaum gelandangan ini mengemban misi penyelamatan, ”menggendong” beban hidup sesamanya.

Apa yang keluar dari hati akan membekas di hati, seperti spontanitas lagu-lagu Mbah Surip yang bergema di jiwa jutaan pendengarnya. Kekuatan senyawa komunitas inilah yang menjadi kompensasi atas ketidakhirauan negara, yang membuat Indonesia masih bertahan hingga saat ini. Meski demikian, tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena tata laksana kenegaraan yang menjamin persamaan dan pemenuhan kesejahteraan bersama, solidaritas kebangsaan mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan keterkucilan.

”Orang-orang harus dibangunkan,” pekik WS Rendra. Seorang penyair hadir, dalam istilah Wallace Stevens, sebagai the priest of the invisible, untuk mengeluarkan terang dari gelap, membawa matahari kesadaran atas kebebalan kekuasaan. Seperti kata John F Kennedy, ”Tatkala kuasa mengarahkan orang pada kepongahan, puisi mengingatkan akan keterbatasannya. Tatkala kuasa menyempitkan ruang kepedulian orang, puisi mengingatkan akan kekayaan dan keragaman hidupnya. Tatkala kuasa korup, puisi membersihkannya. Karena seni membentuk dasar kebenaran manusia yang mesti menjadi landasan keputusan kita.”

Memang, ”kebanyakan orang melupakan puisi karena kebanyakan puisi melupakan kebanyakan orang”, sindir Adrian Mitchell. Namun, sepanjang sejarah kepenyairannya, seorang Rendra adalah saksi penderitaan dan penindasan banyak orang.

Menurut kredonya, ”Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan.” Ia menjadi artikulator dari suara bisu kaum gelandangan model Mbah Surip: mengingatkan orang yang memanah rembulan serta burung yang jatuh dari sarangnya. Apakah itu dalam ”Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”, ”Pesan Pencopet pada Pacarnya”, ”Sajak Seonggok Jagung”, ”Sebatang Lisong”, dan banyak lagi yang lainnya, pisau pena Rendra selalu bermata dua: mengiris kezaliman kuasa serta mengupas daya hidup orang biasa.

Ketika negara dan pasar memonopoli tafsir dengan menjadikan subyektivitasnya sebagai standar obyektivitas seraya meminggirkan suara liyan di luar itu. Dalam ketaklukan media dan aparatur pengetahuan pada standar ortodoksi negara dan pasar, keliaran ekspresi artistik sering kali menyediakan wahana tanding bagi warga untuk menemukan kebenaran alternatif. Situasi paradoks pun terjadi.

Sastra sebagai ranah imajinasi malah menjelma menjadi kerajaan obyektivitas; fiksi menjadi pengganti ilmu sosial, dan guru terbaik tentang realitas justru pemimpi, seniman sastrawan. Demikianlah, karya WS Rendra menampilkan deskripsi yang paling genuin dan paling representatif tentang problem riil bangsanya ketika aktor dan institusi pengetahuan lain terbungkam.

Kepergian Rendra (sang artikulator) menyusul kematian Mbah Surip (sang realitas sejati), yang dikubur berdampingan, membersitkan tanda buruk. Kenyataan yang terus-menerus diabaikan oleh kuasa, cuma jadi tumpangan popularitas sesaat, untuk kemudian dikubur di belam narsisme politik. Sementara peran artikulator yang mengganggu kenyamanan kuasa dikesampingkan sebagai sesuatu yang tidak berharga, lantas dikubur dari kesadaran publik.

Namun, ribuan orang yang menyertai mereka ke pembaringan terakhir memberi kita optimisme bahwa kesejatian cinta dan kewarasan pikir tak bisa dikubur. Seperti memenuhi nubuat Antonio Skármeta, sastrawan Cile, ”Jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik—berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan—di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan.”

”Tuhan menolong pemimpin yang menghargai seni,” tulis Lord Melbourne. Ketika seniman besar wafat, saatnya para pemimpin memuliakan seni agar yang ada di langit mencintai yang ada di bumi.

Yudi Latif Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia)

Senin, 27 Juli 2009

jBatik, Persembahan Teknologi untuk Batik

Pixelpeopleproject
Panel sebelah kanan merupakan tempat untuk memasukkan variabel dan rumus. Panel tersebut juga dilengkapi dengan pustaka yang berisi rumus-rumus sederhana untuk menghasilkan desain Batik Fractal. Pada panel bagian atas terdapat alat ukur dimensi fraktal untuk mengukur tingkat fraktal hasil desain Batik Fractal tersebut.

Senin, 27 Juli 2009 | 03:26 WIB

Pertengahan November tahun lalu, pada perlombaan bergengsi teknologi informasi tingkat Asia Pasifik, jBatik memenangi penghargaan utama dalam kategori tourism & hospitality. Batik Fractal merupakan desain batik yang dibuat menggunakan konsep fraktal. Yun Hariadi

jBatik merupakan perangkat lunak untuk menghasilkan desain Batik Fractal. Berdasarkan asal kata, jBatik merupakan gabungan dua kata: java dan batik. Java mengacu pada bahasa pemrograman yang digunakan membuat perangkat lunak jBatik.

Munculnya Batik Fractal tak terlepas dari penelitian penulis dan rekan yang membuktikan hadirnya fraktal dalam batik (Kompas, 10/3). Sifat fraktal pada batik memberi inspirasi untuk menciptakan desain-desain batik secara otomatis dengan menggunakan persamaan atau konsep fraktal melalui alat bantu jBatik.

Fraktal merupakan konsep matematika yang membahas kesamaan pola pada semua skala. Secara sederhana, kehadiran fraktal ditandai oleh adanya perulangan pola atau kesamaan diri (self-similarity) pada skala yang berbeda-beda atas suatu obyek. Pohon cemara merupakan contoh sederhana hadirnya fraktal di alam. Jika kita bandingkan struktur atau pola pohon cemara dengan struktur dahannya, akan didapat pola yang sama.

Salah satu cara untuk mengukur tingkat fraktal suatu benda adalah dengan menggunakan dimensi fraktal. Perbandingan dimensi fraktal antara batik dan lukisan kubisme karya Picasso menunjukkan sifat yang khas pada setiap karya seni tersebut. Kubisme taat dengan dimensi 3, sedangkan batik taat dengan dimensi 1,5. Hal ini menunjukkan bahwa motif batik tidak cukup digambarkan oleh benda berdimensi 1, tetapi berlebihan jika digambarkan oleh benda berdimensi 2. Motif batik berada di antara benda berdimensi 1 dan 2—ini menunjukkan, batik mengandung unsur fraktal.

Faktor yang berperan besar menghadirkan fraktal pada batik adalah teknik dekorasi yang berhubungan dengan makna simbolis pada batik, yaitu isen. Dalam membatik, terdapat proses yang disebut isen, yaitu mengisi motif besar dengan motif kecil tertentu yang sesuai.

Alam membentuk fraktal di dalam tubuh manusia (struktur kromosom, susunan DNA) hingga di luar tubuh manusia (bentuk aliran sungai, badai matahari). Namun, manusia juga membentuk fraktal pada hasil budayanya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Fraktal secara tidak sengaja telah hadir di artefak-artefak budaya masa lalu (Maya dan Aztec), juga pada masa kini (peralatan suku di Afrika, batik, dan pada lukisan Pollock.

Berkat pemahaman konsep fraktal dalam teori chaos, pada masa kini fraktal digunakan secara sengaja untuk beragam kepentingan, misalnya, untuk menciptakan file gambar berukuran lebih kecil (bidang komputer), untuk membedakan kondisi gagal jantung dengan jantung normal, mendeteksi kehadiran tumor dan parkinson (bidang kedokteran), untuk menandai kemurnian baja dan kemurnian berlian (bidang material), melakukan peramalan saham (bidang keuangan), serta untuk menandai keunikan retina mata (bidang keamanan).

Sengaja fraktal

Sebagai alat bantu, jBatik diciptakan untuk menghasilkan desain Batik Fractal yang berpotensi memiliki variasi desain tak hingga. Untuk menciptakan variasi desain tak hingga ini, jBatik secara sengaja menggunakan konsep fraktal. Ini sejalan dengan penggunaan fraktal secara sengaja pada teknologi-teknologi mutakhir saat ini. Kesengajaan penggunaan fraktal dalam jBatik ditunjang kenyataan bahwa terdapat fraktal pada batik. Dalam hal ini, jBatik berupaya memberi sumbangan teknologi terhadap batik.

Program jBatik versi pertama merupakan hasil kolaborasi PixelPeopleProject dengan IGOS Center Bandung. Untuk kali pertama, jBatik ini dipamerkan pada pameran Batik Fractal pertengahan Mei 2008 di Bandung.

Salah satu hasil desain Batik Fractal tersebut meraih penghargaan UNESCO. Selain itu, jBatik juga mengikuti beraneka kompetisi teknologi informasi. Di tingkat lokal jBatik memenangi INA-ICTA 2008 dan di tingkat Asia Pasifik jBatik memenangi APICTA 2008.

Kemenangan itu mendorong untuk merombak total jBatik versi pertama menjadi jBatik v2.0. Dengan bantuan USAID-Senada, jBatik mengalami perubahan total dan menjadi perangkat lunak Batik Fractal. Kini jBatik mengalami pengembangan dalam menciptakan desain Batik Fractal hingga berdimensi tiga, dilengkapi dengan pengukur dimensi fraktal dan kemampuan untuk membuat desain dalam desain.

Alat bantu

Kebutuhan untuk menciptakan perangkat lunak Batik Fractal berawal dari keinginan untuk memperkenalkan konsep fraktal secara lebih mudah kepada masyarakat dan khususnya pembatik. Dengan ini, jBatik diharapkan dapat memberi sumbangan dalam menghasilkan beraneka variasi desain yang nyaris tak hingga. Dengan mengubah beberapa parameter pada panel jBatik, akan dihasilkan desain batik yang berbeda-beda.

Program jBatik dirancang dan diciptakan secara khusus untuk menghasilkan desain Batik Fractal, yaitu desain yang dibuat semirip mungkin dengan desain batik tradisional menggunakan konsep fraktal. Tentu ada masalah serius dalam penentuan semirip mungkin ini.

Salah satu upaya jBatik agar hasilnya semirip mungkin dengan desain batik tradisional adalah dengan membuat algoritme yang mengandung: penggolongan motif batik (motif: tumbuhan, parang, geometri), mengenali unsur-unsur batik (misal: ornamen utama dan isen), serta perhitungan dimensi fraktal yang berperan sebagai alat ukur terhadap tingkat fraktal batik.

Program jBatik sebagai perangkat lunak desain Batik Fractal sangat berbeda dengan perangkat lunak desain grafis pada umumnya, seperti Adobe Photoshop ataupun CorelDRAW. Perbedaan terletak pada kekhususan fungsi jBatik untuk membuat desain batik dan kekuasaan otonom pengguna terhadap perangkat lunak itu.

Jika pada Adobe Photoshop dan CorelDRAW pengguna memiliki kekuasaan penuh terhadap perangkat lunaknya—pengguna bisa sesuka hati membuat desain grafis dari kurva atau garis, pada jBatik pengguna tidak memiliki kekuasaan penuh. Lantas siapa yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelesaikan desain batik pada jBatik? Jawabannya adalah: algoritme program jBatik sendiri.

Jika pada perangkat lunak desain grafis pada umumnya menggunakan masukan: titik, garis, dan kurva, tetapi pada jBatik masukan tersebut berubah menjadi bentuk rumus matematika sederhana: L System.

Dengan rumus ini, titik garis dan kurva diterjemahkan menjadi variabel rumus. Selanjutnya hubungan antarmasukan tersebut akan diterjemahkan oleh L System menjadi suatu gambar tertentu.

Ini mungkin terlihat memperumit desain grafis, tetapi langkah ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tak hingga variasi desain Batik Fractal.

Secara sederhana, pengguna menuliskan masukan x dan suatu fungsi sederhana f(x) dan selanjutnya jBatik akan menyelesaikan sendiri gambar dari y>f(x). Tentu saja perubahan sedikit pada nilai x akan menyebabkan perubahan drastis keluaran y. Pada tahap ini pengguna tidak memiliki kuasa mengontrol hasil desain Batik Fractal. Namun, hal ini memberi peluang membuat variasi desain fraktal tak hingga.

Mungkin penjelasan dalam tulisan ini terlihat rumit. Dalam praktik di lapangan, penggunaan jBatik tidak serumit yang dituliskan ini. Program ini telah diperkenalkan kepada beberapa pembatik tradisional di Pekalongan. Program ini diluncurkan 27 Mei 2009 lalu di Paris Van Java, Bandung, Jawa Barat, dilengkapi dengan demonstrasi dan diskusi.

Tentu saja jBatik sebagai sebuah upaya memperkaya khazanah batik kita masih jauh dari sempurna. Dibutuhkan peran serta pembatik, seniman, matematikawan, ilmuwan, dan pencipta program untuk bisa menempatkan jBatik sebagai salah satu alat bantu pada batik yang kelak sejajar dengan canting.

YUN HARIADI Peneliti di Pixel PeopleProject

Industrialisasi TV dan Kontrol Sosial

Fereshti
Dosen UMS Solo

Bagaimanapun juga, era perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional memang kian pesat dalam 10 tahun terakhir, baik secara kuantitas ataupun kualitas. Selain itu, di era otonomi daerah ternyata juga makin marak pendirian TV lokal di berbagai daerah. Meski perkembangan pertelevisian lokal di daerah belum maksimal, namun itu semua bisa menjadi momentum untuk memperkuat basis kinerja perekonomian di daerah melalui tayangan bermuatan lokal yang mengangkat semua potensi internal di daerah yang notabene tidak bisa diangkat oleh TV swasta nasional.

Meski secara umum ada peningkatan kuantitas dan kualitas industrialisasi pertelevisian nasional, namun secara substansif diakui bahwa secara kualitasnya tidak signifikan terhadap kuanitas. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dalam proses laju perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional banyak menuai kritik. Selain itu, ada juga yang berani memproklamasikan 'Sehari Tanpa TV' yaitu bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional. Kampanye Hari Tanpa TV telah dimulai sejak 2006 dan kini memasuki tahun ke-4 dan direncanakan berlangsung pada Ahad 26 Juli 2009.

Alasan mendasar
Tentu ada banyak alasan sehingga perlu ada proklamasi terhadap 'Sehari Tanpa TV' yang telah berjalan 4 tahun ini sejak 2006. Adalah Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Komunitas TV Sehat yang peduli terhadap dampak tayangan TV yang makin tidak sehat bagi anak-anak secara umum. Oleh karena itu, penetapan dan juga kampanye 'Sehari Tanpa TV' tidak lain adalah bentuk keprihatinan terhadap tayangan televisi yang tidak aman dan tidak bersahabat untuk anak.

Yang justru menjadi pertanyaan apakah proklamasi gerakan sehari tanpa TV tersebut efektif untuk meredam tayangan negatif TV terhadap kehidupan anak-anak? Entahlah, yang pasti, industrialisasi pertelevisian nasional saat ini semakin berkembang pesat dan bahkan banyak di antaranya yang telah masuk ke bursa untuk menjadi industri TV yang terbuka. Di sisi lain, bagaimana industrialisasi pertelevisian nasional menyikapi adanya proklamasi sehari tanpa TV?

Gerakan Hari Tanpa TV ini diprakarsai YPMA dan Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH) dan didukung oleh berbagai institusi yang bersedia bergabung. Gerakan ini tidak bermaksud memusuhi TV tapi lebih membangun kepedulian agar semua pihak, terutama masyarakat dan orang tua, lebih peduli pada dampak tayangan TV bagi anak-anak secara menyeluruh.

Terkait ini, tentu kita masih ingat betul bagaimana dampak dari tayangan Smackdown di salah satu TV yang kemudian dikritik oleh masyarakat karena berdampak serius terhadap perilaku anak-anak. Bahkan, diberitakan perilaku anak-anak di sekolah banyak yang meniru adegan 'Smackdown' dan ada juga korban dari tindakan ala 'Smackdown' tersebut yang sampai meninggal. Ironis sekali.

Di balik argumen proklamasi sehari tanpa TV, merujuk penelitian di Amerika Serikat, negeri biang siaran televisi bahwa pada anak yang menghabiskan waktu tiga-empat jam di depan layar televisi, ditemukan sejumlah fakta: (1) mereka mati rasa terhadap ancaman kekerasan, (2) mereka suka menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, (3) mereka menirukan tindakan kekerasan yang tampak di televisi, dan (4) mereka selalu bisa mengidentifikasi diri sebagai pelaku atau korban kekerasan (Tajuk Republika, 22 November 2006).

Di balik itu semua, gencarnya tayangan TV yang dikonsumsi anak-anak jelas membuat khawatir masyarakat, terutama orang tua (Hafidz, 2006). Alasannya karena anak-anak adalah makhluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak-remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan kemampuan berpikir anak masih sederhana. Mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan TV itu sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana tayangan yang fiktif dan mana yang kisah nyata. Bahkan, kisah nyata pun bisa dan sah didramatisir oleh TV, lihat saja ragam tayangan yang seolah-olah reality show.

Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai - norma agama - kepribadian. Adegan kekerasan, kejahatan, dan konsumtif, termasuk perilaku seksual di televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak. Akibatnya, terjadi tudingan bahwa TV merusak moral dan perilaku anak-anak.

Tanggung jawab sosial
Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakikatnya merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia makhluk hidup. Sikap dan pola perilaku itu, menurut pandangan behavioristik, dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungannya. Oleh karena itu, interaksi melalui media, termasuk salah satunya TV menjadi sangat penting, terutama dikaitkan dengan sisi dampaknya.

Bahkan, kuatnya penetrasi informasi global menjadi wacana tentang urgensi keberadaan media sebagai mediator terhadap kebutuhan informasi publik. Artinya, media haruslah proporsional dan menjadi pencerdas bagi kehidupan.

Dalam suatu jajak pendapat yang dilakukan oleh BBC, Reuters, dan sebuah lembaga penelitian di Amerika, The Media Center, tentang kepercayaan dan isu media massa menyimpulkan bahwa keberadaan media sangat penting dalam kehidupan global kini. Jajak pendapat dijalankan oleh Yayasan Globescan, sebuah organisasi yang menaruh perhatian besar terhadap masalah media dan peningkatan kesadaran pencarian berita melalui internet. Temuan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa keberadaan TV menjadi perwakilan tentang nilai pentingnya informasi bagi kebutuhan publik. Jadi, alangkah sayangnya jika kemudian TV justru melunturkan kepercayaan publik dengan program tayangan yang dinilai banyak menyesatkan karena mengobral keburukan.

Oleh karena itu mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya adalah membangun jaringan penyiaran TV nasional yang bersifat edukatif tanpa harus melecehkan nurani anak-anak bangsa. Bukankah anak-anak adalah generasi penerus?

(-)

Senin, 13 Juli 2009

MISI APOLLO 11 Manusia Belum Pernah Mendarat di Bulan

GETTY IMAGES/HULTON ARCHIVE

Juli 1969, astronot Amerika Serikat, Edwin "Buzz" Aldrin, terekam di permukaan Bulan dekat bendera AS dalam misi Apollo 11. Aldrin merupakan orang kedua yang berjalan di Bulan setelah Neil Armstrong.


Oleh Rakaryan Sukarjaputra

Empat puluh tahun telah berlalu sejak dunia dikejutkan oleh kabar keberhasilan pendaratan Apollo 11 di Bulan. Benarkah astronot Neil Armstrong telah menjejakkan kakinya di satelit Bumi tersebut?

Pertanyaan menggelitik itu memang terus menyertai kisah misi Apollo 11 dan pendaratannya di permukaan Bulan pada 21 Juli 1969.

Kemudian astronot Neil Armstrong dan Edwin ”Buzz” Aldrin berjalan di permukaan Bulan. Cuplikan video menggambarkan Armstrong mengibarkan bendera Amerika Serikat dan melompat-lompat. Aksi ini menegaskan keberhasilan pendaratan manusia di Bulan.

Sejumlah pihak menyangsikan pendaratan itu. Cuplikan video tersebut penuh dengan keganjilan. Ada yang menganggap video itu tidak dibuat di Bulan, tetapi di sebuah tempat khusus di sekitar Negara Bagian Arizona, AS.

Astronom Phil Plait termasuk yang sangsi. Dia memberikan penjelasan pada sebuah program radio ”Are We Alone” yang dikelola SETI Institute. Ini adalah lembaga nirlaba di California, AS, yang fokus pada penjelasan keberadaan makhluk pintar lain di jagat raya.

Plait mengatakan, ada pihak yang skeptis dengan mempertanyakan foto-foto Armstrong dan Aldrin yang memperlihatkan langit tanpa bintang. ”Tidak ada atmosfer di Bulan sehingga bintang-bintang seharusnya terlihat lebih terang.”

Pihak yang skeptis juga mempersoalkan bendera AS dalam cuplikan video yang tampak berkibar, padahal di Bulan tidak ada udara.

Mereka juga mengajukan teori bahwa para astronot mungkin sudah terpanggang radiasi ketika menembus sabuk Van Allen dalam perjalanan ke Bulan.

Kepercayaan melemah

Sebenarnya kepercayaan soal pendaratan di Bulan itu sudah semakin lemah dalam beberapa tahun terakhir. Isu ini mencuat kembali ketika TV Fox pada 2001 menyiarkan sebuah program yang diberi judul ”Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?”

Acara TV Fox itu, kata Dr Tony Philips pada situs Science@NASA, menggambarkan betapa Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) tidak lebih dari sekadar ”produser film yang tolol”.

Semua kesangsian itu telah sering dijawab langsung Armstrong, komandan misi Apollo 11. Tokoh kelahiran Wapakoneta, Ohio, 5 Agustus 1930, itu bersama astronot Buzz Aldrin mengaku telah menikmati permukaan Bulan selama 2,5 jam.

Di Bulan, mereka berdua menancapkan bendera AS dan sebuah spanduk bertuliskan ”Di sini manusia dari planet Bumi menginjakkan kakinya pertama kali. Kami datang dengan damai untuk seluruh umat manusia”.

Mengapa awalnya banyak yang percaya? Bagi AS, pendaratan di Bulan adalah sebuah pencapaian besar yang membuat AS seolah-olah unggul dari pesaing utama ketika itu, Uni Soviet, dalam program luar angkasa.

Bagi salah satu pesaing AS saat ini, Rusia, teori konspirasi mengenai kebohongan pendaratan di Bulan tahun 1969 itu menjadi semakin populer. Rusia membuat sejumlah situs bahkan film-film dokumenter di televisi untuk menyampaikan kebohongan besar pendaratan di Bulan itu.

Konstelasi

Boleh jadi, hal itu pula yang membuat mantan Presiden AS George W Bush memutuskan untuk menghapuskan penerbangan pesawat ulang alik pada 2010 setelah musibah pesawat ulang alik Columbia pada 2003.

Sebagai gantinya, Bush pada 2004 meluncurkan program lebih ambisius, Constellation (Konstelasi), yang bertujuan membawa warga AS kembali ke Bulan pada 2020, dan menggunakan Bulan sebagai tempat peluncuran pesawat luar angkasa berawak manusia menuju Mars.

Michael Griffin, mantan pemimpin NASA yang mendorong program Constellation, menjelaskan, pesawat ulang alik membuat AS bertahan terlalu lama pada penerbangan luar angkasa di orbit rendah, padahal kini muncul pesaing baru dalam program luar angkasa, antara lain China. ”Kita (AS) harus kembali ke bulan karena itu adalah langkah berikutnya. Bulan hanya beberapa hari dari rumah. Mars hanya beberapa bulan dari Bumi,” papar Griffin.

Sayangnya, anggaran NASA tidak cukup untuk membiayai pembuatan kapsul Orion Constellations, kapsul yang lebih maju dan lebih besar ketimbang versi kapsul Apollo. NASA juga kekurangan biaya untuk menyiapkan roket peluncur Ares I dan Ares V yang diperlukan untuk mengirim kapsul itu ke orbit.

Biaya keseluruhan Constellation itu diperkirakan 150 miliar dollar AS. Anggaran eksplorasi luar angkasa AS pada 2009 hanya 6 miliar dollar AS.

Wajar apabila Senator Bill Nelson (Florida) menegaskan, NASA tidak akan bisa melakukan tugas yang diberikan kepadanya, yaitu berada di Bulan pada 2020. Senator yang mantan astronot itu bahkan mengkhawatirkan, saat program pesawat ulang alik berakhir, AS tak akan bisa mengirimkan astronotnya ke stasiun luar angkasa ISS, kecuali menumpang Soyuz milik Rusia.

Hal itu tentu menjadi kabar buruk bagi NASA dan khususnya Armstrong yang tentu tidak ingin pendaratannya di Bulan menjadi bahan olok-olokan. Meski demikian, ada cara pembuktian lebih sederhana, yaitu menemukan kembali bendera dan spanduk yang ditancapkan Armstrong itu dengan teleskop dari Bumi. Tentu dengan harapan bendera itu masih tertancap di tempatnya. (AFP)

Rabu, 24 Juni 2009

Revolusi Biru Berkelanjutan

Jonson Lumban Gaol 

Meledaknya jumlah penduduk dunia menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Tahun 1960-an dicanangkanlah Revolusi Hijau, tetapi lahan darat belum cukup untuk penyediaan pangan sehingga dekade berikutnya dicanangkan Revolusi Biru untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya laut.

Beruntung 70 persen wilayah Indonesia adalah laut yang menyimpan sejumlah besar seperti sumber daya ikan, bahan tambang, air mineral, wisata bahari, dan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Program peningkatan produksi perikanan di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an melalui kegiatan motorisasi penangkapan ikan. Tahun 1973 dioperasikan kapal tuna longline di perairan ZEE Samudra Hindia dan tahun 1974 ratusan kapal purseine di Jawa Timur.

Saat ini terjadi peningkatan jumlah kapal, yakni 790.000 unit, 49 persen di antaranya adalah perahu motor (Statistik, 2007). Produksi dan jumlah nelayan meningkat, tetapi produktivitas masih rendah, sekitar 4,5 kg per nelayan per hari, jauh di bawah nelayan negara-negara maju sekitar 100 kg per nelayan per hari. Dengan demikian, pendapatan nelayan/petani ikan sekitar Rp 15.000 per hari, jauh di bawah upah minimum.

Produksi perikanan tangkap di Indonesia umumnya meningkat sekitar 3 persen per tahun, tetapi di beberapa lokasi, seperti di wilayah selatan Jawa, terjadi penurunan dan perlu diwaspadai. Tidak beroperasinya kapal-kapal akibat naiknya harga bahan bakar minyak menjadi salah satu faktor penurunan produksi (Kompas, 20/10/2005). Sementara itu, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia baru 22 kg per kapita per tahun lebih rendah dibandingkan dengan Thailand, 35 kg per kapita per tahun.

Pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan (KP) tidak hanya untuk mengejar target produksi karena peningkatan produksi tidak selalu diikuti dengan peningkatan pendapatan. Selain itu, peningkatan produksi yang tidak memerhatikan aspek sustainability juga akan menjadi bom waktu ambruknya kegiatan perikanan, karena itu fungsi pengelolaan berperan. Pedoman pengelolaan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fishing (CCRF) yang diadopsi FAO sejak tahun 1995.

Indonesia telah menuangkan implementasi CCRF dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 3 yang menyebutkan, tujuan pembangunan perikanan antara lain (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan kerja, ...; (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.

Pemerintah Indonesia telah menggariskan aneka kebijakan dan program untuk tujuan itu, tetapi fungsi pengelolaan belum berjalan mulus. Pemerintah kabupaten/ kota yang berwenang dalam pengelolaan garis pantai harus aktif mengoptimalkan potensi secara lestari sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Berdasarkan pengamatan lapangan Kepala PPN Kejawenan Cirebon Ir Jainur, jika fungsi pengelolaan berjalan baik, tujuan pembangunan perikanan akan tercapai.

Garam dan air laut dalam

Ironis. Hingga kini, Indonesia masih mengimpor garam industri sekitar 1,5 juta ton per tahun seharga Rp 600 miliar. Di sisi lain, kini dunia dihadapkan pada krisis air bersih. Menurut World Water Forum, 1 dari 4 orang di bumi kekurangan air.

Laut dalam (> 200 meter) menjadi salah satu sumber air dan garam berkualitas tinggi pada masa mendatang karena kandungan mineralnya tinggi, bebas polusi dan bakteri, serta kandungan NaCl tinggi.

Dengan proses desalinasi, air dan garam dari air laut dalam (ALD) dipisah.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mencanangkan program pengembangan ALD beberapa tahun lalu.

Upaya pemanfaatan ALD di Indonesia telah dimulai melalui kerja sama antara Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan perusahaan Jepang, Kyowa, dirintis Prof Bonar Pasaribu. Kegiatan eksplorasi di beberapa lokasi sudah dilakukan dan kini produksi dengan kapasitas skala kecil telah dimulai di Bali.

Percepatan Revolusi Biru

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya KP tidak lepas dari political will, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya manusia. Kemauan politik di bidang KP terlihat sejak dibentuknya DKP 10 tahun lalu. Dalam usia muda, pencapaian tujuan pembangunan KP belum terlaksana optimal, karena itu diperlukan dorongan khusus.

Terlepas dari kekurangan, program Revolusi Hijau (Bimas) berhasil mencapai swasembada beras. Pengalaman yang sama dapat diterapkan dalam percepatan revolusi biru karena banyak sektor terlibat langsung dengan laut dan harus bersinergi agar tujuan pembangunan kelautan dan perikanan.

Iptek dan SDM

Iptek dan SDM akan amat berperan dalam mencapai tujuan Revolusi Biru. Perkembangan iptek kelautan di dunia amat pesat. Mengingat laut yang tidak mengenal batas-batas fisik, teknologi satelit oseanografi berperan penting dalam pemantauan proses oseanografi. Data dari satelit itu mulai dari kelimpahan fitoplankton, ekosistem terumbu karang, mangrove, arah dan energi arus, tinggi gelombang, kecepatan angin, serta suhu. Data dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas nelayan, pengaturan daerah penangkapan ikan, dan pemetaan distribusi larva ikan. Data satelit altimeter digunakan untuk penentuan anjungan pengeboran minyak dan alur pelayaran yang optimal.

Pelaku kegiatan di sektor KP mayoritas adalah nelayan yang masih jauh dari sentuhan teknologi sehingga perlu bimbingan dan penyuluhan. Terbatasnya jumlah dan kemampuan penyuluh dapat diatasi melalui kerja sama dengan program KKN mahasiswa yang berperan sebagai agen pembaruan. Program ini dapat dilaksanakan berkesinambungan 10 sampai 20 tahun, dengan harapan terjadi peningkatan tarap hidup nelayan.

Jonson Lumban Gaol Lektor Kepala; Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB

Bynkershoek dan Politik Kelautan RI


Ninok Leksono

 ”Terrae protestas finitur, ubi finitur armorum vis—Kedaulatan teritorial berakhir di mana kekuatan senjata berakhir. ” (Cornelis van Bynkershoek, De Dominio Maris Desertatio, 1703)

Apa yang disampaikan oleh Bynkershoek di atas mengingatkan pada semua negara yang memiliki wilayah laut, maka kedaulatan suatu negara di laut sangat bergantung pada kemampuan negara tersebut dalam melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya itu. Artinya, kata Ahli Peneliti Utama LIPI, Syamsumar Dam, di Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Manado, Maret silam, semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh satu negara, semakin besar pula tanggung jawab negara tersebut untuk mengawasinya.

Indonesia, negara maritim terbesar di dunia dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan luas laut 5,8 juta km atau tiga perempat dari total luas wilayah, dengan perbatasan laut berimpit dengan 10 negara, jelas memiliki tanggung jawab sangat besar.

Sejauh ini, sebagaimana di perbatasan darat yang berimpit dengan perbatasan tiga negara, pemenuhan tanggung jawab terhadap wilayah laut dirasakan belum memadai.

Pernah satu ketika Laksamana Muda (Purn) Wahyono SK menyampaikan, kebutuhan ideal untuk menjaga wilayah laut kita dapat dihitung dari luas wilayah dibagi dengan kemampuan jelajah kapal. Bila sebuah frigat bisa mengawasi luas 300.000 km, kebutuhan kapal jenis ini adalah hampir 20 unit. Sementara untuk kapal patroli yang masing-masing punya jelajah pengawasan 50.000 km, yang dibutuhkan adalah 116 kapal.

Padahal, sekarang ini, seperti dicatat The Military Balance IISS (2008), jumlah frigat yang kita miliki—tanpa memperhitungkan umurnya—hanya 11 unit, sementara kapal patroli dan kapal yang punya kemampuan tempur pantai hanya 41 unit.

Ketika muncul ketegangan dengan negara lain, misalnya ketika Indonesia dihadapkan pada tumpang tindih klaim teritorial, seperti terjadi di Ambalat, menguatlah kesadaran akan kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) laut.

Dipenuhi sendiri

Mengatasi kendala pembelian alutsista yang makin tak terjangkau, semangat yang pernah mencuat—dan sejauh ini banyak dijadikan bahan pernyataan politik—adalah ”penuhi sendiri” kebutuhan yang ada, kecuali yang belum bisa dibuat oleh industri dalam negeri.

Dalam realitas, meski PT PAL telah mencapai kemampuan untuk membuat korvet, bahkan juga kapal selam, belum ada order untuk pembuatan kapal-kapal jenis itu. (Dalam kaitan ini, bisa diwujudkannya order 150 panser untuk TNI AD dari PT Pindad amat membesarkan hati, dengan segala tantangan yang menyertainya.)

Yang lebih memprihatinkan, kabar yang muncul beberapa pekan terakhir dari PT PAL justru bernuansa suram. Industri kapal nasional yang sebelum ini banyak dibanggakan ini justru dilanda kelangkaan dana, merugi, sehingga terpaksa harus menggilir kerja karyawan.

Benturan dengan logika

Ilustrasi PT PAL dewasa ini sekali lagi melukiskan adanya kesenjangan antara penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen. Kemampuan rekayasa maju pesat diwujudkan dengan bisa memproduksi tanker 30.000 ton dan kapal barang 50.000 ton, juga kapal patroli cepat FPB 57. Sekali lagi, relevan apa yang dikemukakan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bahwa untuk masalah teknologi, kemampuan bangsa kita tak perlu diragukan. Tapi kemampuan manajemen, yang mencakup keterampilan untuk mengoordinasikan berbagai urusan, tampaknya masih banyak yang harus dipelajari.

Pada masa lalu, mantan Presiden BJ Habibie yang juga pernah memimpin PT PAL sering menyampaikan, menurut teori, kebutuhan akan kapal di Indonesia, mulai dari kapal perang hingga kapal nelayan, tidak akan pernah ada habisnya.

Pendekatan lain

Persoalan laut ini rupanya juga bisa dikaji dari disiplin lain. Dalam studi hubungan internasional dikenal politik kelautan, yang bertumpu pada pandangan kaum realis. Di sini, pemikir kekuatan laut Amerika, Alfred Mahan, menyatakan, potensi kelautan yang dimiliki oleh satu negara harus dapat dijadikan sebagai kekuatan laut yang menjadi unsur utama kekuatan nasional.

Pandangan Mahan di atas, menurut Syamsumar Dam, telah diperkaya oleh ahli teori lain, seperti Hans Morgenthau, Eric Grove, dan Sam Tangredi, yang memasukkan berbagai faktor untuk mendukung kelangsungan hidup satu negara, mulai dari geografis, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiapan militer, penduduk, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi, kualitas pemerintahan, hingga perdagangan maritim internasional.

Dan, ditegaskan, meski tidak akan menjadi kekuatan laut utama dunia seperti AS, Indonesia juga tidak ingin lagi dijadikan mangsa oleh bangsa lain.

Dalam konteks inilah Indonesia membutuhkan peninjauan kembali atas politik kelautan yang selama ini diterapkan. Kelapangan untuk mengakui masih adanya kelemahan dalam implementasi politik kelautan nasional diharapkan bisa menjadi pembuka jalan bagi hadirnya wawasan baru yang lebih progresif dan menjawab tantangan zaman.

Selasa, 23 Juni 2009

Zaman Batu dan Komoditas Unggulan

Andi Suruji 

Zaman batu tidak berakhir karena kehabisan batu, tetapi zaman minyak berakhir jauh sebelum bumi kehabisan cadangan minyaknya.”

Begitulah futurolog James Canton, Chief Executive Officer and Chairman Institute for Global Future, membuka ulasannya, ”A New Energy Age” dalam bab 2 bukunya, The Extreme Future (2006).

Simpel tetapi sarat makna untuk direnungkan. Digambarkan, ada 10 tren ekstrem di bidang energi. Di antaranya, kita tengah berada di era kehabisan energi. Permintaan global akan menghabiskan cadangan energi dalam 25 tahun ke depan, kecuali sumber-sumber energi baru ditemukan. Kekurangan energi akan menurunkan produk domestik bruto (PDB).

Keamanan energi akan menjadi medan perang yang dahsyat di abad ke-21, menjadi ajang kerja sama maupun konflik global pada masa depan.

Bangsa-bangsa akan jatuh bangun dalam menggapai akses ke sumber-sumber energi masa depan. Kekuatan-kekuatan ekonomi baru, seperti China dan India, akan bersaing dengan Amerika dan Eropa dalam pertarungan kekuasaan geopolitis baru.

Ketergantungan dunia pada minyak akan berakhir. Sumber-sumber energi yang bebas polusi dan terbarukan, seperti tenaga surya, hidrogen, pembelahan atom, dan tenaga angin, akan menjadi inti kemakmuran masa depan.

Di manakah kita kini? Dalam konteks Indonesia, ”zaman minyak” tersebut sudah tiba. Indonesia tidak lagi menjadi anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Walaupun masih tetap mengekspor minyak, kebutuhan impor bahan bakar juga lebih banyak. Indonesia sudah pengimpor minyak neto.

Subsidi bahan bakar minyak yang ditanggung anggaran pendapatan dan belanja negara membengkak luar biasa akibat dari melonjaknya harga minyak mentah di pasar internasional. Kita babak belur soal minyak, dan akan terus kerepotan. Energi alternatif hanyalah janji kosong pemerintah.

Strategi kebijakan energi dan migas di sektor hulu dan hilir sejak dulu tak pernah tersambung secara baik, bahkan salah arah. Setiap sektor terlepas dari rantai panjang industri besar migas, yang seharusnya justru menjadi kekuatan dahsyat bangsa ini. Produk-produk berbasis migas di hilir produksi industri yang paling ujung, seperti untuk komponen otomotif dan rumah tangga, terlepas antara satu dan lainnya.

Sebagai produsen gas, Indonesia dielus importir, tetapi industri nasional justru merana kekurangan gas. Pemerintah terlalu patuh pada kontrak yang banyak dikritik justru merugikan, setidaknya benefitnya tidak optimal bagi kepentingan nasional.

Di sektor hulu migas, produksi bukannya bertambah cepat; yang terjadi justru sebaliknya, terus menurun. Bahkan sampai sekarang ”perselisihan” antara produsen gas dan produsen pupuk masih selalu terjadi. Padahal, sebagai negara agraris berpenduduk 230 juta, sebagian besar menggantungkan hidup di sektor pertanian, pupuk seharusnya menjadi ”harga mati” yang tak boleh kisruh pengelolaannya.

Inilah bukti adanya mismatch dalam kebijakan energi nasional.

Belum kiamat 

Indonesia belum kiamat, tetapi, bangsa ini, setidaknya pemerintah mendatang, harus memiliki keinginan kuat dan keberanian untuk menegosiasikan ulang kontrak-kontrak pertambangan dan energi yang merugikan negara. Selain itu, tidak boleh ada suatu perusahaan asing yang dominan dalam pengelolaan sumber-sumber energi kita.

Hendaknya kita menegakkan ”kedaulatan” bangsa dengan kembali ke UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi dan segala kandungannya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Luar biasa kekayaan negara ini. Masih banyak komoditas yang jadi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif kita dibandingkan dengan negara lain. Persoalannya, kurang keras upaya memberi nilai tambah komoditas unggulan tersebut.

Di luar migas, bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke terhampar lahan pertanian dan perkebunan, hutan belantara berikut flora dan fauna tak terkira. Tetapi setelah 64 tahun merdeka, apa yang dicapai dan bisa dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan sumber daya alam itu?

Ini bukanlah sebuah pesimisme, tetapi sebuah realitas yang dihadapi, dan mesti dijadikan dasar pijakan, titik tolak untuk membangun optimisme menghadapi masa depan ekstrem yang penuh persaingan ketat.

Kesalahan manajemen migas janganlah terjadi pada komoditas unggulan lain yang masih dalam genggaman saat ini, seperti batu bara, kelapa sawit, dan kakao. Komoditas itu bisa membuka pintu kemakmuran rakyat apabila dikelola secara baik, sesuai semangat UUD 1945 tersebut.

Indonesia penghasil dan pengekspor biji kakao terbesar ketiga atau keempat di dunia, tetapi tidak pernah diperhitungkan sebagai produsen cokelat. Bahkan kini banyak petani yang menelantarkan kebunnya yang didera penyakit dan usia tua akibat kurangnya perhatian pemerintah. Indonesia memiliki kebun kelapa sawit yang sangat luas dan menjadi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, tetapi masyarakat bermasalah dengan minyak goreng.

Cadangan batu bara begitu besar, tetapi pembangkit PLN kadang mesti istirahat gara-gara bahan bakar tersendat.

Kita paham ada 230 juta perut yang butuh banyak, tetapi kebijakan pangan tambal sulam, termasuk urusan pupuk yang membutuhkan gas. Mengapa rekayasa benih tidak dipercepat untuk mencapai produktivitas tinggi, mengapa pengembangan teknologi pangan cuma sayup-sayup terdengar tanpa gerakan massal dari rumusan kebijakan sampai implementasi? Ironis...!

Lagi-lagi strategi besar pengembangan komoditas unggulan masih bermasalah. Industrialisasi yang ditopang pertanian, berbasis komoditas unggulan itu, tidak berjalan secara ideal.

Apakah kita mau kelak hanya meratapi komoditas unggulan itu seperti kisah ”zaman batu” di awal tulisan ini, atau ingin memasuki masa depan ekstrem dengan kepala tegak dan tersenyum? Kini saatnya berubah secara radikal, sebelum digilas bangsa lain.

Iptek, Kemakmuran, dan Kemandirian

M Barmawi

Jika mengamati daftar GDP sebagai ukuran kemakmuran, negara-negara berteknologi maju atau yang menganut ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based economics/KBE) menempati peringkat teratas.

GDP mereka adalah 20.000 dollar AS ke atas. Sedangkan GDP negara-negara yang mengandalkan kekayaan alam ada di bawah 2.000 dollar AS. Data ini menunjukkan, jika hanya mengandalkan hasil bumi, tambang, dan pertanian, kita akan sulit meningkatkan kemakmuran. Cita-cita Proklamasi 1945 adalah kita akan setara dengan bangsa lain, termasuk negara maju. Setelah 60 tahun lebih merdeka, kita sadar, kemerdekaan saja tidak cukup untuk mencapai kemakmuran dan kemandirian nasional.

Untuk mencapai cita-cita itu, strategi bersama diawali dengan mengurangi kemiskinan, lalu mencapai kemandirian nasional. Untuk mengurangi kemiskinan, kemampuan UKM harus ditingkatkan sehingga lapangan kerja untuk masyarakat lapisan bawah tersedia.

Untuk pengembangan UKM perlu disediakan energi di daerah terpencil. Nelayan tak dapat mengekspor ikan karena tak ada fasilitas pendinginan. Sebelum diekspor, hasil bumi perlu ditingkatkan nilai jualnya. Jalan pintas penyediaan energi untuk pengembangan UKM adalah energi surya. Saat ini Malaysia menawarkan pusat tenaga listrik sel surya berdaya 2.000 MW meski mungkin dengan modal dan teknologi asing. Di sini kita melihat, KBE dimanfaatkan untuk pemberantasan kemiskinan. KBE adalah sistem ekonomi yang menggunakan iptek sebagai pendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Malaysia sudah menganut KBE.

Taiwan sebagai contoh

Negara yang berhasil menggunakan KBE adalah Taiwan. Pada tahun 1950-an, Taiwan adalah negara agraris ber-GDP per kapita 200 dollar AS dengan ekspor pisang dan gula ke Jepang. Tahun 2000 GDP Taiwan naik 100 kali menjadi 20.000 dollar AS. Taiwan membangun UKM dengan kebijakan ”substitusi impor”. Untuk membangun industri, Taiwan membuat perencanaan yang cermat dan konsisten.

Untuk melakukan transformasi dari iptek menuju kemakmuran, Taiwan membangun Sistem Inovasi Nasional, dilengkapi universitas-universitas dan lembaga penelitian andal. Peran universitas tak hanya menyelenggarakan pendidikan S-1, S-2, dan S-3, tetapi juga diberi peran sebagai pusat penelitian, bagian sistem inovasi nasional, dan menjalin kerja sama dengan swasta dalam penggunaan iptek.

Selain itu, dibentuk organisasi seperti ITRI (Indusstrial and Technology Research Institute) dan ERSO (Electronic Research and Service Organization). Misi ITRI dan ERSO adalah membangun pabrik percontohan (pilot plants) untuk ditingkatkan menjadi pabrik yang bersaing. Seusai membuat pabrik percontohan tahun 1980, Taiwan lalu mendorong pembangunan TMSC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company). Awal 1990-an, ERSO dan ITRI mendorong pembangunan pabrik memori kapasitas tinggi dan membangun pabrik LCD, iptek yang terdepan saat itu.

Taiwan menggunakan elektronik sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan bantuan pabrik-pabrik LCD dan memori kapasitas tinggi, mereka berhasil merebut 30 persen pasaran PC dunia tahun 1993 (OCC Lin, National Innovation System and the Role of Institutes).

Itulah keajaiban ekonomi Taiwan yang juga dialami macan- macan Asia lain. Mereka tumbuh menjadi negara makmur dan mandiri karena Sistem Inovasi Nasional. Padahal, pilot plant Taiwan hanya perlu modal 12,5 juta dollar AS dan salah satu pabrik LCD Taiwan memerlukan investasi 259 juta dollar AS, kurang dari Rp 3 triliun. Sistem Inovasi Nasional Taiwan, khususnya ITRI dan ERSO, patut dicontoh.

Kawasan ASEAN

Di ASEAN, ada dua negara yang commit pada KBE, yaitu Malaysia dan Thailand. (Singapura sudah termasuk macan Asia). GDP per kapita Malaysia 8.495 dollar AS, R&D 0,49 persen GDP. Thailand 4.155 dollar AS GDP per kapita, R&D 0,25 persen GDP. Indonesia 1.918 dollar AS GDP per kapita, R&D 0,01 persen APBD. Adapun GDP/kapita Filipina 1.755 dollar AS, R&D 0,08 persen GDP. Di sini terlihat perbedaan mencolok GDP penganut dan yang tidak menganut KBE.

Dari uraian itu kita melihat korelasi yang kuat antara KBE dan kemakmuran serta kemandirian bangsa. Kita kurang percaya diri dan kurang percaya pada KBE. Tetapi jika kita ingin membangun dengan KBE, anggaran pendidikan 20 persen APBN harus dipertahankan, peningkatan SDM diutamakan dan perlu membangun Sistem Inovasi Nasional, serta sedikit demi sedikit meningkatkan R&D, setidaknya seperti Thailand.

M Barmawi Guru Besar Emeritus ITB; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jejak Naga Silikon dan Masa Depan Ekstrem

ninok leksono

Tatkala mendengarkan kuliah Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tentang ekonomi kreatif di Universitas Multimedia Nusantara, di Serpong, 5 September 2008, tumbuhlah persepsi bahwa inilah jenis ekonomi yang akan dikembangkan di Indonesia. Aktivitas di 14 bidang industri kreatif unggulan diharapkan mampu menggairahkan perekonomian Indonesia, menghasilkan pendapatan dalam orde ratusan triliun rupiah per tahun.

Pemikiran tersebut masuk akal, didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif. Komparatif, karena bak sumber daya alam, tradisi membatik atau seni kriya, misalnya, telah lama menjadi bagian dari budaya kita. Kompetitif, karena—mengikuti tesis Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat (2006)—dunia kini berada dalam equal playing field akibat globalisasi dan proliferasi teknologi-informasi-komunikasi (TIK).

Berikutnya, seperti diamati para futuris, ekonomi kreatif— sebagian lebih suka menyebut ekonomi inovasi dalam skop lebih luas—merupakan faktor survival kritikal bagi bangsa-bangsa.

Bab ketiga buku The Extreme Future karya James Canton (2006) dikhususkan untuk membahas ekonomi inovasi, khususnya dalam upaya baru menggapai kemakmuran. Di sana antara lain diuraikan 10 tren pembentuk ekonomi inovasi—yang pertama tertulis dalam kutipan di awal tulisan ini—yang penting untuk disimak dan diuji.

Ketika menyinggung kendala yang dihadapi Indonesia dalam upaya mengembangkan ekonomi kreatif, Menteri Mari Pangestu menyebutkan (dalam Ajang Indonesia ICT Awards, Jakarta 8 Agustus 2008) bahwa pasar ekonomi kreatif hanya akan terbentuk jika punya tingkat literasi (TIK) tinggi dan sebesar-besarnya masyarakat mengakses teknologi ini.

Keadaan di Indonesia memang belum sepenuhnya menggembirakan. Kesenjangan digital, yang antara lain ditandai rasio kepemilikan PC/laptop dibandingkan jumlah penduduk, yang lebih kurang baru 10 persen, dan penetrasi akses internet yang baru sekitar 15 persen, termasuk masih lebar. Katakan teknologi mobile/seluler memperbesar potensi di atas, dari segi jumlah pengguna—yang sekarang sekitar 125 juta—mungkin memberi peluang. Namun, tren yang ada memperlihatkan perlengkapan telepon seluler canggih lebih banyak digunakan untuk aktivitas sosial daripada pengetahuan, sampai muncul kekhawatiran meluasnya simptom continuous partial attention atau attention deficiency syndrome, yang merujuk pada kesulitan untuk berkonsentrasi karena tingginya aktivitas multitasking.

Padahal, ketersediaan dan akses TIK baru satu faktor. Menurut Canton, pendirian ekonomi inovasi juga harus diiringi ”kebebasan berpikir, kebebasan pasar, dan kebebasan berusaha”.

Kita tak harus berkecil hati karena China—yang sekarang rakyatnya masih belum bebas akibat masih dianutnya sistem komunis yang membelenggu— ternyata juga bisa mengembangkan ekonomi inovasi. Apabila Canton hanya menjadikan China sebagai satu bab dalam The Extreme Future, jurnalis finansial Rebecca Fannin memperlihatkan upaya China memenangi perlombaan teknologi, khususnya TIK, saat ini (Silicon Dragon, terjemahan BIP, 2009).

Mengomentari tulisan Fannin, Managing Director The Carlyle Group David Rubenstein mengatakan, China kini menjadi penantang terbesar AS sebagai pemimpin inovasi teknologi dan peluang investasi. Sementara penulis Om Malik meyakini China akan menjadi pusat inovasi di masa datang.

Uraian Fannin menyiratkan dunia memang akan hidup di bawah bayang-bayang Naga Silikon, dan masa depan ekstrem yang dikemukakan Canton juga akan kental mewarnai peradaban masa datang. Dalam konteks ini, memadaikah upaya pemerintah sejauh ini?

Daya inovasi

Kalau memang kunci bagi masa depan adalah inovasi, siapkah masyarakat Indonesia memasuki era ini?

Mengintip cetak biru perencanaan iptek nasional seperti yang dilakukan di Dewan Riset Nasional misalnya, memang di sana ada wacana pengembangan pemanfaatan TIK di pedesaan melalui sistem dengan judul yang mantap, yakni Rural—Next Generation Network. Tapi perlu kita pantau bersama apakah sistem ini sudah dicapai tahun 2008, dan dengan itu ”kesenjangan digital” yang ada teratasi seperti dijanjikan dalam Agenda Riset Nasional 2006-2009?

Hal sama bisa dipertanyakan dengan rencana besar seperti Palapa Ring yang ditujukan mengintegrasikan layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama untuk menutup wilayah Indonesia bagian timur yang relatif masih banyak yang menganga.

Seiring Palapa Ring, ada pula rencana menyediakan akses telekomunikasi bagi seluruh desa di Indonesia sehingga equal playing field tidak saja berlingkup global, tapi juga diwujudkan dalam lingkup nasional.

Hanya saja, semua yang kita lakukan sejauh ini memang masih menyentuh bagian dasar dari inovasi yang ingin kita rebut, karena yang coba ditanggulangi baru pada sisi fisik dan teknikal. Bagaimana daya inovasi individu—sebenarnya juga pada perangkat pelaksana negara seperti pemerintah—yang akan memainkan peran penting dalam transformasi membangun masyarakat berbasis pengetahuan?

Sebagai catatan, Pemerintah Indonesia sering masih dinilai tidak konsisten, misalnya di satu sisi mempromosikan cita-cita membangun masyarakat berbasis pengetahuan, yang harus ditopang tersedianya akses TIK yang terjangkau, tetapi ternyata tarif internet relatif mahal dibandingkan dengan negara berkembang lain.

Tampaklah, memang ada persoalan besar dalam upaya bangsa Indonesia meraih teknologi dan menjadikannya sebagai daya saing. Teknologi yang sulit— misal teknologi pertahanan, seperti sering disampaikan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono—banyak yang telah dapat dikuasai. Yang belum dikuasai di sini adalah ilmu manajemen atau mengelola urusan sehingga semua hal beres seperti dicita- citakan. Dalam kaitan ini pula kita bisa mengingat hambatan inovasi yang dikemukakan M Sahari Besari dalam bukunya, Teknologi di Nusantara—40 Abad Hambatan Inovasi (2008)

Jika kita bangsa pembelajar, sesungguhnya munculnya Naga Silikon di dekat kita, atau peringatan seperti masa depan ekstrem—ditandai antara lain dengan ekonomi jenis baru—mestinya kita sekarang sudah bangkit, gregah-gregah, menyongsongnya. Kita terus bergulat, bagaimana merespons ekonomi yang komponen utamanya adalah bit, atom, neuron, dan gen?

Kalau semua terdengar masih asing—nun jauh di sana (arcane), berarti itu pekerjaan rumah bagi masyarakat Indonesia. Eranya adalah masyarakat berbasis pengetahuan, ekonominya ekonomi inovasi/ekonomi berbasis pengetahuan, tetapi fenomenanya belum kunjung hadir di sini.

Kalau reformasi belum mampu membangun masyarakat berbasis pengetahuan, menurut Yasraf Amir Piliang (dalam Reinventing Indonesia, 2008), itu karena institusi negara yang terkait pengembangan pengetahuan, sains dan teknologi, seni dan kebudayaan pada umumnya sejauh ini berjalan sekadar memenuhi anggaran, tidak mempunyai ”roh” pengetahuan dan dorongan pencapaian, serta tidak mampu menularkan ”spirit pengetahuan” pada kalangan masyarakat luas.

Tapi, seguimos adelante. Maju terus, kita tidak ingin menyerah pada keadaan.

Sabtu, 20 Juni 2009

Plus-Minus Ujian Nasional

Menyebalkan! Itu ungkapan yang pas menggambarkan ujian nasional. Psikologis anak didik jadi mainan! UN diulang, pengumuman ditunda, bukan karena kesalahan mereka.

Orang Jawa punya ungkapan lebih pas: getem-getem. Menggambarkan kemarahan besar, tetapi tidak punya kemampuan melampiaskan. Hanya bisa makan hati.

Simak saja pion yang dimainkan. Beberapa SMA di Jawa Timur harus mengulang karena kesalahan kunci jawaban. Di daerah lain anak-anak wajib mengulang karena ulah curang guru. Di Jabar dan di Jateng hasil UN SMK belum diumumkan karena takut salah. Ada hasil mata pelajaran tertentu raib.

Sejak awal kehadiran sampai sekarang belum ada kata bulat untuk UN. Argumentasi yang pro dan yang kontra punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mendiknas menegaskan, UN jalan terus. Sampai akhirnya masyarakat mengambil sikap ”membuat yang terbaik dari yang ada”. UN mulai diterima, ditingkatkan bobot kelulusan, ditambah jumlah mata pelajaran yang diujikan.

Akan tetapi, ketika UN tahun ini berjalan semrawut, anak didik dibuat mainan. Sampai-sampai terkesan birokrat pendidikan teknis tak memiliki kepekaan pedagogis. Tidakkah mereka membayangkan psikologis anak merasa jadi mainan orang tua?

Masyarakat tahu kokohnya tembok mengukuhi kebijakan. UN yang gagal ditembus dengan segala argumentasi dipatahkan. Contoh lain Badan Hukum Pendidikan, yang tinggal menunggu paraf Presiden, hingga saat ini masih menunggu uji materi Mahkamah Konstitusi.

Program sertifikasi guru plus janji insentif yang belum diklarifikasi dengan Departemen Keuangan, sekadar menyebut dua contoh, belum lagi dikaitkan dengan kritik praksis pendidikan yang tidak berpihak pada anak didik.

Suasana sebal plus getem-getem dengan mudah dipungut sebagai bahan kampanye gratis. Salah satu capres menjanjikan akan menghapus UN. Wakil Gubernur Jatim berpendapat UN perlu ditinjau ulang.

Ibarat angin segar. Semua meniupkan angin perubahan: hapus UN. Panorama wacana spontan dan ikut arus ibarat wabah yang menular. Tanpa alasan jelas ramai-ramai berseru seragam: tinjau ulang UN.

Sebegitu gampangkah menghilangkan trauma menyakitkan? Seharusnya dalam keadaan genting semacam ini, Mendiknas tampil menjelaskan duduk soalnya. Menangani departemen teknis dengan bahan dasar lembaga kependidikan berbeda dengan utak-atik audit angka rupiah. Kalau memang UN merupakan pilihan strategis meningkatkan mutu, kenapa perlu dihentikan? Kalau UN tidak sesuai dengan kemajemukan dan tidak pedagogis, mengapa dilanjutkan?

Kita tak berharap pengumuman UN SMP hari Sabtu ini ikut menambah kebingungan. Biasakan memprogram kebijakan berdasar argumen, target, dan cara-cara yang bersemangat demokratis dan pedagogis!

Negeri yang Suka Tertawa

 

 

Oleh Indra Tranggono

 
Dramawan dan sineas Arifin C Noer pernah mengatakan: jangan sepelekan badut atau pelawak (joker) karena badut adalah ”raja kebudayaan”. Predikat itu bisa dimaknai: subyek yang memiliki otoritas kultural untuk membentuk dan membangun jiwa dan mental (karakter) masyarakat. Yakni, dengan estetika lawakan yang cerdas, visioner, dan elegan.

Memahami Srimulat bisa juga di dalam konteks cara pandang Arifin C Noer di atas. Grup lawak Srimulat kini memang sudah tidak berkibar lagi seperti pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Namun, Srimulat tetaplah tonggak grup lawak di negeri ini. Grup yang didirikan Teguh Srimulat pada tahun 1950-an ini telah membuat Indonesia tertawa dan menyadarkan bangsa ini pada nilai kemanusiaan, seperti halnya yang terbaca dalam pesan Anwari dalam kutipan di atas. Dalam konteks itu, menurut Anwari, Srimulat telah menjadi subkultur (baca: kebudayaan khusus yang timbul karena faktor daerah, suku bangsa, agama, profesi, dan seterusnya).

Srimulat tampil di dalam masyarakat urban perkotaan dengan mengusung kultur Jawa Mataraman. Kata ”Mataraman” merujuk pada jejak kekuasaan Kerajaan Mataram Baru sejak era Hadiwijaya di Pajang Jawa Tengah, Panembangan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Sultan Agung dan Amangkurat Agung di Pleret dan di Kerta Bantul, hingga Sunan Pakubuwono Surakarta dan Pangeran Mangukubumi/ Hamengku Buwono I di Yogyakarta.

Oase kaum urban

 

Kultur Jawa Mataraman, selain telah melahirkan kesenian klasik dan kesenian rakyat, juga kesenian lawak dengan genre dagelan mataram (Basiyo dan kawan-kawan) di wilayah Yogyakarta. Spirit dagelan mataram itu ”diadopsi” Srimulat secara populer. Memanfaatkan budaya pop/massa, Srimulat menemukan bahasa ungkap yang artikulatif dan komunikatif sehingga mampu membangun koneksitas yang intens dengan masyarakat urban perkotaan (Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Surakarta).

Lawakan Srimulat menjadi oase di tengah ”gurun pasir” kehidupan kaum urban yang lebih lekat dengan kultur industri daripada kuyup dengan kultur agrarisnya.

Bagi masyarakat urban perkotaan yang berasal dari Jawa, Srimulat adalah ”bilik budaya” yang selalu perlu ditengok untuk melakukan (pinjam istilah Umar Kayam) konfirmasi nilai sekaligus pengukuhan: mereka merasa tetap menjadi bagian dari komunitas Jawa.

Adapun bagi publik di luar etnis Jawa, Srimulat menjadi wahana untuk rileksasi di tengah tekanan kehidupan kota yang keras. Publik Srimulat semakin meluas ketika Srimulat menemukan panggung barunya di televisi. Semula Srimulat tampil rutin di TVRI yang waktu itu menjadi satu-satunya media massa audio-visual; kemudian mulai merambah ke stasiun-stasiun televisi swasta.

Hilangnya tobong

Tobong atau gedung pertunjukan ketoprak atau lawak semacam Srimulat kini telah hilang seiring dengan makin menguatnya pragmatisme. Masyarakat kini semakin individual dan tidak terlalu membutuhkan kultur tatap muka secara langsung. Mereka lebih memilih internet dan televisi, termasuk untuk menyaksikan kesenian.

Seiring dengan keluarnya Srimulat dari dunia panggung maupun studio televisi, Indonesia tetaplah negeri yang suka tertawa. Bahkan untuk hal-hal yang konyol atau sengaja dibuat konyol. Buktinya, paket-paket acara komedi (tepatnya banyolan) cukup diminati penonton. Grup-grup lawak dari anak-anak muda pasca-Prambors DKI dan Bagito bermunculan dari audisi lawak televisi.

Juga muncul dagelan pop Extravaganza, Tawa Sutra, Opera van Java, Suami-suami Takut Isteri, dan lainnya. Pelaku atau pelawak-pelawaknya mencoba menggunakan resep: perpaduan antara humor/dagelan/kelucuan/kekonyolan dengan hal-hal yang sensasional, seperti tubuh wanita.

Lalu di mana Srimulat? Kelompok yang loyal pada jalur ideal sebuah lawakan itu? Secara pribadi pelawak-pelawak eks Srimulat mereka mungkin survive. Namun sebagai kekuatan kelompok yang menggetarkan dan historis, Srimulat kini tinggal kenangan.

Lawakan subversif

Indonesia memang masih menjadi negeri yang suka tertawa. Namun, kini tawa yang muncul benar-benar karena kekonyolan hidup sebenarnya. Bukan kekonyolan artifisial yang muncul karena kreativitas yang dihasilkan pelawak di atas panggung.

Karena itu, kritisisme dunia lawak sebenarnya adalah semacam tindakan ”subversif” para seniman lawak terhadap realitas formal, umum dan mapan yang ada di masyarakat. Tawa yang meledak pun tidak lagi sekadar impuls motorik yang fisikal, dan hanya berisiko mengguncang atau mengencangkan perut. Dalam lawak subversif itu ada gelombang energi yang diam-diam bergerak dan menjalar dalam pikiran, dalam hati, dalam kemanusiaan, sehingga orang bukan hanya mengalami katarsis, tetapi juga tercerahkan.

Krisis lawak

Saat ini, lawak(an) cenderung hanya menjadi komoditas industri yang kurang tertarik pada kritisisme. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kritisisme dalam kesenian, termasuk lawak, tidak lagi dibutuhkan karena sudah ”diwakili” pers yang bebas dan forum-forum lain. Sebagian masyarakat lain menganggap kritisisme dalam kesenian dibutuhkan dalam setting masyarakat.

Kebutuhan itu muncul karena kritisisme dalam kesenian memiliki pola ungkap estetik dan simbolik yang mampu menyentuh emosi dan kognisi publik. Hal itu lahir dari proses transformasi estetik dengan kemampuan atau daya gugah yang tinggi. Kapasitas semacam ini terbukti lebih kuat dan efektif ketimbang misalnya pernyataan-pernyataan sloganistik dari kalangan politik, akademis, atau aktivis sosial.

Maka, ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ”jual-beli” kekuasaan, seni lawak perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner, dan elegan.

Seni lawak mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya. Pada pemuliaan manusia. Peran semua yang berkepentingan dibutuhkan. Dan mesti segera dimulai. Andakah yang pertama? 

Indra Tranggono Cerpenis dan Pemerhati Kebudayaan, Tinggal di Yogyakarta

Kamis, 18 Juni 2009

Sekolah Gratis ibarat Tong Kosong


Sekolah gratis yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah ternyata tak berjalan dengan baik. “Sekolah gratis yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah ibarat tong kosong karena tidak didukung oleh modal yang memadai. Selama ini pemerintah hanya mengunggulkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal BOS hanya dapat meng-cover 30 persen biaya pendidikan,” ujar Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan pada “Diskusi Mengkaji Kebijakan Pendidikan Nasional: Sekolah Gratis vs Sekolah Mahal,” di Jakarta, Kamis (7/5).
Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Depdiknas, untuk menuju sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar Rp 1,8 juta per siswa SD per tahun dan Rp 2,7 juta per siswa SMP per tahun. Sementara itu, anggaran BOS yang disediakan oleh pemerintah untuk SD di kota baru sebesar Rp 400.000 per siswa per tahun dan untuk SD di kabupaten sebesar Rp 397.000 per siswa per tahun. BOS untuk SMP di Kota sebesar Rp 575.000 per siswa per tahun dan SMP di Kabupaten sebesar Rp 570.000 per siswa per tahun.

Ade menambahkan, anggaran untuk pelaksanaan wajib belajar sebesar Rp 31 triliun ini justru menyebar ke hampir seluruh direktorat, seperti ke Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan data yang dihimpun ICW sepanjang tahun 2008, ada 36 kasus korupsi di Depdiknas dengan tersangka sebanyak 63 orang. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 134,2 miliar. “Anggaran yang sudah kecil masih juga dikorupsi berjamaah. Pelaku korupsi paling banyak di dinas pendidikan dengan modus mark up dan penyalahgunaan keuangan,” tambahnya.

Sementara itu, pakar pendidikan Soedijarto mengatakan, di Indonesia sebenarnya belum ada wajib belajar, sebab masih banyak anak-anak yang tidak sekolah. Sekolah masih sangat diperlukan, sebab para pendiri negara ini sudah menetapkannya dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dan dalam Pasal 31 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Dia menambahkan, Indonesia telah tertinggal selama 400 tahun. Menurutnya, hanya mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Eropa seperti AMS yang mengenal peradaban modern.

Hal senada juga diutarakan oleh pakar pendidikan HAR Tilaar. Dia menilai, masih ada jutaan anak Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan dengan baik. Saat ini, lanjut Tilaar, malah banyak sekolah dibangun dan diperuntukan bagi anak-anak orang kaya. Karena itulah bermunculan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). (stevani elisabeth)

Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Depdiknas, untuk menuju sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar Rp 1,8 juta per siswa SD per tahun dan Rp 2,7 juta per siswa SMP per tahun. Sementara itu, anggaran BOS yang disediakan oleh pemerintah untuk SD di kota baru sebesar Rp 400.000 per siswa per tahun dan untuk SD di kabupaten sebesar Rp 397.000 per siswa per tahun. BOS untuk SMP di Kota sebesar Rp 575.000 per siswa per tahun dan SMP di Kabupaten sebesar Rp 570.000 per siswa per tahun.

“Keadaan ini menunjukkan masih ada sekitar Rp 1,4 juta biaya yang harus ditanggung oleh orang tua,” lanjut Ade. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo agak narsis dalam mengiklankan sekolah gratis di media massa. Sekolah gratis yang digembar-gemborkan pemerintah justru menimbulkan pertanyaan, apa benar pemerintah sudah insyaf atau ini hanya sekadar janji lima tahunan saja?

Ade menambahkan, anggaran untuk pelaksanaan wajib belajar sebesar Rp 31 triliun ini justru menyebar ke hampir seluruh direktorat, seperti ke Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan data yang dihimpun ICW sepanjang tahun 2008, ada 36 kasus korupsi di Depdiknas dengan tersangka sebanyak 63 orang. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 134,2 miliar. “Anggaran yang sudah kecil masih juga dikorupsi berjamaah. Pelaku korupsi paling banyak di dinas pendidikan dengan modus mark up dan penyalahgunaan keuangan,” tambahnya.

Sementara itu, pakar pendidikan Soedijarto mengatakan, di Indonesia sebenarnya belum ada wajib belajar, sebab masih banyak anak-anak yang tidak sekolah. Sekolah masih sangat diperlukan, sebab para pendiri negara ini sudah menetapkannya dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dan dalam Pasal 31 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Dia menambahkan, Indonesia telah tertinggal selama 400 tahun. Menurutnya, hanya mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Eropa seperti AMS yang mengenal peradaban modern.

Hal senada juga diutarakan oleh pakar pendidikan HAR Tilaar. Dia menilai, masih ada jutaan anak Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan dengan baik. Saat ini, lanjut Tilaar, malah banyak sekolah dibangun dan diperuntukan bagi anak-anak orang kaya. Karena itulah bermunculan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). (stevani elisabeth)

Sinar Harapan, Jumat 8 Mei 2009

http://www.sinarharapan.co.id/detail/article/sekolah-gratis-ibarat-tong-kosong/

Pendidikan Nasional Indonesia


Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan lima komitmen yang harus dipegang dalam membangun koalisi. Sungguh merisaukan, pendidikan nasional tidak termasuk dalam komitmen tersebut. Lebih merisaukan lagi bila diingat, di antara ke tiga puluhan parpol peserta pemilu legislatif hanya satu (Gerindra) yang menampilkan pendidikan secara eksplisit dalam program kerjanya. Namun, ternyata tidak digubris oleh rakyat pemilih.

Bila rakyat biasa tidak menaruh perhatian secukupnya pada pendidikan, dapat dipahami. Walaupun pendidikan adalah masalah setiap orang, memang tidak semua mengerti pendidikan. Namun, tidak bisa dimaafkan kalau parpol yang sampai tidak concern pada pendidikan. Bukankah parpol-parpol pada berebutan kekuasaan demi mendapat hak memerintah, hak mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Sedangkan pendidikan, menurut natur kerjanya, yang membangun masa depan negara dan bangsa, melalui kemampuan berpikir dan berbuat dari para warga yang dibinanya.

Efektivitas pendidikan nasional tidak hanya menyangkut masalah kecukupan anggaran, persekolahan gratis, BHP, sekolah bertaraf internasional (SBI), otonomi sekolah, sertifikasi guru, dan ujian nasional. Jauh lebih penting dan menentukan daripada semua praksis pembelajaran itu, pendidikan nasional memerlukan satu konsep relevan, berarti futuristis. Dengan begitu, bukan hendak melupakan saja masa lalu.

Kita adalah makhluk memori dan imajinasi, sebagian dari kekinian kita adalah juga masa lalu dan masa depan. Kita tidak pernah seluruhnya dalam masa kini, kecuali selaku anak-anak, karena mungkin, pembawaan kita adalah selalu bertransendensi. Kita dapat hidup dalam memori masa lalu, masa lalu kita sendiri, atau masa lalu orang lain melalui memori historis. Kita bisa mengimajinasikan diri sendiri sebagai orang lain, tidak hanya bagai dalam mimpi melek (waking dream), tetapi juga dalam arti lebih substansial. Kita pun mampu memproyeksikan diri ke masa depan. Apa “yang belum” benar-benar merupakan bagian dari diri kita sebagaimana “yang tidak lagi”. “Kekinian” kita terdiri atas hal-hal tersebut plus lain-lain lagi.

Konsep pendidikan perlu berpembawaan futuristis, karena dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, setiap gerak pembangunan diarahkan ke masa depan dan setiap orang akan menjalani sisa hidupnya pada masa depan. Maka pendidikan, melalui konsepnya, harus terpanggil menyiapkan masa depan itu.

Manusia Terdidik

Perbuatan transendental ini bukan hal yang baru bagi bangsa kita. Founding fathers dari Republik Indonesia telah melakukan hal ini semasa masih di alam penjajahan dahulu berkat kearifannya selaku manusia terdidik (educated man). Dengan mewujudkan pendidikan yang berkonsep futuristis berarti sebagian dari mereka telah menjalani periode ketika apa yang belum terjadi menjadi lebih riil bagi kehidupan batin dan keyakinan mental daripada apa yang segera ada di tangan.

Jangan lupa bahwa generasi sekarang yang sudah hidup di alam kemerdekaan dan banyak sedikit telah menikmatinya, adalah berkat pendidikan yang diusahakan oleh para pendekar kemerdekaan tersebut. Beberapa orang dari mereka yang belajar di Belanda, sepulang dari sana sejak awal tahun 20-an, abad yang lalu, membangun sekolah berhaluan nasional di kampung halaman masing-masing. Dilihat dari sudut pandang, sa at itu, sekolah-sekolah tersebut melaksanakan konsep pendidikan yang berpembawaan futuristis. Sebaliknya, pihak pemerintahan penjajah mencapnya sebagai “sekolah-sekolah liar” (wilde scholen).

Willem Iskander membuka sekolah guru di Tano Bato, Mandailing. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, Mohammad Sjafei membangun Indonesische Nijverheid School (INS) di Kayutanam, Minangkabau. Drs Mohammad Hatta mengusahakan gerakan politis “Pendidikan Nasional Indonesia” (PNI) yang kemudian dibantu oleh Sutan Sjahrir. Bagi kedua tokoh pergerakan ini, rupanya partai dipikirkan tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan politik, tetapi sekaligus sebagai sarana pendidikan bagi para kader untuk berpolitik dan berdemokrasi secara correct. Suatu pikiran yang kiranya kurang, bahkan sama sekali, tidak diemban oleh tokoh-tokoh politikus, dewasa ini.

Beberapa pendekar kemerdekaan lainnya, selain tergolong cendekiawan, adalah juga pendidik dengan cara masing-masing, seperti Dr Soetomo, Dr Wahidin Soedirohoesodo, Dr Douwes Dekker, Dr Danoedirdjo Setjaboedi, dan Ki Mangoensarkoro.

Apakah tidak merisaukan, dewasa ini, mengetahui menipisnya tanggung jawab warga terhadap kehidupan publik, tidak hanya di kalangan mereka yang pernah sulit mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga di kalangan mereka yang pernah memperoleh dukungan beasiswa, jadi dana publik, hingga ke studi tingkat doktorat dan di kalangan keluarga berada yang menanggung sendiri seluruh biaya pendidikannya.

Apakah tidak mengkhawatirkan menyaksikan betapa tidak sedikit warga terpelajar yang memperlakukan Tanah Air hanya sebatas artian fisik dan formal, tetapi tidak dalam artian mental. Tanah Air dalam artian fisik adalah tempat berpijak, medan pencarian nafkah dan sumber kehidupan serta taman penguburan jasad yang tidak bernyawa. Tanah Air dalam artian formal, adalah otoritas yang memberikan identitas dan legalitas perbuatan bagi warga. Tanah Air dalam artian mental adalah entitas luhur yang kepastian kelangsungan eksistensinya diharapkan menjadi pemikiran pribadi warga, masalah yang dihadapinya seharusnya menjadi keprihatinan personal dan ada kesediaan pribadi menanggung tanpa pamrih tuntutan solusi masalah tersebut di bidang apa pun.

Mencemaskan

Sungguh mencemaskan melihat betapa otoritas tertinggi di bidang pendidikan, setelah menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”, justru memfasilitasi pembentukan “Sekolah Berbasis Internasional” (SBI) dengan anggaran yang relatif lebih besar daripada rata-rata anggaran “sekolah nasional” yang keadaannya semakin memprihatinkan. Sedangkan ukuran keinternasionalan dari SBI itu sendiri cukup ambigu dan pasti sangat kerdil bila ia hanya berupa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Apakah murid-murid di situ diajari menyanyikan himne nasional “Indonesia Raya” dalam bahasa Inggris supaya kedengarannya lebih afdol?

Sungguh heran melihat departemen ini menghamburkan dana kerja untuk beriklan ria tentang “sekolah gratis” yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, tentang “sekolah harus bisa”, padahal sekolah pasti tidak bias, karena yang bisa itu adalah pendidikan yang berkonsep futuristis. Ketimbang meninabobokan rakyat dengan kebohongan dan kekeliruan, bukankah lebih efektif kalau dana itu dipakai untuk memperbaiki sarana fisik pendidikan yang rusak begitu parah (atap sekolah bocor). Bahkan sudah pernah terjadi insiden yang mencelakakan murid (gedung sekolah roboh).

Sekolah perintis guru di Tano Bato Mandailing sudah lenyap. Seperempat abad kemudian (1982) di atas bekas fondasi bangunannya, seorang pengusaha idealis, Siin Irawadhy, membangun sebuah Sekolah Menengah Teknik lengkap dengan peralatan belajarnya. Setelah sang idealis ini meninggal, penduduk setempat tidak mampu mengoperasikannya sebagai lembaga pendidikan teknik unggulan. Sekolah INS Kayutanam masih ada, namun tanpa semangat juang dari pendiri awalnya, ia tidak bisa disebut lagi sebagai sekolah model.

Gerakan “Pendidikan Nasional Indonesia” sudah tidak ada lagi. Demikian pula para pendiri dan pengasuhnya dahulu. Yang masih tetap berkiprah di seluruh Nusantara, tidak tanpa kesulitan, adalah perguruan Taman Siswa.

Kini, para politikus dengan parpolnya hanya berminat pada kekuasaan yang inheren dengan kekuatan parpol, tidak concern pada misi suci (mission sacrée) yang inheren dengan kekuasaan tadi, yaitu kerja mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka Taman Siswa terpanggil untuk menanganinya, mengulang kerja bakti Ki Hajar Dewantara.

Dia dahulu telah memelopori pendidikan nasional futuristis bagi generasi mendatang, yang tak lain daripada kita-kita ini, yang berkesempatan menghirup udara merdeka. Kini, Taman Siswa perlu mewujudkan pendidikan nasional futuristis bagi generasi mendatang, penerus kita dalam mengisi kemerdekaan. Seperti halnya pada zaman penjajahan dahulu, kini kelihatannya Taman Siswa harus pula bekerja sendirian. Mais la noblesse oblige!

Daoed Joesoef

Penulis adalah alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Politik dan Pendidikan


Tim sukses Mega-Pro mengklaim, IQ capres Megawati tertinggi. Apakah IQ, standar kecerdasan ini memang menentukan sekali derajat kepemimpinan dari seorang kepala negara dan/ atau kepala pemerintahan sebuah republik?

Kalau kita berbicara tentang “republik”, pikiran kita melayang ke “republik” dari Plato. Filsuf besar Yunani Purba ini, dalam pemaparannya di situ, tidak hanya concerned dengan para pemimpin politik, tetapi juga dengan kelayakan pendidikan mereka. “Philosopher Kings” dari negara imajiner Plato ternyata dipikirkan olehnya terutama sebagai pendidik, bukan negarawan atau politikus dalam artian modern. Berarti perolehan pendidikan yang layak, seperti yang dipikirkannya, tidak hanya relevan bagi politikus, tetapi juga bagi seniman. Tidak berlaku melulu bagi ilmuwan, tetapi juga bagi jenderal, pokoknya bagi semua warga yang merasa terpanggil untuk berperan aktif dalam jalannya kehidupan bersama.

Socrates kiranya berpendapat lain. Setelah menggarisbawahi pentingnya sikap yang alami, sesudah membubuhi kemampuan inheren itu dengan tuntutan pengujian kebugaran jasmani, kecintaan belajar, daya ingat, dan ketegaran intelektual, dia mengemukakan suatu kualitas lain yang tak terelakkan, yang pada tingkat pertama harus dimiliki oleh orang agar menjadi pemimpin yang didambakan dari suatu negara yang ideal. Kualitas yang diniscayakan itu adalah “tanggap terhadap keseluruhan”, a sense of the whole.

Mengingat kualitas kepemimpinan tersebut begitu penting bagi kehidupan bernegara, Socrates menganggap hal ini menjadi urusan pendidikan. Dia yakin, disposisi seperti itu sudah membayang sejak kanak-kanak. Maka, dia menganjurkan adanya suatu pengamatan yang berkesinambungan, bersih dari pemaksaan, terhadap anak-anak guna mendeteksi siapa di antara mereka yang tentu berjumlah sedikit, yang menunjukkan berpotensi punya “tanggap terhadap keseluruhan”.

Pengamatan seperti ini, menurut kesimpulan saya, ada di sekolah elite, Eaton, di Inggris. Hal itu dilakukan terutama ketika murid-murid bekerja menyelesaikan suatu tugas kolektif secara berkelompok, baik di dalam maupun di luar kelas. Maka, bukan kebetulan kalau ada pemeo beredar di Eropa sesudah perang dunia pertama, berbunyi: Engeland win the war at the yard of Eaton. Artinya, usaha Inggris memenangi perang terwujud berkat usahanya di halaman sekolah Eaton, bukan di halaman Akademi Militer Sandhurst. Pengamatan yang sama juga dilakukan di lingkungan kepanduan sebagaimana yang dikembangkan oleh Lord Baden Powell.

Bila dipaparkan dalam bahasa kontemporer, menurut filsuf pendidik J Glenn Gray, kualitas remaja yang disebut sense of the whole adalah kesediaan merespons tuntutan waktu dan situasi yang dihadapinya. Anak-anak yang tanggap terhadap keseluruhan tidak sekadar suka hidup berkelompok, juga yang personalitasnya tidak bertipe eksekutif.

Sebaliknya, dia adalah individu yang mengurus dengan penuh perasaan, yang concern pada kesejahteraan orang lain, dan punya simpati intuitif terhadap perbedaan-perbedaan dengan dirinya, serta membutuhkan pengalaman pendidikan yang berlainan.

Dia cepat menyadari bahwa pendidikan berarti saling berbagi dan bahwa realisasi diri pribadi dapat terjadi hanya dalam fokus pada komunitas. Individualitas adalah tujuan dari sepak terjangnya. Baik individualisme maupun kolektivisme konformis tidak akan dapat menyelewengkannya dari jalur kepentingannya yang murni.

Pendek kata, a sense of the whole berarti sangat peduli pada distingsi orang-orang lain, pada hak-hak mereka mengembangkan diri, menurut cara pilihannya sendiri, tetapi juga punya kaitan dengan dirinya dalam konteks komunitas. Ini adalah suatu kapasitas untuk mengakui bahwa orang yang ingin menemukan dirinya sendiri harus lebih dahulu kehilangan dirinya sendiri, suatu frase yang cocok bagi pendidikan sebagaimana juga bagi pembebasan religius.

Pendidikan Nasional

Bung Hatta yang sangat mendalami alam pikiran Yunani Purba dan menulis buku tentang hal itu, pasti telah memahami buah pikiran Plato dan Socrates, termasuk yang menyinggung kaitan antara politik, kenegaraan, kepemimpinan, dan pendidikan.

Begitu tiba kembali di Indonesia di awal tahun 30-an abad lalu, dia membentuk suatu gerakan yang dinamakannya “Pendidikan Nasional Indonesia” (PNI). Dia sengaja menyebut “pendidikan” dan bukan “politik atau Partai”, walaupun ada yang menertawakan organisasi ini sebagai “sekolahan-sekolahan”. Dia tidak berkecil hati, tetapi dengan tegas menyatakan bahwa memang kita mau bersekolah dahulu, bersekolah untuk membentuk budi pekerti, bersekolah dalam memperkuat iman karena politik memang memerlukannya.

Melalui pendidikan, Bung Hatta ingin rakyat mendapat keyakinan bahwa tidak saja pemimpin harus tahu kewajibannya, tetapi juga rakyat semuanya. Sebab kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai oleh perjuangan pemimpinnya saja, tetapi oleh usaha dan keyakinan rakyat banyak. Sudah banyak “isme” yang datang ke Indonesia, tetapi tidak ada yang begitu dirasakan oleh rakyat seperti cita-cita “Kedaulatan Rakyat”.

Melalui pendidikan, Bung Hatta menghendaki agar dalam rapat umum dan rapat kursus kader jangan dilakukan agitasi. Yang diutamakan adalah pemberian petunjuk dengan jalan menganalisis realitas. Sebab dengan agitasi memang mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang.

Kerap kali kegembiraan sementara itu lekas lenyap. Demokrasi dan agitasi saja adalah mudah, karena tidak menghendaki kerja dan usaha terus-menerus. Agitasi baik sebagai pembuka jalan. Namun, pendidikan yang membimbing rakyat ke organisasi! Maka, kita membutuhkan pendidikan yang benar. Yang perlu diusahakan sekarang adalah pendidikan.

Melalui pendidikan, Bung Hatta bertekad memberikan kepada para kader kursus yang relevan dan fungsional. Kursus tidak dilakukan sebagai indoktrinasi, tetapi sebagai pendidikan yang mencerahkan. Mereka baru diakui sebagai anggota pergerakan setelah “maju” dalam ujian. Adapun, pokok-pokok ujian meliputi: pertama, sejarah umum Indonesia, terutama sejarah pergerakan nasional, termasuk pengetahuan tentang perbedaan antara politik kooperasi (kerja sama) dan nonkooperasi dengan penjajah. Kedua, imperialisme dalam pertumbuhannya. Ketiga, kapitalisme dalam perkembangannya. Keempat, kolonialisme dan kelima, kedaulatan rakyat.

Gerakan “Pendidikan Nasional Indonesia” berpusat di Bandung. Dalam usahanya ini Bung Hatta dibantu oleh beberapa tokoh pergerakan nasional dan nonkooperator, seperti St Sjahrir, Hamdani, Maskun, Burhanuddin, Inu Perbata- sari, Murwoto, Suka, dan beberapa orang lagi.

Perlu kiranya direnungkan, apakah sikap tokoh-tokoh politikus yang tinggal di daerah elite dengan gaya hidup borjuis dan lalu memilih tempat pembuangan sampah, yang nota bene adalah kotoran kehidupan mereka, sebagai forum pendeklarasian tekad politik, dapat dikatakan tanda jenuin dari sense of the whole mereka, kepedulian mereka terhadap nasib wong cilik? Apakah ini bukan contoh dari adanya eksploitasi secara sadar terhadap ketidaktahuan rakyat kecil dalam berpolitik secara benar, karena kurang dididik selama ini?

Apa pun jawabannya, yang jelas adalah bahwa berpolitik tanpa pendidikan pendahuluan yang relavan akan menyesatkan republik dan menanggalkan demokrasi dari maknanya yang jenuin.

Daoed Joesoef
Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Tentang Sekolah Bertaraf Internasional


Undang-Undang Sisdiknas 2003 memperkenalkan klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB). Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD.

Kebijakan ini pun kemudian ”rame-rame” direspons oleh sekolah-sekolah di Tanah Air. Syamsir Alam (2008) menyebut pada tahun 2004/2005, SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Labschool mulai mengadopsi silabus Cambridge Advance Level (A Level) guna memperkaya kurikulum nasional pada siswanya. Selanjutnya program yang sama diperkenalkan di SMA Negeri 8 Jakarta, SMA Negeri 21 Jakarta, dan SMA Negeri 68 Jakarta.

Sebagaimana diketahui, program Cambridge A Level merupakan golden standard-nya Cambridge International Examination (CIE) yang sertifikatnya sudah diakui sejumlah universitas unggulan (ivy league) mancanegara, seperti University of Cambridge, Oxford University, Harvard University, MIT, dan Stanford University. Kelebihan lain dari program ini adalah pembelajaran dan penilaian Cambridge IGCSE lebih menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, menumbuhkan pemikiran kreatif, dan autentik (contextual learning).

Saat ini sekolah bertaraf internasional (SBI) itu sudah tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Air. Diperkirakan, menjelang berakhirnya tahun anggaran 2009, jumlah SBI akan mencapai 260 sekolah, terdiri dari SMA 100 sekolah, SMP (100), dan SMK (60).

SBI Pemicu Kesenjangan

Sebenarnya inti dari SBI ini adalah semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural. Guru dalam SBI didesain sebagai sosok yang sangat paham makna dari konsep pembelajaran deep-learning, higher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajar an rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah.

Sementara itu, kemajuan pada siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, dan berani menghadapi risiko.

Meskipun SBI ini merupakan salah satu bentuk terobosan Depdiknas untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia, namun tak bisa dipungkiri ada beberapa hal yang cukup merisaukan dengan berkembangnya SBI ini di Indonesia.
Pertama, munculnya kesenjangan di antara peserta didik. Jika SBI ini diterapkan dengan pembiayaan penuh dari pemerintah dan diperuntukkan seluruh siswa di Indonesia, mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Sekolah-sekolah yang mulai membuka “jalur” SBI ini nyatanya memungut dana belasan juta rupiah bagi setiap siswa yang ingin masuk jalur ini.

Di Bogor misalnya, untuk bisa masuk SMP berlabel SBI, orang tua siswa harus menyetor sekitar Rp 12 juta sebagai dana masuk, belum lagi SPP bulanan dan biaya lainnya yang tentu untuk mengejar standar internasional butuh dana tidak sedikit. Untuk SMA lebih besar lagi. Mahalnya kelas SBI jelas hanya bisa dijangkau oleh orang tua berpenghasilan besar. Jika demikian bagaimana dengan siswa cerdas yang orang tuanya hanya pedagang sayur, tukang becak, atau buruh cuci, tidakkah siswa ini berhak mengenyam SBI? Tidakkah mereka berhak atas masa depan yang cerah dengan mencicipi pendidikan berkualitas?

Belum lagi efek psikologis yang bakal diderita siswa lain di luar kelas SBI. Betapa tidak, dalam satu sekolah yang sama, pagar dan gedung yang sama harus dibedakan statusnya sebagai siswa SBI yang notabene berkelas/keren, dengan siswa berstatus biasa. Ini yang terjadi dengan salah satu SMA di Bogor, di mana siswa-siswa dari orang tua berduit begitu melaju dengan berbagai program pembelajaran kelas internasional, sementara tak sedikit rekan mereka yang hanya bisa “melongo” menyaksikan ketidakadilan nasib.

Terkesan Buru-buru

Kedua, terobosan ini terkesan buru-buru dijalankan Depdiknas. Ini tampak dari munculnya berbagai problem manajemen tatkala kecepatan sekolah-sekolah dalam melakukan perubahan (mengadopsi silabus pembelajaran dan penilaian asing) masih belum diimbangi dengan upaya yang sistematis untuk memperkuat dan meningkatkan mutu sumber daya kependidikan (kepala sekolah, guru, dan manajemen), membangun sistem kontrol dan akuntabilitas atas seluruh kegiatan akademis dan administrasi keuangan sekolah.

Akibatnya, pertumbuhan SBI yang begitu cepat itu malah menimbulkan masalah, kontraproduktif, dan kehilangan arah. Dengan hilangnya pesan perubahan, yang sebelumnya tercermin dari perubahan manajemen sekolah yang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif, program SBI ini malah hanya membawa kecemasan baru di masyarakat. Semestinya Depdiknas terlebih dulu melakukan pemetaan, pengkajian dan persiapan dari segala sisi sebelum menggulirkan program tersebut, sehingga keresahan tak menjalar di masyarakat.

Niat pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air memang patut kita berikan apresiasi. Namun, pemerintah jangan hanya sebatas menggulirkan target-target pencapaian makro yang dilengkapi dengan paket-paket kebijakan umum, namun kemudian melempar tanggung jawab pelaksanaan (termasuk aspek pendanaan) kepada masyarakat. Karena hal itu pada akhirnya tidak saja membebani masyarakat dengan mahalnya biaya pendidikan, namun juga akan menciptakan jurang kesenjangan, dan membiarkan anak-anak dari kalangan miskin tergilas dalam kompetisi lantaran ketiadaan dana.

Jika sudah demikian maka lingkaran kemiskinan pengetahuan akan terus berputar-putar di dalam arena kehidupan orang-orang tak berpunya. Kesempatan untuk memperbaiki nasib melalui pendidikan tidak akan pernah terwujud karena lagi-lagi mereka harus menerima nasib sebagai orang miskin yang tak bisa mengenyam pendidikan mahal.

Sebenarnya kualitas pendidikan itu yang ingin diraih, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan berkualitas di negeri ini identik dengan biaya mahal. Kecuali jika pemerintah mau mengubah paradigma itu.

FAHMI FAHRIZA
Direktur KALAM Center Bogor.