Senin, 27 Juli 2009

Industrialisasi TV dan Kontrol Sosial

Fereshti
Dosen UMS Solo

Bagaimanapun juga, era perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional memang kian pesat dalam 10 tahun terakhir, baik secara kuantitas ataupun kualitas. Selain itu, di era otonomi daerah ternyata juga makin marak pendirian TV lokal di berbagai daerah. Meski perkembangan pertelevisian lokal di daerah belum maksimal, namun itu semua bisa menjadi momentum untuk memperkuat basis kinerja perekonomian di daerah melalui tayangan bermuatan lokal yang mengangkat semua potensi internal di daerah yang notabene tidak bisa diangkat oleh TV swasta nasional.

Meski secara umum ada peningkatan kuantitas dan kualitas industrialisasi pertelevisian nasional, namun secara substansif diakui bahwa secara kualitasnya tidak signifikan terhadap kuanitas. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dalam proses laju perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional banyak menuai kritik. Selain itu, ada juga yang berani memproklamasikan 'Sehari Tanpa TV' yaitu bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional. Kampanye Hari Tanpa TV telah dimulai sejak 2006 dan kini memasuki tahun ke-4 dan direncanakan berlangsung pada Ahad 26 Juli 2009.

Alasan mendasar
Tentu ada banyak alasan sehingga perlu ada proklamasi terhadap 'Sehari Tanpa TV' yang telah berjalan 4 tahun ini sejak 2006. Adalah Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Komunitas TV Sehat yang peduli terhadap dampak tayangan TV yang makin tidak sehat bagi anak-anak secara umum. Oleh karena itu, penetapan dan juga kampanye 'Sehari Tanpa TV' tidak lain adalah bentuk keprihatinan terhadap tayangan televisi yang tidak aman dan tidak bersahabat untuk anak.

Yang justru menjadi pertanyaan apakah proklamasi gerakan sehari tanpa TV tersebut efektif untuk meredam tayangan negatif TV terhadap kehidupan anak-anak? Entahlah, yang pasti, industrialisasi pertelevisian nasional saat ini semakin berkembang pesat dan bahkan banyak di antaranya yang telah masuk ke bursa untuk menjadi industri TV yang terbuka. Di sisi lain, bagaimana industrialisasi pertelevisian nasional menyikapi adanya proklamasi sehari tanpa TV?

Gerakan Hari Tanpa TV ini diprakarsai YPMA dan Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH) dan didukung oleh berbagai institusi yang bersedia bergabung. Gerakan ini tidak bermaksud memusuhi TV tapi lebih membangun kepedulian agar semua pihak, terutama masyarakat dan orang tua, lebih peduli pada dampak tayangan TV bagi anak-anak secara menyeluruh.

Terkait ini, tentu kita masih ingat betul bagaimana dampak dari tayangan Smackdown di salah satu TV yang kemudian dikritik oleh masyarakat karena berdampak serius terhadap perilaku anak-anak. Bahkan, diberitakan perilaku anak-anak di sekolah banyak yang meniru adegan 'Smackdown' dan ada juga korban dari tindakan ala 'Smackdown' tersebut yang sampai meninggal. Ironis sekali.

Di balik argumen proklamasi sehari tanpa TV, merujuk penelitian di Amerika Serikat, negeri biang siaran televisi bahwa pada anak yang menghabiskan waktu tiga-empat jam di depan layar televisi, ditemukan sejumlah fakta: (1) mereka mati rasa terhadap ancaman kekerasan, (2) mereka suka menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, (3) mereka menirukan tindakan kekerasan yang tampak di televisi, dan (4) mereka selalu bisa mengidentifikasi diri sebagai pelaku atau korban kekerasan (Tajuk Republika, 22 November 2006).

Di balik itu semua, gencarnya tayangan TV yang dikonsumsi anak-anak jelas membuat khawatir masyarakat, terutama orang tua (Hafidz, 2006). Alasannya karena anak-anak adalah makhluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak-remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan kemampuan berpikir anak masih sederhana. Mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan TV itu sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana tayangan yang fiktif dan mana yang kisah nyata. Bahkan, kisah nyata pun bisa dan sah didramatisir oleh TV, lihat saja ragam tayangan yang seolah-olah reality show.

Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai - norma agama - kepribadian. Adegan kekerasan, kejahatan, dan konsumtif, termasuk perilaku seksual di televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak. Akibatnya, terjadi tudingan bahwa TV merusak moral dan perilaku anak-anak.

Tanggung jawab sosial
Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakikatnya merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia makhluk hidup. Sikap dan pola perilaku itu, menurut pandangan behavioristik, dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungannya. Oleh karena itu, interaksi melalui media, termasuk salah satunya TV menjadi sangat penting, terutama dikaitkan dengan sisi dampaknya.

Bahkan, kuatnya penetrasi informasi global menjadi wacana tentang urgensi keberadaan media sebagai mediator terhadap kebutuhan informasi publik. Artinya, media haruslah proporsional dan menjadi pencerdas bagi kehidupan.

Dalam suatu jajak pendapat yang dilakukan oleh BBC, Reuters, dan sebuah lembaga penelitian di Amerika, The Media Center, tentang kepercayaan dan isu media massa menyimpulkan bahwa keberadaan media sangat penting dalam kehidupan global kini. Jajak pendapat dijalankan oleh Yayasan Globescan, sebuah organisasi yang menaruh perhatian besar terhadap masalah media dan peningkatan kesadaran pencarian berita melalui internet. Temuan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa keberadaan TV menjadi perwakilan tentang nilai pentingnya informasi bagi kebutuhan publik. Jadi, alangkah sayangnya jika kemudian TV justru melunturkan kepercayaan publik dengan program tayangan yang dinilai banyak menyesatkan karena mengobral keburukan.

Oleh karena itu mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya adalah membangun jaringan penyiaran TV nasional yang bersifat edukatif tanpa harus melecehkan nurani anak-anak bangsa. Bukankah anak-anak adalah generasi penerus?

(-)

Tidak ada komentar: