Selasa, 28 April 2009

Menggugat Pendidikan Gratis

JC Tukiman Taruna

Rupanya Jawa Tengah menjadi satu-satunya pemerintahan provinsi yang ”berani” mengadakan perlawanan terhadap kebijakan pendidikan gratis.

Salah satu indikasi perlawanan itu ialah akan dipanggilnya Gubernur Jawa Tengah oleh Komisi X DPR terkait pernyataan Gubernur Jateng yang bernada tidak setuju terhadap kebijakan pendidikan (dan kesehatan) gratis. Alasannya, penggratisan ini akan membuat masyarakat kian bergantung dan dibodohi.

Pada tataran bawah, sebutlah tingkat kabupaten/kota sampai ke sekolah, ”pendidikan gratis” membawa dampak pada sejumlah persoalan. Pertama, kosakata dan implementasinya menimbulkan salah tafsir dan pertentangan pendapat. Di satu pihak gratis itu berarti tanpa ada pungutan apa pun, tetapi di pihak lain sering dikatakan gratis hanya untuk komponen tertentu.

Kedua, implementasi pendidikan gratis terbukti meresahkan sekolah-sekolah swasta karena sumber pendanaannya yang kian terbatas/tersumbat karena masyarakat sering tidak amat peduli terhadap perbedaan negeri dan swasta dalam pembiayaan.

Ketiga, kebijakan pendidikan gratis ternyata hanya menyangkut komponen biaya operasional, sedangkan biaya investasi dan biaya perseorangan (sesuai PP No 47/2008) tidak termasuk di dalamnya.

Keempat, berbeda dan terbatasnya kemampuan pendanaan kabupaten/kota untuk menunjang pendidikan gratis ini sehingga implementasi gratis di satu kabupaten berbeda dengan kabupaten lain.

Kelima, kebijakan pendidikan gratis telah begitu menyurutkan peran serta masyarakat. Dan tragisnya, termasuk segala bentuk iuran dihilangkan (termasuk iuran saat ada kematian warga sekolah).

Keenam—mungkin ini hanya terjadi di Jawa Tengah—terbukti subsidi pendidikan untuk 22.295 SD dan SMP di Jawa Tengah sudah menghabiskan dana Rp 11 triliun pada 2009.

Ketujuh, nuansa politis pendidikan gratis lebih mengemuka dibandingkan kandungan maksudnya. Contohnya, para siswa dari keluarga kaya tidak dipungut biaya apa pun karena pendidikan gratis dimaknai secara politis sebagai ”hasil perjuangan politis” yang harus dinikmati oleh siapa pun tanpa membedakan kaya miskin.

Jalan keluar

Kebijakan pendidikan gratis telah diputuskan, uang/pembiayaan telah disediakan, tetapi implementasi di tingkat bawah (sekolah dan masyarakat) menimbulkan banyak persoalan, seperti disebutkan di awal tulisan. Jalan keluar terbaik harus ditemukan/disepakati bersama dalam empat pokok pikiran substansial.

Satu, kosakata gratis sebaiknya diganti sesuai realitas yang terjadi, yaitu tidak dipungut biaya untuk komponen tertentu, sedang komponen lain tetap harus dibayar orangtua/masyarakat. Kosakata pengganti itu, misalnya pendidikan terjangkau atau pendidikan bersubsidi atau pendidikan murah bermutu. Penggantian kosakata ini amat penting mengingat dalam kata ”gratis” terkandung satu makna saja, yaitu tidak dipungut biaya.

Dua, tri-matra pendidikan, yaitu pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus terus dibuktikan dalam implementasi sehari-hari. Kebijakan pendidikan gratis secara drastis telah menurunkan peran serta masyarakat dan sekolah. Sementara itu, seolah-olah matra pemerintah kian kuat. Siapa pun pasti tidak bermaksud membuat kepincangan seperti ini. Semua pihak pasti ingin agar tri-matra pendidikan berkembang dan berperan optimal.

Tiga, sudah tiba saatnya analisis pembiayaan pendidikan berbasis subsidi silang. Artinya, pihak-pihak yang memang mampu (perusahaan, masyarakat, orangtua, dan lainnya) layaklah diminta untuk memberikan kontribusi besar/banyak ke pendidikan, sementara mereka yang tidak mampu harus disubsidi dari uang kontribusi mereka yang mampu. Dengan kata lain, dunia pendidikan kita harus semakin adil demi peningkatan mutu, adil di mata pemerintah, sekolah, dan masyarakat.

Empat, bagaimanapun kemampuan pemerintah itu terbatas dan keberdayaan masyarakat dapat ”menutup” keterbatasan itu sehingga pelaksanaan pendidikan sehari-hari di sekolah terjamin keberlangsungannya. Bukankah sekolah (pendidikan) selalu dihadapkan pada tantangan biaya investasi, operasional, dan perseorangan?

JC Tukiman Taruna Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah

Senin, 20 April 2009

Si Brilian di Negeri Merlion

Indira Permanasari

Imlek sudah lama berlalu. Tapi tulisan Gong Xi Fa Cai masih menempel di dinding kamar asrama Wahyu Saputra di Singapura.

”Biar selalu ingat keluarga di Medan,” kata Wahyu, mahasiswa asli Medan yang kini memasuki semester empat di program sarjana Nanyang Technological University (NTU) Jurusan Teknik Kimia dan Biomolekuler.

Sekalipun berotak encer, belajar di negeri orang tidak selalu mudah dilalui. Tahun pertama merupakan saat tersulit. Bahasa, lingkungan, budaya, dan kultur akademis semua berbeda dengan di Tanah Air.

Awalnya, Wahyu mengenal NTU dari kakaknya yang terlebih dahulu berkuliah di universitas itu. Keluarganya lantas mendorong Wahyu mengikuti jejak sang kakak.

Wahyu yang pernah mengikuti Olimpiade Matematika Tingkat Provinsi Sumatera Utara itu lolos seleksi. Bahkan ia pun lolos seleksi dan menerima beasiswa bergengsi CN Yang.

Beasiswa yang dinamai sesuai penerima Nobel Fisika tahun 1957, Chen Ning Yang, bertujuan meng-kader generasi muda periset.

Beasiswa lebih dari Rp 100 juta per tahun itu tanpa ikatan, tetapi sebagai penerima tuition grant atau semacam subsidi dari Pemerintah Singapura, Wahyu akan menjalani ”ikatan dinas” selama tiga tahun.

Mahasiswa lainnya, Pascal Gekko, memilih jadi mahasiswa National University of Singapore (NUS) Jurusan Teknik Elektro. Ia mengetahui tentang NUS dari kunjungan wakil universitas itu ke sekolahnya di SMAK 1 BPK Penabur. Biaya kuliah ditutupi dari tuition grant dan beasiswa Sembcorp yang totalnya mewajibkan dia untuk bekerja bagi perusahaan terdaftar Singapura selama enam tahun.

Kompetitif

Menemukan mahasiswa asal Indonesia berprestasi, sebut saja para peserta olimpiade keilmuan tingkat internasional, di universitas publik Singapura tidak terlalu susah. ”Di sini mengaku juara olimpiade kalau hanya tingkat kabupaten atau provinsi, malu,” ujar Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di NTU (PINTU) Budi Raharjo Santoso.

Para mahasiswa berpendapat, universitas-universitas di negara itu jauh lebih agresif dalam menawarkan kesempatan dan kemudahan belajar ketimbang universitas di negeri sendiri.

Selain mendapat beragam fasilitas, di Singapura, para mahasiswa tersebut belajar di tengah iklim yang dibangun sangat kompetitif. Di mata Director Office of Admissions National University of Singapore (NUS) R Rajaram, kompetisi menjadi suatu kewajaran. ”Di sini berkumpul mahasiswa internasional dari lebih dari 30 negara. Mereka biasanya pemuda-pemuda terbaik di negaranya,” ujarnya.

Kompetisi di kalangan mahasiswa juga terlihat dari penelitian yang mereka lakukan. Wahyu, misalnya, meneliti carbon nanotubes, sejenis material sangat menjanjikan. ”Material itu punya daya tahan seribu kali lebih kuat daripada besi, tetapi sepuluh kali lebih ringan dan pengantar listrik yang baik. Sudah diproduksi, tetapi masih skala kecil dan belum stabil,” ujarnya.

Sistem kompetisi itu pula yang rupanya mendorong David Hartono Widjaja bekerja ekstra keras. Di kalangan teman-temannya, tersiar kabar David menghasilkan temuan perangkat lunak komputer bernilai tinggi.

”Temuan ini dikhawatirkan berdampak ekonomi luas,” kata Iwan Piliang, Ketua Tim Verifikasi Kematian David Hartono. David diketahui tewas di kampusnya di Singapura pada 2 Maret 2009 dan hingga kini kematiannya masih penuh misteri.

Tak mau kalah

Salah seorang alumnus dari NUS yang kini bekerja di Singapura, Risyad, masih mengingat ungkapan khas di kalangan pelajar. ”Istilahnya, kiasu... kiasu.... Semacam ungkapan memperolok-olok yang artinya takut atau tidak mau kalah. Iklimnya memang semua tidak mau kalah,” ujar Risyad.

Sistem penilaian di universitas-universitas mendukung atmosfer tersebut. Di kalangan pelajar dikenal sistem kurva bel.

Nilai mereka ditentukan pula oleh kemampuan siswa-siswa lain yang mengikuti subyek tersebut. ”Kalau merasa mampu mengerjakan tugas dan ujian, tetapi ternyata anak-anak lain lebih bagus lagi, otomatis nilainya jeblok. Tidak ada pilihan lain, harus belajar semampu kita dan mengusahakan yang terbaik,” ujar Anthony Lie, mahasiswa NTU yang peraih medali perunggu di Olimpiade Sains Nasional Bidang Kimia tahun 2005.

Pesaing terberat biasanya mahasiswa asal Republik Rakyat China. Mereka belajar sangat keras dan sebagian besar penerima beasiswa yang indeks prestasi kumulatifnya tidak boleh kurang dari 3,5 dari 5. ”Itu kira-kira harus rata-rata B plus,” kata Budi.

Para pemuda Singapura sendiri, menurut sejumlah mahasiswa Indonesia, lebih nyantai. Ada yang berpendapat, para pemuda Singapura sebelumnya menjalani wajib militer atau tugas negara selama dua tahun dengan disiplin ketat sehingga di kampus mereka ingin menikmati masa-masa di perguruan tinggi.

Kompetisi dipertajam dengan adanya top lima persen yang disebut ”daftar dekan” atau dean list. Daftar mahasiswa dengan nilai-nilai tertinggi tersebut diumumkan terbuka. Pelajar Indonesia termasuk yang unjuk gigi terkait daftar itu. Pascal dan Wahyu, misalnya, termasuk dalam daftar dekan semester lalu. Indeks prestasi kumulatif Wahyu terakhir malah mencapai 5, yang merupakan angka sempurna dan bukan pertama kalinya dia masuk dalam daftar dekan.

Di tengah iklim penuh persaingan, kegiatan di luar akademis menjadi oase. Perhimpunan-perhimpunan mahasiswa Indonesia, misalnya, aktif mengadakan berbagai kegiatan. ”Biasanya kami olahraga bersama atau ngumpul-ngumpul makan, Indonesian dinner,” ujar Budi.

Pascal mengikuti berbagai kegiatan di asrama atau hall di tengah kesibukannya belajar guna mendapatkan suasana berbeda. Kamar mungil Pascal yang berantakan penuh tempelan stiker dan kertas warna-warni.

Di atas meja tergeletak pelat tugas elektro yang belum selesai dia kerjakan berdekatan dengan sebuah raket tenis, alat olahraga kesayangannya.

Tiba-tiba telepon selulernya berdering. Rupanya teman paduan suara Pascal menanyakan kostum yang akan mereka kenakan pada pertunjukan mendatang. Alangkah sibuknya anak-anak brilian di Negeri Merlion, Singapura....

Singapura Buru Siswa Brilian

Singapura, Kompas - Indonesia kurang memberikan perhatian kepada siswa-siswa brilian, termasuk para juara olimpiade internasional. Pemerintah hanya memberikan fasilitas masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes dan siswa bersangkutan dijanjikan akan diberikan beasiswa.

Singapura justru lebih agresif dengan memburu siswa-siswa brilian ke sejumlah sekolah di Indonesia lewat agennya yang tersebar di sejumlah kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Di Jakarta, siswa genius yang diincar antara lain yang bersekolah di SMAN 8, SMAN 28, SMAK 1 BPK Penabur, Santa Ursula, dan Kanisius.

Selain menawarkan kuliah di perguruan tinggi terkemuka di Singapura, siswa-siswa brilian juga dijanjikan fasilitas yang menggiurkan.

Selain beasiswa, siswa cerdas juga ditawari subsidi biaya kuliah (tuition grant) dari Pemerintah Singapura sebesar 15.000 dollar Singapura (sekitar Rp 112,5 juta per tahun) atau pinjaman bank tanpa agunan untuk biaya kuliah. Jika siswa mengambil pinjaman bank, cicilan pinjamannya dibayar setelah mereka bekerja.

Setidaknya 250-300 siswa brilian asal Indonesia setiap tahun berangkat ke Singapura untuk kuliah di perguruan tinggi top kelas dunia. Mereka kuliah di Nanyang Technological University, National University of Singapore, dan Singapore Management University.

Sekretaris I Bidang Informasi, Sosial, dan Budaya Kedutaan Besar Indonesia untuk Singapura GH Mulyana mengatakan, dari total pelajar dan mahasiswa Indonesia di Singapura sebanyak 18.341 orang, sekitar 5.448 orang di antaranya sedang mengambil S-1, S-2, dan S-3 di berbagai program studi.

Ditawari beasiswa

Sejumlah siswa peraih olimpiade internasional di Tanah Air mengaku didatangi perwakilan dari Nanyang Technological University sejak 2008. Perguruan tinggi tersebut menawarkan bebas tes masuk, beasiswa pendidikan, dan ikatan kerja selama tiga tahun di perusahaan Singapura.

Adapun dari Pemerintah Indonesia, mereka baru mendapat pemberitahuan dari Departemen Pendidikan Nasional pada awal 2009 untuk mengirimkan data dan pilihan perguruan tinggi yang diinginkan.

”Baru dibilang ada fasilitas bebas tes masuk PTN, tapi beasiswa masih belum tahu,” kata seorang siswa juara olimpiade tingkat Asia dan internasional.

Peserta Olimpiade Kimia Internasional 2006, Adhi Kurnianto, memutuskan belajar di Singapura setelah tim dari Nanyang Technological University datang dan melakukan presentasi di sekolah lamanya di SMAK 1 BPK Penabur Jakarta.

Wahyu Saputra dari SMA Sutomo Medan, yang pernah mengikuti Olimpiade Matematika Tingkat Provinsi Sumatera Utara, belajar Kimia dan Biomolekuler di Nanyang Technological University dengan tuition grant.

Pascal Gekko, peraih medali emas bidang komputer SMA pada Olimpiade Sains Nasional, memutuskan untuk masuk National University of Singapore. Ia mengatakan, universitas-universitas di Singapura jauh lebih agresif dalam menawarkan kesempatan kepada siswa berprestasi ketimbang perguruan tinggi negeri di Tanah Air.

Seleksi sangat ketat

Untuk kuliah di Singapura, ketiga perguruan tinggi tersebut melakukan seleksi sangat ketat. ”Universitas kami hanya menerima mahasiswa terbaik,” kata Director Office of Admissions National University of Singapore R Rajaram.

Universitas yang masuk peringkat ke-30 dunia dalam pemeringkatan Times Higher Education 2008 tersebut

menerima sekitar 6.500 mahasiswa baru setiap tahun, dengan 20 persen di antaranya mahasiswa internasional.

Mahasiswa baru asal Indonesia berjumlah 80-100 orang per tahun. Menurut Rajaram, pelajar dari Indonesia termasuk populasi terbesar setelah China dan Malaysia.

Di Nanyang Technological University, yang termasuk peringkat ke-77 dalam daftar Times Higher Education 2008, setiap tahun ada 100-150 mahasiswa baru asal Indonesia.

”Seleksi biasanya dilakukan di sejumlah kota di Indonesia,” kata Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Nanyang Technological University Budi Raharjo Santoso.

Singapore Management University juga menerima banyak mahasiswa asal Indonesia. ”Calon mahasiswa baru diseleksi dan diwawancara,” kata Abel Sim, Assistant Director Office of Undergraduate Admissions Singapore Management University.

Jika lolos seleksi, menurut Rajaram, calon mahasiswa asing semuanya ditawari tuition grant dari Pemerintah Singapura yang besarannya sekitar 15.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 112,5 juta per tahun.

”Sebagai balasan, mereka diharapkan bekerja untuk perusahaan yang terdaftar di Singapura atau perusahaan Singapura di seluruh dunia. Yang diminta bukan uang ganti rugi, tetapi kontribusi terhadap pembangunan di Singapura,” ujarnya.

Sisa biaya yang harus ditanggung mahasiswa internasional sekitar 9.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 67,5 juta. Itu pun mahasiswa tidak perlu bingung. Mereka dapat mengajukan tuition loan atau pinjaman ke bank yang juga berlokasi di kampus.

Pinjaman tidak dikenai bunga selama masih berkuliah. Setelah lulus, mereka masih diberikan waktu enam bulan untuk mencari pekerjaan dan setelah itu baru bunga pinjaman dihitung. Waktu pembayaran pinjaman bisa mencapai 20 tahun.

”Guarantor-nya tidak perlu orangtua atau saudara. Yang penting kenal. Mudah sekali,” kata seorang mahasiswa asal Indonesia yang mengambil skema tuition grant dan tuition loan.

Aksi Singapura merekrut mahasiswa brilian bukan hal baru. Mengutip artikel ”Singapore’s Failing Bid for Brainpower” yang dipublikasi Far Eastern Economic Review terbitan Oktober 2007, Singapura menargetkan merekrut 150.000 mahasiswa asing hingga tahun 2015. Ambisi itu bagian dari cepatnya pertumbuhan globalisasi pendidikan.

Tri Turtury Meswary, Assistant Manager Education Services Eastern Indonesia-International Operation, mengatakan, tren melanjutkan pendidikan strata satu ke Singapura meningkat 10-15 persen setiap tahun.

Direktur Pembinaan SMA Departemen Pendidikan Nasional Sungkowo Mudjiamanu, Minggu (19/4), mengatakan, pemerintah sudah berupaya memberikan apresiasi terhadap siswa cerdas berprestasi.

Anak yang berprestasi dalam arti memperoleh medali emas, perak, dan perunggu, di berbagai olimpiade keilmuan di level nasional dan masih duduk di bangku SMA diberikan beasiswa Rp 3,6 juta per tahun mulai tahun 2009. ”Angka itu sudah jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya Rp 65.000 per bulan,” ujarnya.

Pengamat pendidikan dan pengajar di Universitas Negeri Jakarta, Lodi Paat, mengatakan, siswa tidak bisa disalahkan saat akan belajar dan bekerja di Singapura dengan fasilitas Pemerintah Singapura.

”Yang salah Pemerintah Indonesia karena tidak bisa memberikan fasilitas pendidikan dan pekerjaan yang layak untuk mereka,” kata Lodi Paat.

Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina Hutomo Dananjaya mengatakan, pemerintah sering mengeluh kualitas sumber daya rendah, tetapi justru anak-anak genius ”dibajak” negara lain. (INE)

Selasa, 07 April 2009

Pendidikan Nasional Tak Dipercaya


Sekolah Bertaraf Internasional Mendapat Kucuran Dana Besar
Selasa, 7 April 2009 | 03:29 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah tidak percaya bahwa sistem pendidikan nasional bisa bersaing secara global dengan negara lain. Hal itu dibuktikan sendiri pemerintah dengan kebijakannya yang justru mendorong bermunculannya sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang didukung biaya besarA

Pemerintah seharusnya justru memperkuat sistem pendidikan nasional yang mampu membuat siswa senang belajar, percaya diri untuk bersaing, cerdas, dan humanis. Bukan sebaliknya, menciptakan sistem pendidikan yang berkelas-kelas yang akan menciptakan bom sosial di kemudian hari.

Demikian persoalan yang mengemuka dalam diskusi publik bertajuk ”Membedah Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)” yang dilaksanakan Education Forum di Jakarta, Senin (6/4).

Tampil sebagai pembicara adalah Direktur SMA Kolese Kanisius Jakarta Rm E Baskoro Poedjinoegroho, pengamat pendidikan HAR Tilaar, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya, dan M Fajri Siregar, alumnus Universitas Indonesia.

”Bukan kita menutup diri terhadap apa yang berbau asing atau internasional, tetapi SBI ciptaan pemerintah saat ini lebih sebagai pelarian karena tidak bisa membuat sistem pendidikan nasional yang menghasilkan peserta didik yang siap menghadapi tantangan zaman. SBI di sekolah negeri itu jadi tertutup hanya untuk orang pintar dan berduit,” kata Baskoro.

Menurut Baskoro, yang ada di Indonesia saat ini sebenarnya masih kelas bertaraf internasional. Itu pun dengan pengajar yang fokus untuk menerjemahkan bahan ajar ke dalam bahasa Inggris. SBI umumnya menggunakan kurikulum internasional Cambridge.

HAR Tilaar mengatakan, yang mendasar justru perlu diciptakan sistem pendidikan nasional yang baik, yang bersumber dari kekuatan yang dimiliki bangsa ini.

Sikap inferior

Sementara itu, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina menilai fokus pemerintah untuk mengembangkan SBI menunjukkan sikap inferior bangsa ini. Padahal, pendidikan berfungsi untuk mengembangkan budaya dan martabat bangsa dengan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Fajri Siregar, alumnus Sosiologi UI, mengatakan, yang juga berkembang adalah sekolah nasional plus, yang selain memakai kurikulum nasional juga mengadopsi kurikulum internasional. Bahkan, pengajarnya lebih banyak warga negara asing. (ELN)

Jumat, 03 April 2009

Negara Harus Menanggung Biaya Pendidikan

Jakarta, Kompas - Persidangan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang kontroversial dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memasuki acara pemeriksaan perbaikan permohonan, Kamis (2/4). Pemeriksaan yang diketuai Muhammad Alim itu meliputi dua perkara yang diajukan kelompok masyarakat dan perorangan.

Kelompok Masyarakat yang terdiri atas orangtua, mahasiswa, dan pemerhati pendidikan mengajukan uji materi untuk 12 norma dalam UU Sisdiknas dan 21 norma dalam UU BHP. Adapun tiga mahasiswa secara perorangan dengan bantuan tim kuasa hukum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) mengajukan hak uji pasal untuk tiga pasal dalam UU BHP.

M Shaleh, kuasa hukum PB PMII, mengatakan, pihaknya yakin jika UU BHP sebagai upaya pelepasan tanggung jawab pembiayaan pendidikan oleh negara. Selain itu, UU BHP tersebut juga bersifat diskriminatif, terutama terhadap masyarakat dari kalangan tidak mampu.

Gatot Goei, kuasa hukum dari Tim Advokasi Masyarakat untuk Mengembalikan Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan, mengatakan, uji materi terhadap UU Sisdiknas yang diajukan terutama dalam pasal mengenai pendanaan pendidikan yang merestui pungutan dari peserta didik.

M Arsyad Sanusi, hakim Mahkamah Konstitusi, menyarankan pemohon yang meminta uji materi terhadap UU Sisdiknas untuk bisa mencermati putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah ada. Selain itu, pemohon yang terdiri atas kelompok masyarakat diminta untuk bisa menyederhanakan pasal-pasal yang dinilai sama dalam permohonan.

Dalam sidang itu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menerima bukti-bukti tertulis yang diajukan pemohon dalam dua perkara. Peluang untuk memperkuat bukti dibuka selama sidang uji materi berjalan.(ELN)