Jumat, 29 Mei 2009

Pendidikan dan Peran Pemda


Oleh: Aan Rohanah
(Anggota DPR RI dari Fraksi PKS)

Pengalaman pengelolaan pendidikan nasional yang sentralistik telah menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain di dunia. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan warga negaranya sebagaimana amanat UUD 1945 pun akhirnya masih mengalami banyak kendala dan hambatan.

Ini menandakan bahwa pembangunan pendidikan harus menjadi prioritas utama di tingkat pemerintah daerah (pemda) untuk kemajuan bangsa. Sehingga, upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang cerdas, adil, aman, dan sejahtera bisa dirasakan secara merata.

Karena, pada saat ini, ada yang menarik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pengelolaan pendidikan tidak hanya menjadi dominasi penuh pemerintah pusat, tetapi juga semakin memperbesar peran pemerintah daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Kehadiran UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah konstelasi kebijakan pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik.

Sektor pendidikan, termasuk bagian dari sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pasal 13 ayat (1) huruf f UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan, "Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial." Sedangkan, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f menjelaskan, "Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: penyelenggaraan pendidikan."

Ini berarti telah terjadi demokratisasi pengelolaan pendidikan. Dan, paradigma lama yang menggunakan sistem sentralisasi sudah tidak berlaku lagi. Di sinilah pemerintah daerah dituntut lebih optimal dan serius lagi dalam menjalankan pembangunan di sektor pendidikan.

Peran pemda
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada beberapa tanggung jawab yang harus diperankan oleh pemerintah daerah terkait dengan kebijakan dalam memajukan pendidikan di tingkat daerah. Pertama, penyelenggaraan wajib belajar gratis.

Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab atas penuntasan program wajib belajar untuk seluruh warga negara Indonesia (Pasal 1 butir (18)). Khusus pada jenjang pendidikan dasar, penyelenggaraannya dilakukan dengan tanpa memungut biaya alias gratis (Pasal 34 ayat (2) dan (3)).

Kedua, memberikan layanan, kemudahan, dan jaminan serta pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan. (Pasal 11 ayat 1 UU Sisdiknas menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10).

Ketiga, memfasilitasi adanya pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas serta melakukan pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan. Dalam hal ini, pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu (Pasal 41 ayat (3)).

Tentu saja, hal ini berlaku untuk seluruh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan tanpa diskriminasi. Bahkan, dalam Pasal 44 ayat (1) dan (3) UU Sisdiknas ditegaskan, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah." Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Keempat, menyediakan pendanaan/anggaran pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 ayat (2)). Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 46 ayat (1) dan (2)).

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 47 ayat (2)).
Kelima, melakukan evaluasi, melakukan pengawasan, dan menentukan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pada Pasal 59 ayat (1), dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Sementara itu, Pasal 66 ayat (1) menjelaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sedangkan, dalam Pasal 16, ditegaskan bahwa jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Itulah beberapa persoalan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sampai saat ini, kita belum merasakan perubahan signifikan dalam kebijakan dan praktik pendidikan pada tataran lokal (daerah). Karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk bisa segera mempercepat pelaksanaan pendidikan sesuai amanat konstitusi tersebut. Sehingga, kemajuan pendidikan di daerah dapat direalisasikan dengan nyata.

(-)

Senin, 18 Mei 2009

Indonesia Negara Tersenyum Tertinggi di Dunia



Indonesia Negara Tersenyum Tertinggi di Dunia

LONDON -- Beberapa media massa Swedia selama beberapa pekan terakhir ini menuliskan laporannya bahwa Indonesia berada di tingkat pertama dalam urutan negara dengan masyarakatnya tersenyum paling tinggi di dunia dibandingkan dengan negara lainnya. Mengutip laporannya The Smiling Report 2009 yang dilakukan salah satu Provider Misteri Belanja yang berada di Swedia justru menempatkan masyarakat Swedia berada di urutan ke 24, ujar Sekretaris Satu KBRI Stockholm ,Swedia Dody Kusumonegoro kepada koresponden Antara London, Minggu.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan tahun 2008 yang menyangkut lebih dari 2,5 juta pertanyaan mengenai Senyum (Smile) dan Salam (Add-Greeting) pada penjualan di 66 negara, Swedia menempatkan Indonesia pada bagian atas daftar. Media Swedia melaporkan Indonesia sebagai negara yang paling tersenyum sebagai hasil dari pelanggan layanan data dari evaluasi yang dilakukan di seluruh spektrum dan pameran oleh AB Bisnis di seluruh dunia, di Swedia.

Dalam laporan itu disebutkan Indonesia sebagai negara tertinggi tersenyum dengan 98 persen. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan ucapan yang paling tinggi yaitu 98 persen.Sementara itu Swedia berada di nomor 24 pada daftar untuk kategori senyum dengan angka 77 persen dan urutan 31 untuk ucapan salam dengan 81 persen.
Industri yang banyak senyum adalah di bidang kesehatan dan kecantikan perawatan serta transportasi dengan 86 persen dan nilai terendah berada di layanan bisnis B2B dengan hanya 52 persen.

Disebutkan bahwa dalam jajak pendapat itu disebutkan bahwa ucapan Salam tahun 2008 dan 2007 tercatat 81 persen dibandingkan dengan 88 persen pada 2004. Ucapan salam tertinggi selain Indonesia juga menempatkan Hong Kong dengan 98 persen, sementara yang terendah adalah Maroko dengan 48 persen.

Ucapan yang terbaik ditemukan pada layanan di pemerintahan dengan 94 persen sementara di kalangan bisnis (B2) hanya 70 persen.Dalam layanan penjualan skor tertinggi dicatat oleh Pakistan dengan 82 persen dan terendah adalah Finlandia dengan tiga persen. Dalam pelayanan B2B memiliki nilai tertinggi mencapai 65 persen sementara dalam segi kenyamanan tercatat sangat rendah dengan 40 persen.

Dalam laporan itu terdapat kesenjangan yang besar antara antara benua Australia memiliki skor tertinggi dari semua benua, dengan Senyum sebesar 89 persen dan Salam 92 persen sementara Afrika disebutkan terendah dengan 61 persen Senyum dan 51 persen Salam . ant/kpo

Selasa, 05 Mei 2009

Sekolah Gratis



Oleh Zaim Uchrowi

Hari-hari ini 'Bu Muslimah' sering muncul di TV. Pemeran guru hebat di film Laskar Pelangi, Cut Mini, harus memainkan peran serupa di iklan promo sekolah gratis. Tugasnya, mulai menyanyi dam ... dam ... dam ... dam ..., sampai menasihati sopir angkot. ''Biar bapaknya sopir angkot, anaknya bisa jadi pilot,'' katanya.

Ringkasnya, anak harus sekolah. Itu jalan agar masa depan lebih baik. Tak ada alasan anak tak sekolah. 'Sekolah Gratis!'

Tapi, apakah sekolah akan benar-benar gratis? Para pengelola sekolah negeri dapat dengan tegas mengatakan ''ya''.

Uang sekolah atau biasa disebut 'SPP' tak akan dipungut. Negara yang akan menanggungnya. Tapi, apakah pendidikan sekolah benar-benar akan bebas biaya? Apakah orang tua akan benar-benar tak perlu memikirkan biaya pendidikan anaknya? Bukan hanya orang tua siswa, tapi semua, akan menggelengkan kepala.

Tak setiap saat promo macam itu tepat dimunculkan. Tak setiap saat tahun ajaran baru. Tak setiap saat pula pemilihan umum-waktu terbaik untuk menyampaikan apa yang kita anggap sebagai keberhasilan. Maka, gencar iklan 'sekolah gratis' sekarang tentu hasil kajian matang. Sekaranglah saat tepat memunculkan promo itu. 'Bu Muslimah'-lah sosok yang tepat untuk memunculkannya.

Seberapa gratis sekolah nanti masih dapat diperdebatkan. Tapi, keberanian Pak Menteri Bambang Sudibyo mengampanyekan 'sekolah gratis' merupakan hal penting. Pertama, untuk membangkitkan rasa percaya diri semua bahwa 'sekolah gratis' sangat mungkin dapat diwujudkan. Kedua, untuk menunjukkan bahwa arah kebijakan pendidikan saat ini memang ke sana.

Keyakinan publik bahwa sekolah memang benar-benar bisa gratis memang masih harus ditumbuhkan. Ketidakpercayaan publik tentang hal itu memang masih kental. Hal ini dapat dimengerti. Dalam seperempat abad terakhir, pendidikan memang seperti bergeser posisi. Dari format layanan sosial menjadi format industri. Dalam format industri, manfaat finansial menjadi salah satu ukuran terpenting. Kekhawatiran untuk bisa benar-benar gratis itu sebenarnya tak perlu lagi. Keputusan politik agar alokasi biaya pendidikan 20 persen dari anggaran negara semestinya dapat mengatasi itu. Yang perlu dikawal ketat justru kemampuan teknis negara mewujudkan arah itu secara nyata. Biaya pendidikan bukan semata 'SPP Bulanan'. Di era kompetisi sekarang, semakin banyak hal yang dimasukkan sebagai komponen pendidikan yang tentu perlu biaya. Beragam kegiatan ekstrakurikuler, beragam bentuk wisata 'studi lapangan', hingga pentas seni maupun pembuatan 'buku angkatan' pun telah menjadi semacam kegiatan wajib yang makan biaya.

Bagi sekolah negeri hal itu semestinya menjadi persoalan. Apalagi, bagi sekolah negeri favorit di perkotaan. Tapi, bagaimana sekolah swasta biasa di kalangan miskin urban serta perdesaan? Mungkinkah negara sungguh-sungguh akan membantu mengembangkan dan membiayai sekolah-sekolah itu? Di antara sekolah-sekolah yang demikian adalah ribuan madrasah di seluruh Nusantara. Departemen Agama, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, telah berusaha mengangkat madrasah. Namun madrasah, apalagi swasta, masih saja merupakan 'anak tiri' negara.

Banyak hal tentu yang harus dikerjakan untuk dapat mewujudkan pendidikan bermutu yang benar-benar gratis. Lebih banyak lagi yang perlu dilakukan buat membawa semua anak usia sekolah benar-benar di bangku sekolah. Bagaimana membawa anak-anak jalanan yang sudah terbiasa menikmati uang ke sekolah? Juga, anak-anak wilayah terpencil yang harus segera membantu orang tua di ladang. Masih perlu waktu bagi seluruh anak negeri, serta orang tuanya, untuk berdam ... dam ... dam ... dam bersama 'Bu Muslimah'. Tapi, setidaknya kita punya arah jelas: Wujudkan segera sekolah berkualitas yang 100 persen gratis bagi semua anak Indonesia!

(-)

Senin, 04 Mei 2009

REFLEKSI A MALIK FADJAR


Persoalan Bangsa Tak Sebatas Sekolah Gratis
Senin, 4 Mei 2009 | 04:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Persoalan bangsa ini tak hanya sekolah gratis, tetapi kenapa belakangan tema-tema yang muncul lebih gencar soal sekolah gratis. Pasca-Pilpres 2009, jangan hanya bicara soal anggaran pendidikan yang 20 persen, tetapi bagaimana memosisikan pendidikan sebagai bagian penting dari jalan membangun masa depan.

Hal itu diungkapkan mantan Menteri Agama dan mantan Menteri Pendidikan Nasional A Malik Fadjar, Sabtu (2/5) malam di Auditorium PP Muhammadiyah, Jakarta, dalam acara Refleksi Pendidikan dan Kebangsaan. Acara itu digelar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memperingati 70 tahun usia dan 50 tahun kiprah A Malik Fadjar di bidang pendidikan.

Malik Fadjar dinilai sebagai tokoh langka bangsa ini. Dia memulai kiprahnya di pendidikan dari menjadi guru sekolah rakyat di daerah terpencil di Sumbawa Besar, tahun 1959, lalu menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel Malang hingga menjadi rektor di dua universitas sekaligus, UMM dan Universitas Muhammadiyah Solo (UMS). Dia juga seorang birokrat di Departemen Agama dan menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong. Kini, di usia 70 tahun, ia tetap aktif sebagai pendidik.

Malik Fadjar menjelaskan, pendidikan adalah investasi sosial, investasi sumber daya manusia, dan modal manusia menghadapi masa depan dan mampu mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan manusia semakin beradab.

Sejumlah tokoh memberikan refleksi tentang Malik Fadjar, seperti sejarawan Taufik Abdullah, pendidik dan ahli pendidikan Arief Rahman Hakim, Buya Syafi’i Ma’arif, mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro, pakar pendidikan HAR Tilaar, Ketua Program Pascasarjana UIN Jakarta Azyumardi Azra, Dirjen Dikdasmen Depdiknas Suyanto, Pimpinan Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Komaruddin Hidayat. Sjafi’i Ma’arif mengatakan, Malik Fadjar adalah tokoh yang merajut kebangsaan. HAR Tilaar menilai Malik sebagai humanis dan nasionalis tulen.

Pada acara itu juga diluncurkan empat buku mengenai Malik Fadjar. (NAL)

Jumat, 01 Mei 2009

Waspadai Temanmu

A Setyo Wibowo

Pertemanan kombinatif para politisi selalu mengagetkan meski tidak membuat kita terkejut. Rasanya déjà vu, sudah pernah melihatnya.

Senyum mediatik Jusuf Kalla dengan Susilo Bambang Yudhoyono, atau kini dengan Taufik Kiemas, hanya meneruskan tradisi pertemanan ajaib antarbeberapa aktivis mahasiswa 74-98 dengan orang- orang yang pernah memenjarakannya. Pertemanan politis yang irasional ini biasanya dijustifikasi dengan argumen, dalam politik tidak ada teman abadi kecuali kepentingan kekuasaan itu sendiri.

Sinisme ini sejalur dengan ungkapan yang sering diasalkan pada Voltaire, Mon dieu, gardez-moi de mes amis. Quant à mes ennemis, je m'en charge (Tuhanku, lindungilah aku dari teman-temanku. Kalau musuh-musuhku, aku bisa mengatasinya sendiri). Bagi Voltaire, kita harus waspada dan sinis bukan kepada musuh yang jelas bisa dipetakan, tetapi justru kepada orang yang mengaku-aku teman.

Kebaikan relatif

Sebaliknya, Plato (abad ke-4 SM), tanpa sinisme menyakitkan, memberikan inspirasi jernih tentang model pertemanan dalam bukunya, Lysis. Pertemanan (philia) selalu dilandasi kepentingan yang dianggap berguna bagi kedua pihak yang terlibat. Dan, sejauh dianggap berguna dan terbaik untuk saat ini, pertemanan dilandaskan pada semacam kebaikan (to agathon, goodness). Maka, di satu sisi ada macam-macam kebaikan sesuai tingkat persepsi mereka yang berteman dan di sisi lain yang namanya teman selalu relatif.

Pada tingkat paling bawah, orang melakukan relasi pertemanan karena sama- sama ingin memuaskan nafsu makan, minum, dan seks mereka (epithumia) serta mendapatkan kenikmatan sesaat. Di lokalisasi, pertemanan dua orang dijalin secara temporer demi kesenangan akan seks dan uang yang de facto menjadi kepentingan bersama, artinya berguna dan terbaik saat itu bagi keduanya.

Bukan hanya di remang-remang tempat melacur, di bawah sorot terang benderang kamera pun, kita bisa menyaksikan relasi pertemanan politik antardua pihak yang mirip. Mereka bergonta-ganti pasangan dengan mudah. Yang satu butuh survival, sementara yang lain butuh kenikmatan menguasai lewat uang. Wajar jika lalu muncul istilah pelacuran politik. Artinya, di tingkat ini, kombinasi pertemanan hanya disetir epithumia. Dan sejauh kepentingan/kegunaan/kebaikan hanya di tingkat nafsu, landasan pertemanan ini bersifat relatif. Semua tergantung dari derajat pemuasan nafsu. Bila ada pihak yang tidak senang dan tidak puas, ganti pasangan adalah solusi logis. Sebuah logika yang jauh dari bimbingan budi jernih. Artinya, tidak rasional karena kebaikan dalam arti ini benar-benar tidak pernah baik. Kebaikan dalam arti sekadar memenuhi nafsu survival dengan sendirinya kalah luhur dari kebaikan, misalnya dalam arti pemerjuangan gengsi nasional.

Pada tingkat tengah, kita menyaksikan politisi yang berteman dengan alasan ingin memperjuangkan nasib rakyat dan membesarkan nama jaya Indonesia. Pertemanan tidak lagi dilandaskan pada pemuasan nafsu survival, tetapi demi ambisi dan gengsi nasional. Bagi mereka, kepentingan politis bukan lagi demi menjarah kekayaan negeri. Mereka menemukan, apa yang paling berguna dan terbaik saat ini adalah memberikan rasa bangga. Dengan demikian, kebaikan bukan lagi soal harta atau seks, tetapi harga diri (thumos). Demi memenuhi kenikmatan memiliki kebanggaan nasional, mereka akan mencari teman atau partai yang sama-sama memperjuangkan gengsi harga diri.

Namun, kebaikan—dalam arti pemenuhan gengsi yang menjadi landasan berteman—bersifat relatif. Hasrat menggebu tidak bisa diterapkan untuk hidup bermasyarakat. Alih-alih berpikir jernih, kebaikan dalam arti harga diri justru mengancam akal sehat. Kita sudah mengalami betapa politik nasional tahun 1960-an de facto dibayar rakyat dengan kelaparan.

Pada kedua tingkat pertemanan itu, kebaikan dalam arti pemuasan nafsu survival dan gengsi bersifat relatif. Mencari teman sekadar untuk memuaskan makan- minum-seks dan gengsi bersifat irasional. Dan, karena memelintir akal sehat serta budi jernih, wajar jika akal-akalan selalu ditemukan untuk membenarkan pasangan yang digonta-ganti.

Kebaikan sejati

Platon mengajak merenungi tingkat- tingkat pertemanan dan kepentingan (kebaikan) relatif itu untuk dilampaui. Sejauh bisa dimurnikan, Platon akan menunjukkan, ada kebaikan sejati yang rasional dan mendekatkan kita pada praktik hidup yang tenang, menyejukkan, dan menjanjikan kebahagiaan durable.

Itu mengandaikan kita berani berpikir bahwa berteman dalam politik tidak bisa hanya dilandaskan pada soal uang atau harga diri. Sejauh bisa, pertemanan dibangun demi komitmen nilai. Artinya, memberantas korupsi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menegakkan pluralisme konstitutif Pancasila, dihayati bukan lagi sebagai lips service untuk membenarkan motif-motif epithumia dan thumos, tetapi benar-benar dijadikan kriteria dan value dalam mencari teman berpolitik.

Dengan prinsip ini, kita bisa memahami dengan budi jernih mengapa teman akhirnya bersifat relatif. Bila komitmen nilai jelas, siapa pun teman Anda relatif. Kalau ia memeluk nilai yang sama luhurnya, kita akan berteman dengannya. Untuk sampai ke situ, kita harus tajam me-wiweka (discern) kebaikan apa yang sedang diperjuangkan: apakah kebaikan dalam arti nafsu dan gengsi irasional atau kebaikan sejati yang berbudi. Semoga perburuan teman politis tidak mengoyak kedamaian rakyat yang sudah senang dan tenang dengan Pemilu 2009 yang lancar dan kini memerlukan hidup normal.

A Setyo Wibowo Pengajar STF Driyarkara, Jakarta

Sekolah Gratis



Oleh Zaim Uchrowi

Hari-hari ini 'Bu Muslimah' sering muncul di TV. Pemeran guru hebat di film Laskar Pelangi, Cut Mini, harus memainkan peran serupa di iklan promo sekolah gratis. Tugasnya, mulai menyanyi dam ... dam ... dam ... dam ..., sampai menasihati sopir angkot. ''Biar bapaknya sopir angkot, anaknya bisa jadi pilot,'' katanya.

Ringkasnya, anak harus sekolah. Itu jalan agar masa depan lebih baik. Tak ada alasan anak tak sekolah. 'Sekolah Gratis!'

Tapi, apakah sekolah akan benar-benar gratis? Para pengelola sekolah negeri dapat dengan tegas mengatakan ''ya''.

Uang sekolah atau biasa disebut 'SPP' tak akan dipungut. Negara yang akan menanggungnya. Tapi, apakah pendidikan sekolah benar-benar akan bebas biaya? Apakah orang tua akan benar-benar tak perlu memikirkan biaya pendidikan anaknya? Bukan hanya orang tua siswa, tapi semua, akan menggelengkan kepala.

Tak setiap saat promo macam itu tepat dimunculkan. Tak setiap saat tahun ajaran baru. Tak setiap saat pula pemilihan umum-waktu terbaik untuk menyampaikan apa yang kita anggap sebagai keberhasilan. Maka, gencar iklan 'sekolah gratis' sekarang tentu hasil kajian matang. Sekaranglah saat tepat memunculkan promo itu. 'Bu Muslimah'-lah sosok yang tepat untuk memunculkannya.

Seberapa gratis sekolah nanti masih dapat diperdebatkan. Tapi, keberanian Pak Menteri Bambang Sudibyo mengampanyekan 'sekolah gratis' merupakan hal penting. Pertama, untuk membangkitkan rasa percaya diri semua bahwa 'sekolah gratis' sangat mungkin dapat diwujudkan. Kedua, untuk menunjukkan bahwa arah kebijakan pendidikan saat ini memang ke sana.

Keyakinan publik bahwa sekolah memang benar-benar bisa gratis memang masih harus ditumbuhkan. Ketidakpercayaan publik tentang hal itu memang masih kental. Hal ini dapat dimengerti. Dalam seperempat abad terakhir, pendidikan memang seperti bergeser posisi. Dari format layanan sosial menjadi format industri. Dalam format industri, manfaat finansial menjadi salah satu ukuran terpenting. Kekhawatiran untuk bisa benar-benar gratis itu sebenarnya tak perlu lagi. Keputusan politik agar alokasi biaya pendidikan 20 persen dari anggaran negara semestinya dapat mengatasi itu. Yang perlu dikawal ketat justru kemampuan teknis negara mewujudkan arah itu secara nyata. Biaya pendidikan bukan semata 'SPP Bulanan'. Di era kompetisi sekarang, semakin banyak hal yang dimasukkan sebagai komponen pendidikan yang tentu perlu biaya. Beragam kegiatan ekstrakurikuler, beragam bentuk wisata 'studi lapangan', hingga pentas seni maupun pembuatan 'buku angkatan' pun telah menjadi semacam kegiatan wajib yang makan biaya.

Bagi sekolah negeri hal itu semestinya menjadi persoalan. Apalagi, bagi sekolah negeri favorit di perkotaan. Tapi, bagaimana sekolah swasta biasa di kalangan miskin urban serta perdesaan? Mungkinkah negara sungguh-sungguh akan membantu mengembangkan dan membiayai sekolah-sekolah itu? Di antara sekolah-sekolah yang demikian adalah ribuan madrasah di seluruh Nusantara. Departemen Agama, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, telah berusaha mengangkat madrasah. Namun madrasah, apalagi swasta, masih saja merupakan 'anak tiri' negara.

Banyak hal tentu yang harus dikerjakan untuk dapat mewujudkan pendidikan bermutu yang benar-benar gratis. Lebih banyak lagi yang perlu dilakukan buat membawa semua anak usia sekolah benar-benar di bangku sekolah. Bagaimana membawa anak-anak jalanan yang sudah terbiasa menikmati uang ke sekolah? Juga, anak-anak wilayah terpencil yang harus segera membantu orang tua di ladang. Masih perlu waktu bagi seluruh anak negeri, serta orang tuanya, untuk berdam ... dam ... dam ... dam bersama 'Bu Muslimah'. Tapi, setidaknya kita punya arah jelas: Wujudkan segera sekolah berkualitas yang 100 persen gratis bagi semua anak Indonesia!

(-)