Jumat, 27 Februari 2009

Anggaran Pendidikan, Alokasi dan Korupsi


Masalah utama yang mempengaruhi
pendidikan nasional adalah korupsi.
Jum'at, 13 Februari 2009, 08:24 WIB


Ade Irawan (antikorupsi.org)

Dalam pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pada tahun anggaran 2009 pemerintah akan memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, jumlahnya dapat mencapai Rp 224 triliun.

Data menunjukan, dari alokasi anggaran pendidikan senilai Rp 224.4 triliun itu, sebesar Rp 8,5 triliun digunakan untuk membayar gaji pendidik di Depdiknas, Departemen Agama dan Dana Alokasi Umum (DAU). Sisanya, sebanyak Rp 134,8 triliun dibagi-bagi yaitu, untuk anggaran pendidikan disemua kementerian dan lembaga Rp 70.5 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan Rp 8,01 triliun, DAU pendidikan non gaji Rp 7,3 triliun, dana otonomi khusus untuk pendidikan Rp 1,8 triliun dan dana bagi hasil (DBH) untuk pendidikan Rp 982,9 miliar.

Dengan demikian, walau ada tambahan anggaran untuk sektor pendidikan, jumlah riil-nya tidak sebesar yang digembar-gemborkan pemerintah. Sebab, dari sisi porsi, sebagian besar alokasi 20 persen berasal dari klaim beberapa kegiatan yang telah dianggarkan sebelumnya, seperti pembayaran gaji pendidik dan kegiatan pendidikan kedinasan di departemen atau beberapa lembaga diluar Depdiknas maupun Depag.

Selain itu, krisis keuangan global memaksa pemerintah memotong aggaran beberapa departemen, tak terkecuali departemen pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran pendidikan kembali turun. Rencana awal yang diturunkan pemerintah sebesar Rp 224 triliun berkurang menjadi Rp 204,4 triliun.

Buruknya Mekanisme Penganggaran
Masalah lain berkaitan dengan proses penganggaran yang tidak adil. Mekanisme pembuatan anggaran pendidikan pada tingkat pusat, dinas dan sekolah tidak partisipatif, tertutup, dan tidak akuntabel. Hal tersebut misalnya tergambar dari fase pembuatan anggaran, mulai dari penentuan kebijakan dan penetapan kesepakatan pusat dan daerah; penjabaran kebijakan program kedalan sasaran dan anggaran; membahas DIK/RP, DIK-S, DIP/LK/PO dan penetapan/pengangkatan bendaharawan rutin dan pemimpin/bendaharawan proyek/bagian proyek; serta pemantauan dan evaluasi yang mengatur tentang pelaporan pertanggungjawaban pengguna anggaran.

Dari empat fase proses penyusunan anggaran pendidikan tidak ada ruang untuk mengakomodir masukan dari warga, temasuk guru. Selain itu, Departemen Pendidikan pun tidak terbuka. Akibatnya, besaran dan alokasi anggaran ditentukan secara sentralistik.

Hal yang sama terjadi pada tingkat dinas dan sekolah. Malah, pada tingkat sekolah pembuatan dan implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) di dominasi oleh kepala sekolah. Ruang bagi stakeholder seperti guru dan orang tua sangat tertutup. APBS dianggap sebagai rahasia negara. Lebih parah lagi, hasil temuan ICW, di beberapa daerah seperti Tanggerang dan Garut, banyak sekolah yang tidak membuat APBS atau dibuatkan oleh dinas pendidikan.

Dampak ketidakadilan dalam proses penyusunan anggaran adalah ketimpangan proporsi alokasi. Pada tingkatan pusat maupun sekolah, anggaran untuk operasional dan program pengembangan serta peningkatan kualitas belajar mengajar sangat timpang. Hasil analisis ICW dan Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran, dalam anggaran pendidikan pada APBN tahun 2007 maupun 2008, alokasi operasional birokrasi di Depdiknas bisa mencapai 30 persen dari total anggaran.

Walau anggaran pendidikan mengalami kenaikan, tapi porsi untuk program yang secara langsung mendukung terbukanya akses dan meningkatnya kualitas, seperti program pendidikan dasar gratis, tidak berubah. Misalnya, alokasi dana untuk bantuan operasional sekolah. Tambahan dana yang disediakan pemerintah jauh lebiih kecil dibanding kebutuhan untuk membuka akses dan menyediakan pendidikan berkualitas bagi warga.

Dari sisi kebijakan, pada tingkat pusat, tidak ada aturan mengenai penyusunan APBS. Karena itu sekolah tidak memiliki patokan mengenai mekanisme pembuatan, alur waktu, serta proporsi alokasi. Padahal sekolah merupakan muara dari segala anggaran, pusat, daerah, orang tua, maupun masyarakat.

Selain itu, tidak ada sinkronisasi program dan anggaran pendidikan antara APBN, APBD, dan APBS. Logika penyusunan program dan anggaran antara Depdiknas, dinas pendidikan, dan sekolah tidak saling mendukung. Padahal pada dasarnya ketiga institusi tersebut memiliki tujuan yang ingin dicapai bersama.

Hal tersebut tergambar ketika pemerintah pusat menggulirkan program Bantuan Operasional Sekolah untuk merealisasikan pendidikan dasar gratis. Sikap pemerintah daerah malah menghambat dengan menghentikan segala jenis bantuan anggaran bagi sekolah, seperti yang terjadi di Garut.

Proses penganggaran pun mengabaikan semangat otonomi sekolah yang didorong pemerintah melalui kebijakan. Logika yang mesti digunakan, proses penyusunan anggaran pusat mesti didasarkan pada pengajuan program dan anggaran dari sekolah dan daerah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, anggaran disusun secara top down, sehingga sacara tidak langsung pemerintah menjadi penentu kegiatan-kegiatan yang akan dijalankan oleh sekolah.

Korupsi Anggaran Pendidikan

Masalah yang juga mempengaruhi pendidikan nasional adalah korupsi. Praktek tersebut terjadi di semua tingkatan penyelenggara, mulai dari Depdiknas, dinas pendidikan, hingga sekolah. Akibatnya, anggaran pendidikan yang kecil, ternyata tidak digunakan secara maksimal untuk kepentingan keterbukaan akses dan peningkatan kualitas pelayanan.

Praktek korupsi pendidikan tidak hanya terjadi sewaktu program kerja dilaksanakan, namun mulai dari program kerja disusun. Pelakunya pun tidak sendiri, tapi melibatkan banyak orang. Sebagai contoh kasus pengadaan buku pelajaran di beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran yang lumayan besar bagi sektor pendidikan. Namun, penggunaannya lebih banyak untuk proyek-proyek pembangunan atau pengadaan seperti buku pelajaran.

Dalam proses pengadaan kepada daerah atas pengesahan DPRD menerbitkan surat keputusan (SK) yang memungkinkan hanya satu penerbit yang bisa mendapat proyek. Tentunya ada 'biaya' yang harus dibayar penerbit agar SK bisa keluar. Kemudian segala macam biaya untuk mendapatkan tender oleh penerbit akan dikompensasikan dalam biaya produksi. Tidak mengherankan jika kemudian buku yang dihasilkan harganya mahal dan mutu yang dihasilkan buruk.

Korupsi di sektor pendidikan disebabkan lemahnya aktor-aktor seperti guru, orang tua, masyarakat, termasuk didalamnya komite sekolah. Mereka tidak diberi ruang untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan termasuk penganggaran. Selain itu, buruknya sosialisasi dan ketentuan dalam implementasi kebijakan, membuat mereka tidak mampu melakukan pemantauan.

Klimaks dari drama mengenai kontroversi mengenai anggaran pendidikan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Pemenuhan alokasi minimal 20 persen dari total APBN belum di pandang sebagai usaha strategis untuk mengembangkan sumber daya manusia. Tapi sebaliknya hanya sebagai 'gugur kewajiban' agar pemerintah dianggap berhasil memenuhi amanat konstitusi.

Politik penganggaran pendidikan tidak ditujukan untuk mendorong kesejahteraan warga negara, tapi menjadi alat politik untuk meningkatkan citra sekaligus melanggengkan kekuasaan. Dalam logika seperti itu, tidak penting bagi pemerintah untuk memastikan apakah alokasi anggaran dapat memenuhi kebutuhan membuka akses dan menyediakan pendidikan berkualitas atau memperbaiki mekanisme penganggaran serta praktek korupsi yang berjamaah bisa diminimalisir.

Komitmen minim pemerintah dalam pendidikan tidak hanya akan merugikan warga, tapi dalam jangka panjang juga akan merugikan negara. Indonesia mulai kehabisan sumber daya alam, karena itu sudah saatnya pemerintah melakukan investasi besar-besaran dalam mengembangkan sumber daya manusia. Tanpa itu, Indonesia akan semakin tertinggal oleh negara lain.

Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Sekretaris Koalisi Pendidikan.

• VIVAnews

Senin, 16 Februari 2009

Guru Lawan Google

R Arifin Nugroho

”It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change." (Charles Darwin)

Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi pilar utama penyempurnaan hidup di muka bumi. Akibatnya, berbagai perubahan harus selalu terjadi setiap saat.

Sesuai pernyataan Charles Darwin, jika manusia tidak ingin mengalami kepunahan, mereka harus memiliki sifat adaptif. Dalam menjalankan proses adaptasi tersebut diperlukan efektivitas untuk merespons perubahan.

Akibat perilaku yang harus adaptif ini muncul teknologi komunikasi yang mampu melintasi sekat ruang dan waktu. Perubahan di dunia dapat diketahui lewat sebuah laptop hanya dalam hitungan detik.

Agen pendidikan

Salah satu teknologi canggih yang mampu memfasilitasi ilmu pengetahuan adalah Google. Google yang lahir dari pertemuan tidak sengaja antara Larry Page dan Sergey Brin pada tahun 1995 telah membalikkan sekat keterbatasan informasi.

Embrio search engine yang diberi nama BackRub, pada tanggal 7 September 1998 berkembang sempurna menjadi Google. Mesin pencari supercanggih ini dapat mencari sebuah istilah hanya dalam satuan detik yang tersaji dalam jutaan situs internet.

Di dunia pendidikan, search engine ini mampu mengubah jejaring pemikiran para pelaku pendidikan. Seorang siswa dapat searching seluas-luasnya untuk mengeksplorasi sebuah pengetahuan baru. Dari mencari arti kata, materi pelajaran, sampai teknologi yang terkini dapat digali dengan mudah.

Banjir informasi menjadi fenomena yang sangat indah untuk dinikmati. Pemahaman tentang sebuah materi pelajaran pun terolah dengan lebih baik. Siswa tidak lagi harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli berbagai judul buku. Cukup klik dan dapat!

Para pendidik juga tidak ketinggalan atas kehebatan teknologi mesin pencari ini. Dari pencarian silabus, soal ulangan, sampai artikel ilmiah terbaru dapat diakses dengan mudah. Transfer ilmu pengetahuan antara guru dan siswa dapat berjalan dengan efektif. Libido ilmu pengetahuan yang selama ini terkekang sekarang dapat tersalurkan dengan nyaman.

Lebih dari Google

Suatu saat pernah seorang guru menjadi merah padam di depan kelas akibat Google ini. Pagi itu seorang siswa sudah ”sarapan” dengan mengakses perkembangan teknologi terbaru melalui fasilitas Google.

Kebetulan, materi pelajaran hari itu berhubungan dengan teknologi terkini yang ia temukan. Singkat cerita, di dalam kelas, siswa mencobai gurunya dengan bertanya seputar teknologi terbaru itu. Guru yang tadi pagi hanya sarapan nasi dan tempe itu akhirnya menjawab sekenanya, dan ternyata salah. Ia pun tergagap di depan kelas karena ditertawakan para murid akibat kesalahan yang ia lakukan.

Sekelumit gambaran tadi menunjukkan pentingnya seorang guru untuk selalu meng-up grade diri. Siswa masuk kelas bukan lagi dengan tidak bermodal, tetapi telah penuh dengan fantasi dan eksplorasi ilmiahnya.

Melihat situasi ini, lantas masih perlukah peran seorang guru? Bukankah Google lebih hebat daripada guru?

Jika seorang guru diadu dengan Google dalam kecepatan mengartikan, jelas guru akan kalah telak. Lalu, bagaimana nasib seorang guru selanjutnya?

Perlu diingat bahwa seorang guru bukan hanya pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang memanusiawikan manusia menjadi sempurna. Yesus Sang Isa Almasih pernah berkata, ”Jadilah kamu sempurna seperti Bapamu di surga sempurna adanya (Injil Matius 5:48)”.

Ilmu eling marang sangkan paraning dumadi (ingat akan tujuan kita diciptakan) menjadi bekal dasar seorang guru. Guru bukan sekadar pesaing dari Google sebagai alat mentransfer ilmu pengetahuan. Guru memiliki peran lebih untuk menyempurnakan kehidupan seorang pribadi agar serupa dengan Sang Khalik. Tidak hanya menjadikan siswa having, melainkan being.

Seperti dalam agama Hindu, guru bukan saja dinobatkan sebagai sang pembagi ilmu, tetapi sebagai tempat suci yang berisi ilmu (vidya). Hal ini semakin menguatkan peran guru yang sangat mulia.

Guru masih lebih unggul daripada Google karena guru mampu mengajarkan sisi humanis yang tidak dapat diberikan mesin pencari secanggih apa pun. Dalam kehidupan nyata tidak hanya diperlukan berlimpahnya ilmu pengetahuan dalam otak, tetapi juga sisi manusiawi agar bisa memanusiawikan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan memanusiawikan manusia saat berelasi dengan pribadi lain.

Bukan kebun binatang

Jika guru tetap sebatas mentransfer ilmu, sekolah tidak jauh berbeda dengan kebun binatang. Sebenarnya pendidikan bukanlah proses ”penjinakan”, tetapi ”peliaran”. Pendidikan kita seharusnya berusaha ”meliarkan”, memunculkan sifat manusiawi sebagai sifat dasar yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada makhluk yang diberi nama manusia.

Pendidikan bukanlah seperti kebun binatang dengan hiburan sirkus binatang di dalamnya. Di dalam kebun binatang terjadi proses domestikasi, yaitu membatasi kehidupan liar binatang. Akibatnya, sifat hewani tidak akan muncul dari dalam kebun binatang.

Jeruji, tembok pembatas, dan ransum makanan menjadi cara untuk domestikasi. Atraksi berbagai binatang yang sering kita jumpai di kebun binatang semakin meyakinkan pembatasan kehidupan mereka. Para binatang tidak lagi diajar untuk bisa survive di kehidupan hewani liarnya, tetapi justru diajar untuk melakukan tindakan-tindakan aneh.

Mana mungkin di tengah hutan ada monyet naik sepeda. Mana mungkin di tengah samudra yang penuh kompetisi dapat diatasi lumba-lumba karena kecerdasannya dalam mengerjakan soal penjumlahan.

Jika guru telah lupa untuk mengajarkan sifat manusiawi suatu ilmu pengetahuan dan memanusiawikan peserta didik, pendidikan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan situasi di kebun binatang.

Pemahaman kita perlu disegarkan kembali bahwa teknologi hanyalah hasil akhir dari ilmu pengetahuan yang bersifat material, bisa rusak, bisa berubah, dan suatu saat bisa tidak bermanfaat. Karena itu, interaksi antarmanusia yang didasari kontak teknologi belaka akan terasa kering karena bersandar pada nilai material.

Pendidikan tidak dapat bersandar pada teknologi semata, melainkan juga harus melibatkan hati yang dimiliki setiap pribadi manusia.

Akhirnya ungkapan Charles Darwin akan semakin tepat dan survive jika dipadu dengan ungkapan indah Mariah Carey dalam lagunya yang berjudul ”Hero”: If you look inside your heart… you know you can survive. (Jika engkau becermin ke dalam hatimu, engkau tahu bahwa engkau bisa bertahan!)

R ARIFIN NUGROHO Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

Selasa, 03 Februari 2009

Usir Lalat dengan Wewangian Alami


Selain daun pandan dan lavender, aroma cengkeh terbukti ampuh mengusir lalat di sekelilingnya.
Selasa, 3 Februari 2009 | 15:43 WIB

DARI sekian banyak serangga, lalat adalah salah satu yang paling mengganggu. Serangga yang identik dengan sampah dan kotoran ini, seringkali hinggap di makanan, di dapur atau meja makan. Melihat lalat berterbangan di dapur atau ruang makan, jelas bukan pemandangan yang menyenangkan.

Dapur yang kotor atau tumpukan sampah basah, adalah penyebab kedatangan lalat. Oleh karena itu, rajin-rajinlah membersihkan dapur dan mengosongkan tempat sampah basah di rumah. Jika lalat tak kunjung berhenti datang, mungkin cara berikut layak untuk dicoba.

Berbagai semprotan anti serangga berbahan kimia, seringkali dipilih sebagai cara mudah dan cepat membunuh/mengusir serangga. Cara jitu ini juga meninggalkan racun buat tubuh manusia. Jika salah dalam penggunaan, kita bisa keracunan.

Selain cara pintas tadi, ada cara yang lebih alami dan aman, pun sama mudahnya. Coba deh beberapa wewangian alami di bawah ini, untuk mengusir lalat di rumah.

Cengkeh

Wangi cengkeh ternyata cukup efektif mengusir lalat. Ada dua cara memanfaatkan wewangian rempah yang satu ini. Pertama, cara yang paling sederhana. Rendam cengkeh secukupnya, pada semangkuk air. Kemudian letakkan rendaman cengkeh tadi pada tempat yang banyak dihinggapi lalat.

Untuk mendapatkan wangi yang lebih tajam, padukan wangi cengkeh dengan apel. Caranya, siapkan satu buah apel yang sudah matang. Penuhi seluruh permukaan apel dengan cengkeh, dengan cara menusukkan bunga-bunga cengkeh ke permukaan kulit apel. Letakkan apel yang sudah terutup cengkeh ini di atas meja. Lalat pun enggan mendekat.

Daun Pandan

Wangi pandan, ternyata juga bisa dicoba untuk mengusir lalat. Caranya cukup mudah. Cukup siapkan beberapa helai daun pandan, kemudian iris halus. Letakkan irisan daun pandan tadi pada sebuah mangkuk atau piring. Terakhir, tempatkan piring atau mangkuk tadi di tempat yang banyak dihinggapi lalat.

Lavender

Lavender merupakan salah satu tanaman, yang wanginya tidak disukai serangga. Anda bisa menempatkan beberapa tangkai bunga lavender di dalam rumah, untuk mengusir lalat. Selain mengusir lalat, bunga-bunga lavender ini juga mempercantik tampilan ruangan.