Senin, 27 Juli 2009

jBatik, Persembahan Teknologi untuk Batik

Pixelpeopleproject
Panel sebelah kanan merupakan tempat untuk memasukkan variabel dan rumus. Panel tersebut juga dilengkapi dengan pustaka yang berisi rumus-rumus sederhana untuk menghasilkan desain Batik Fractal. Pada panel bagian atas terdapat alat ukur dimensi fraktal untuk mengukur tingkat fraktal hasil desain Batik Fractal tersebut.

Senin, 27 Juli 2009 | 03:26 WIB

Pertengahan November tahun lalu, pada perlombaan bergengsi teknologi informasi tingkat Asia Pasifik, jBatik memenangi penghargaan utama dalam kategori tourism & hospitality. Batik Fractal merupakan desain batik yang dibuat menggunakan konsep fraktal. Yun Hariadi

jBatik merupakan perangkat lunak untuk menghasilkan desain Batik Fractal. Berdasarkan asal kata, jBatik merupakan gabungan dua kata: java dan batik. Java mengacu pada bahasa pemrograman yang digunakan membuat perangkat lunak jBatik.

Munculnya Batik Fractal tak terlepas dari penelitian penulis dan rekan yang membuktikan hadirnya fraktal dalam batik (Kompas, 10/3). Sifat fraktal pada batik memberi inspirasi untuk menciptakan desain-desain batik secara otomatis dengan menggunakan persamaan atau konsep fraktal melalui alat bantu jBatik.

Fraktal merupakan konsep matematika yang membahas kesamaan pola pada semua skala. Secara sederhana, kehadiran fraktal ditandai oleh adanya perulangan pola atau kesamaan diri (self-similarity) pada skala yang berbeda-beda atas suatu obyek. Pohon cemara merupakan contoh sederhana hadirnya fraktal di alam. Jika kita bandingkan struktur atau pola pohon cemara dengan struktur dahannya, akan didapat pola yang sama.

Salah satu cara untuk mengukur tingkat fraktal suatu benda adalah dengan menggunakan dimensi fraktal. Perbandingan dimensi fraktal antara batik dan lukisan kubisme karya Picasso menunjukkan sifat yang khas pada setiap karya seni tersebut. Kubisme taat dengan dimensi 3, sedangkan batik taat dengan dimensi 1,5. Hal ini menunjukkan bahwa motif batik tidak cukup digambarkan oleh benda berdimensi 1, tetapi berlebihan jika digambarkan oleh benda berdimensi 2. Motif batik berada di antara benda berdimensi 1 dan 2—ini menunjukkan, batik mengandung unsur fraktal.

Faktor yang berperan besar menghadirkan fraktal pada batik adalah teknik dekorasi yang berhubungan dengan makna simbolis pada batik, yaitu isen. Dalam membatik, terdapat proses yang disebut isen, yaitu mengisi motif besar dengan motif kecil tertentu yang sesuai.

Alam membentuk fraktal di dalam tubuh manusia (struktur kromosom, susunan DNA) hingga di luar tubuh manusia (bentuk aliran sungai, badai matahari). Namun, manusia juga membentuk fraktal pada hasil budayanya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Fraktal secara tidak sengaja telah hadir di artefak-artefak budaya masa lalu (Maya dan Aztec), juga pada masa kini (peralatan suku di Afrika, batik, dan pada lukisan Pollock.

Berkat pemahaman konsep fraktal dalam teori chaos, pada masa kini fraktal digunakan secara sengaja untuk beragam kepentingan, misalnya, untuk menciptakan file gambar berukuran lebih kecil (bidang komputer), untuk membedakan kondisi gagal jantung dengan jantung normal, mendeteksi kehadiran tumor dan parkinson (bidang kedokteran), untuk menandai kemurnian baja dan kemurnian berlian (bidang material), melakukan peramalan saham (bidang keuangan), serta untuk menandai keunikan retina mata (bidang keamanan).

Sengaja fraktal

Sebagai alat bantu, jBatik diciptakan untuk menghasilkan desain Batik Fractal yang berpotensi memiliki variasi desain tak hingga. Untuk menciptakan variasi desain tak hingga ini, jBatik secara sengaja menggunakan konsep fraktal. Ini sejalan dengan penggunaan fraktal secara sengaja pada teknologi-teknologi mutakhir saat ini. Kesengajaan penggunaan fraktal dalam jBatik ditunjang kenyataan bahwa terdapat fraktal pada batik. Dalam hal ini, jBatik berupaya memberi sumbangan teknologi terhadap batik.

Program jBatik versi pertama merupakan hasil kolaborasi PixelPeopleProject dengan IGOS Center Bandung. Untuk kali pertama, jBatik ini dipamerkan pada pameran Batik Fractal pertengahan Mei 2008 di Bandung.

Salah satu hasil desain Batik Fractal tersebut meraih penghargaan UNESCO. Selain itu, jBatik juga mengikuti beraneka kompetisi teknologi informasi. Di tingkat lokal jBatik memenangi INA-ICTA 2008 dan di tingkat Asia Pasifik jBatik memenangi APICTA 2008.

Kemenangan itu mendorong untuk merombak total jBatik versi pertama menjadi jBatik v2.0. Dengan bantuan USAID-Senada, jBatik mengalami perubahan total dan menjadi perangkat lunak Batik Fractal. Kini jBatik mengalami pengembangan dalam menciptakan desain Batik Fractal hingga berdimensi tiga, dilengkapi dengan pengukur dimensi fraktal dan kemampuan untuk membuat desain dalam desain.

Alat bantu

Kebutuhan untuk menciptakan perangkat lunak Batik Fractal berawal dari keinginan untuk memperkenalkan konsep fraktal secara lebih mudah kepada masyarakat dan khususnya pembatik. Dengan ini, jBatik diharapkan dapat memberi sumbangan dalam menghasilkan beraneka variasi desain yang nyaris tak hingga. Dengan mengubah beberapa parameter pada panel jBatik, akan dihasilkan desain batik yang berbeda-beda.

Program jBatik dirancang dan diciptakan secara khusus untuk menghasilkan desain Batik Fractal, yaitu desain yang dibuat semirip mungkin dengan desain batik tradisional menggunakan konsep fraktal. Tentu ada masalah serius dalam penentuan semirip mungkin ini.

Salah satu upaya jBatik agar hasilnya semirip mungkin dengan desain batik tradisional adalah dengan membuat algoritme yang mengandung: penggolongan motif batik (motif: tumbuhan, parang, geometri), mengenali unsur-unsur batik (misal: ornamen utama dan isen), serta perhitungan dimensi fraktal yang berperan sebagai alat ukur terhadap tingkat fraktal batik.

Program jBatik sebagai perangkat lunak desain Batik Fractal sangat berbeda dengan perangkat lunak desain grafis pada umumnya, seperti Adobe Photoshop ataupun CorelDRAW. Perbedaan terletak pada kekhususan fungsi jBatik untuk membuat desain batik dan kekuasaan otonom pengguna terhadap perangkat lunak itu.

Jika pada Adobe Photoshop dan CorelDRAW pengguna memiliki kekuasaan penuh terhadap perangkat lunaknya—pengguna bisa sesuka hati membuat desain grafis dari kurva atau garis, pada jBatik pengguna tidak memiliki kekuasaan penuh. Lantas siapa yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelesaikan desain batik pada jBatik? Jawabannya adalah: algoritme program jBatik sendiri.

Jika pada perangkat lunak desain grafis pada umumnya menggunakan masukan: titik, garis, dan kurva, tetapi pada jBatik masukan tersebut berubah menjadi bentuk rumus matematika sederhana: L System.

Dengan rumus ini, titik garis dan kurva diterjemahkan menjadi variabel rumus. Selanjutnya hubungan antarmasukan tersebut akan diterjemahkan oleh L System menjadi suatu gambar tertentu.

Ini mungkin terlihat memperumit desain grafis, tetapi langkah ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tak hingga variasi desain Batik Fractal.

Secara sederhana, pengguna menuliskan masukan x dan suatu fungsi sederhana f(x) dan selanjutnya jBatik akan menyelesaikan sendiri gambar dari y>f(x). Tentu saja perubahan sedikit pada nilai x akan menyebabkan perubahan drastis keluaran y. Pada tahap ini pengguna tidak memiliki kuasa mengontrol hasil desain Batik Fractal. Namun, hal ini memberi peluang membuat variasi desain fraktal tak hingga.

Mungkin penjelasan dalam tulisan ini terlihat rumit. Dalam praktik di lapangan, penggunaan jBatik tidak serumit yang dituliskan ini. Program ini telah diperkenalkan kepada beberapa pembatik tradisional di Pekalongan. Program ini diluncurkan 27 Mei 2009 lalu di Paris Van Java, Bandung, Jawa Barat, dilengkapi dengan demonstrasi dan diskusi.

Tentu saja jBatik sebagai sebuah upaya memperkaya khazanah batik kita masih jauh dari sempurna. Dibutuhkan peran serta pembatik, seniman, matematikawan, ilmuwan, dan pencipta program untuk bisa menempatkan jBatik sebagai salah satu alat bantu pada batik yang kelak sejajar dengan canting.

YUN HARIADI Peneliti di Pixel PeopleProject

Industrialisasi TV dan Kontrol Sosial

Fereshti
Dosen UMS Solo

Bagaimanapun juga, era perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional memang kian pesat dalam 10 tahun terakhir, baik secara kuantitas ataupun kualitas. Selain itu, di era otonomi daerah ternyata juga makin marak pendirian TV lokal di berbagai daerah. Meski perkembangan pertelevisian lokal di daerah belum maksimal, namun itu semua bisa menjadi momentum untuk memperkuat basis kinerja perekonomian di daerah melalui tayangan bermuatan lokal yang mengangkat semua potensi internal di daerah yang notabene tidak bisa diangkat oleh TV swasta nasional.

Meski secara umum ada peningkatan kuantitas dan kualitas industrialisasi pertelevisian nasional, namun secara substansif diakui bahwa secara kualitasnya tidak signifikan terhadap kuanitas. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dalam proses laju perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional banyak menuai kritik. Selain itu, ada juga yang berani memproklamasikan 'Sehari Tanpa TV' yaitu bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional. Kampanye Hari Tanpa TV telah dimulai sejak 2006 dan kini memasuki tahun ke-4 dan direncanakan berlangsung pada Ahad 26 Juli 2009.

Alasan mendasar
Tentu ada banyak alasan sehingga perlu ada proklamasi terhadap 'Sehari Tanpa TV' yang telah berjalan 4 tahun ini sejak 2006. Adalah Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Komunitas TV Sehat yang peduli terhadap dampak tayangan TV yang makin tidak sehat bagi anak-anak secara umum. Oleh karena itu, penetapan dan juga kampanye 'Sehari Tanpa TV' tidak lain adalah bentuk keprihatinan terhadap tayangan televisi yang tidak aman dan tidak bersahabat untuk anak.

Yang justru menjadi pertanyaan apakah proklamasi gerakan sehari tanpa TV tersebut efektif untuk meredam tayangan negatif TV terhadap kehidupan anak-anak? Entahlah, yang pasti, industrialisasi pertelevisian nasional saat ini semakin berkembang pesat dan bahkan banyak di antaranya yang telah masuk ke bursa untuk menjadi industri TV yang terbuka. Di sisi lain, bagaimana industrialisasi pertelevisian nasional menyikapi adanya proklamasi sehari tanpa TV?

Gerakan Hari Tanpa TV ini diprakarsai YPMA dan Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH) dan didukung oleh berbagai institusi yang bersedia bergabung. Gerakan ini tidak bermaksud memusuhi TV tapi lebih membangun kepedulian agar semua pihak, terutama masyarakat dan orang tua, lebih peduli pada dampak tayangan TV bagi anak-anak secara menyeluruh.

Terkait ini, tentu kita masih ingat betul bagaimana dampak dari tayangan Smackdown di salah satu TV yang kemudian dikritik oleh masyarakat karena berdampak serius terhadap perilaku anak-anak. Bahkan, diberitakan perilaku anak-anak di sekolah banyak yang meniru adegan 'Smackdown' dan ada juga korban dari tindakan ala 'Smackdown' tersebut yang sampai meninggal. Ironis sekali.

Di balik argumen proklamasi sehari tanpa TV, merujuk penelitian di Amerika Serikat, negeri biang siaran televisi bahwa pada anak yang menghabiskan waktu tiga-empat jam di depan layar televisi, ditemukan sejumlah fakta: (1) mereka mati rasa terhadap ancaman kekerasan, (2) mereka suka menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, (3) mereka menirukan tindakan kekerasan yang tampak di televisi, dan (4) mereka selalu bisa mengidentifikasi diri sebagai pelaku atau korban kekerasan (Tajuk Republika, 22 November 2006).

Di balik itu semua, gencarnya tayangan TV yang dikonsumsi anak-anak jelas membuat khawatir masyarakat, terutama orang tua (Hafidz, 2006). Alasannya karena anak-anak adalah makhluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak-remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan kemampuan berpikir anak masih sederhana. Mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan TV itu sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana tayangan yang fiktif dan mana yang kisah nyata. Bahkan, kisah nyata pun bisa dan sah didramatisir oleh TV, lihat saja ragam tayangan yang seolah-olah reality show.

Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai - norma agama - kepribadian. Adegan kekerasan, kejahatan, dan konsumtif, termasuk perilaku seksual di televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak. Akibatnya, terjadi tudingan bahwa TV merusak moral dan perilaku anak-anak.

Tanggung jawab sosial
Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakikatnya merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia makhluk hidup. Sikap dan pola perilaku itu, menurut pandangan behavioristik, dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungannya. Oleh karena itu, interaksi melalui media, termasuk salah satunya TV menjadi sangat penting, terutama dikaitkan dengan sisi dampaknya.

Bahkan, kuatnya penetrasi informasi global menjadi wacana tentang urgensi keberadaan media sebagai mediator terhadap kebutuhan informasi publik. Artinya, media haruslah proporsional dan menjadi pencerdas bagi kehidupan.

Dalam suatu jajak pendapat yang dilakukan oleh BBC, Reuters, dan sebuah lembaga penelitian di Amerika, The Media Center, tentang kepercayaan dan isu media massa menyimpulkan bahwa keberadaan media sangat penting dalam kehidupan global kini. Jajak pendapat dijalankan oleh Yayasan Globescan, sebuah organisasi yang menaruh perhatian besar terhadap masalah media dan peningkatan kesadaran pencarian berita melalui internet. Temuan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa keberadaan TV menjadi perwakilan tentang nilai pentingnya informasi bagi kebutuhan publik. Jadi, alangkah sayangnya jika kemudian TV justru melunturkan kepercayaan publik dengan program tayangan yang dinilai banyak menyesatkan karena mengobral keburukan.

Oleh karena itu mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya adalah membangun jaringan penyiaran TV nasional yang bersifat edukatif tanpa harus melecehkan nurani anak-anak bangsa. Bukankah anak-anak adalah generasi penerus?

(-)

Senin, 13 Juli 2009

MISI APOLLO 11 Manusia Belum Pernah Mendarat di Bulan

GETTY IMAGES/HULTON ARCHIVE

Juli 1969, astronot Amerika Serikat, Edwin "Buzz" Aldrin, terekam di permukaan Bulan dekat bendera AS dalam misi Apollo 11. Aldrin merupakan orang kedua yang berjalan di Bulan setelah Neil Armstrong.


Oleh Rakaryan Sukarjaputra

Empat puluh tahun telah berlalu sejak dunia dikejutkan oleh kabar keberhasilan pendaratan Apollo 11 di Bulan. Benarkah astronot Neil Armstrong telah menjejakkan kakinya di satelit Bumi tersebut?

Pertanyaan menggelitik itu memang terus menyertai kisah misi Apollo 11 dan pendaratannya di permukaan Bulan pada 21 Juli 1969.

Kemudian astronot Neil Armstrong dan Edwin ”Buzz” Aldrin berjalan di permukaan Bulan. Cuplikan video menggambarkan Armstrong mengibarkan bendera Amerika Serikat dan melompat-lompat. Aksi ini menegaskan keberhasilan pendaratan manusia di Bulan.

Sejumlah pihak menyangsikan pendaratan itu. Cuplikan video tersebut penuh dengan keganjilan. Ada yang menganggap video itu tidak dibuat di Bulan, tetapi di sebuah tempat khusus di sekitar Negara Bagian Arizona, AS.

Astronom Phil Plait termasuk yang sangsi. Dia memberikan penjelasan pada sebuah program radio ”Are We Alone” yang dikelola SETI Institute. Ini adalah lembaga nirlaba di California, AS, yang fokus pada penjelasan keberadaan makhluk pintar lain di jagat raya.

Plait mengatakan, ada pihak yang skeptis dengan mempertanyakan foto-foto Armstrong dan Aldrin yang memperlihatkan langit tanpa bintang. ”Tidak ada atmosfer di Bulan sehingga bintang-bintang seharusnya terlihat lebih terang.”

Pihak yang skeptis juga mempersoalkan bendera AS dalam cuplikan video yang tampak berkibar, padahal di Bulan tidak ada udara.

Mereka juga mengajukan teori bahwa para astronot mungkin sudah terpanggang radiasi ketika menembus sabuk Van Allen dalam perjalanan ke Bulan.

Kepercayaan melemah

Sebenarnya kepercayaan soal pendaratan di Bulan itu sudah semakin lemah dalam beberapa tahun terakhir. Isu ini mencuat kembali ketika TV Fox pada 2001 menyiarkan sebuah program yang diberi judul ”Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?”

Acara TV Fox itu, kata Dr Tony Philips pada situs Science@NASA, menggambarkan betapa Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) tidak lebih dari sekadar ”produser film yang tolol”.

Semua kesangsian itu telah sering dijawab langsung Armstrong, komandan misi Apollo 11. Tokoh kelahiran Wapakoneta, Ohio, 5 Agustus 1930, itu bersama astronot Buzz Aldrin mengaku telah menikmati permukaan Bulan selama 2,5 jam.

Di Bulan, mereka berdua menancapkan bendera AS dan sebuah spanduk bertuliskan ”Di sini manusia dari planet Bumi menginjakkan kakinya pertama kali. Kami datang dengan damai untuk seluruh umat manusia”.

Mengapa awalnya banyak yang percaya? Bagi AS, pendaratan di Bulan adalah sebuah pencapaian besar yang membuat AS seolah-olah unggul dari pesaing utama ketika itu, Uni Soviet, dalam program luar angkasa.

Bagi salah satu pesaing AS saat ini, Rusia, teori konspirasi mengenai kebohongan pendaratan di Bulan tahun 1969 itu menjadi semakin populer. Rusia membuat sejumlah situs bahkan film-film dokumenter di televisi untuk menyampaikan kebohongan besar pendaratan di Bulan itu.

Konstelasi

Boleh jadi, hal itu pula yang membuat mantan Presiden AS George W Bush memutuskan untuk menghapuskan penerbangan pesawat ulang alik pada 2010 setelah musibah pesawat ulang alik Columbia pada 2003.

Sebagai gantinya, Bush pada 2004 meluncurkan program lebih ambisius, Constellation (Konstelasi), yang bertujuan membawa warga AS kembali ke Bulan pada 2020, dan menggunakan Bulan sebagai tempat peluncuran pesawat luar angkasa berawak manusia menuju Mars.

Michael Griffin, mantan pemimpin NASA yang mendorong program Constellation, menjelaskan, pesawat ulang alik membuat AS bertahan terlalu lama pada penerbangan luar angkasa di orbit rendah, padahal kini muncul pesaing baru dalam program luar angkasa, antara lain China. ”Kita (AS) harus kembali ke bulan karena itu adalah langkah berikutnya. Bulan hanya beberapa hari dari rumah. Mars hanya beberapa bulan dari Bumi,” papar Griffin.

Sayangnya, anggaran NASA tidak cukup untuk membiayai pembuatan kapsul Orion Constellations, kapsul yang lebih maju dan lebih besar ketimbang versi kapsul Apollo. NASA juga kekurangan biaya untuk menyiapkan roket peluncur Ares I dan Ares V yang diperlukan untuk mengirim kapsul itu ke orbit.

Biaya keseluruhan Constellation itu diperkirakan 150 miliar dollar AS. Anggaran eksplorasi luar angkasa AS pada 2009 hanya 6 miliar dollar AS.

Wajar apabila Senator Bill Nelson (Florida) menegaskan, NASA tidak akan bisa melakukan tugas yang diberikan kepadanya, yaitu berada di Bulan pada 2020. Senator yang mantan astronot itu bahkan mengkhawatirkan, saat program pesawat ulang alik berakhir, AS tak akan bisa mengirimkan astronotnya ke stasiun luar angkasa ISS, kecuali menumpang Soyuz milik Rusia.

Hal itu tentu menjadi kabar buruk bagi NASA dan khususnya Armstrong yang tentu tidak ingin pendaratannya di Bulan menjadi bahan olok-olokan. Meski demikian, ada cara pembuktian lebih sederhana, yaitu menemukan kembali bendera dan spanduk yang ditancapkan Armstrong itu dengan teleskop dari Bumi. Tentu dengan harapan bendera itu masih tertancap di tempatnya. (AFP)