Selasa, 05 Mei 2009

Sekolah Gratis



Oleh Zaim Uchrowi

Hari-hari ini 'Bu Muslimah' sering muncul di TV. Pemeran guru hebat di film Laskar Pelangi, Cut Mini, harus memainkan peran serupa di iklan promo sekolah gratis. Tugasnya, mulai menyanyi dam ... dam ... dam ... dam ..., sampai menasihati sopir angkot. ''Biar bapaknya sopir angkot, anaknya bisa jadi pilot,'' katanya.

Ringkasnya, anak harus sekolah. Itu jalan agar masa depan lebih baik. Tak ada alasan anak tak sekolah. 'Sekolah Gratis!'

Tapi, apakah sekolah akan benar-benar gratis? Para pengelola sekolah negeri dapat dengan tegas mengatakan ''ya''.

Uang sekolah atau biasa disebut 'SPP' tak akan dipungut. Negara yang akan menanggungnya. Tapi, apakah pendidikan sekolah benar-benar akan bebas biaya? Apakah orang tua akan benar-benar tak perlu memikirkan biaya pendidikan anaknya? Bukan hanya orang tua siswa, tapi semua, akan menggelengkan kepala.

Tak setiap saat promo macam itu tepat dimunculkan. Tak setiap saat tahun ajaran baru. Tak setiap saat pula pemilihan umum-waktu terbaik untuk menyampaikan apa yang kita anggap sebagai keberhasilan. Maka, gencar iklan 'sekolah gratis' sekarang tentu hasil kajian matang. Sekaranglah saat tepat memunculkan promo itu. 'Bu Muslimah'-lah sosok yang tepat untuk memunculkannya.

Seberapa gratis sekolah nanti masih dapat diperdebatkan. Tapi, keberanian Pak Menteri Bambang Sudibyo mengampanyekan 'sekolah gratis' merupakan hal penting. Pertama, untuk membangkitkan rasa percaya diri semua bahwa 'sekolah gratis' sangat mungkin dapat diwujudkan. Kedua, untuk menunjukkan bahwa arah kebijakan pendidikan saat ini memang ke sana.

Keyakinan publik bahwa sekolah memang benar-benar bisa gratis memang masih harus ditumbuhkan. Ketidakpercayaan publik tentang hal itu memang masih kental. Hal ini dapat dimengerti. Dalam seperempat abad terakhir, pendidikan memang seperti bergeser posisi. Dari format layanan sosial menjadi format industri. Dalam format industri, manfaat finansial menjadi salah satu ukuran terpenting. Kekhawatiran untuk bisa benar-benar gratis itu sebenarnya tak perlu lagi. Keputusan politik agar alokasi biaya pendidikan 20 persen dari anggaran negara semestinya dapat mengatasi itu. Yang perlu dikawal ketat justru kemampuan teknis negara mewujudkan arah itu secara nyata. Biaya pendidikan bukan semata 'SPP Bulanan'. Di era kompetisi sekarang, semakin banyak hal yang dimasukkan sebagai komponen pendidikan yang tentu perlu biaya. Beragam kegiatan ekstrakurikuler, beragam bentuk wisata 'studi lapangan', hingga pentas seni maupun pembuatan 'buku angkatan' pun telah menjadi semacam kegiatan wajib yang makan biaya.

Bagi sekolah negeri hal itu semestinya menjadi persoalan. Apalagi, bagi sekolah negeri favorit di perkotaan. Tapi, bagaimana sekolah swasta biasa di kalangan miskin urban serta perdesaan? Mungkinkah negara sungguh-sungguh akan membantu mengembangkan dan membiayai sekolah-sekolah itu? Di antara sekolah-sekolah yang demikian adalah ribuan madrasah di seluruh Nusantara. Departemen Agama, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, telah berusaha mengangkat madrasah. Namun madrasah, apalagi swasta, masih saja merupakan 'anak tiri' negara.

Banyak hal tentu yang harus dikerjakan untuk dapat mewujudkan pendidikan bermutu yang benar-benar gratis. Lebih banyak lagi yang perlu dilakukan buat membawa semua anak usia sekolah benar-benar di bangku sekolah. Bagaimana membawa anak-anak jalanan yang sudah terbiasa menikmati uang ke sekolah? Juga, anak-anak wilayah terpencil yang harus segera membantu orang tua di ladang. Masih perlu waktu bagi seluruh anak negeri, serta orang tuanya, untuk berdam ... dam ... dam ... dam bersama 'Bu Muslimah'. Tapi, setidaknya kita punya arah jelas: Wujudkan segera sekolah berkualitas yang 100 persen gratis bagi semua anak Indonesia!

(-)

Tidak ada komentar: