Selasa, 23 Juni 2009

Iptek, Kemakmuran, dan Kemandirian

M Barmawi

Jika mengamati daftar GDP sebagai ukuran kemakmuran, negara-negara berteknologi maju atau yang menganut ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based economics/KBE) menempati peringkat teratas.

GDP mereka adalah 20.000 dollar AS ke atas. Sedangkan GDP negara-negara yang mengandalkan kekayaan alam ada di bawah 2.000 dollar AS. Data ini menunjukkan, jika hanya mengandalkan hasil bumi, tambang, dan pertanian, kita akan sulit meningkatkan kemakmuran. Cita-cita Proklamasi 1945 adalah kita akan setara dengan bangsa lain, termasuk negara maju. Setelah 60 tahun lebih merdeka, kita sadar, kemerdekaan saja tidak cukup untuk mencapai kemakmuran dan kemandirian nasional.

Untuk mencapai cita-cita itu, strategi bersama diawali dengan mengurangi kemiskinan, lalu mencapai kemandirian nasional. Untuk mengurangi kemiskinan, kemampuan UKM harus ditingkatkan sehingga lapangan kerja untuk masyarakat lapisan bawah tersedia.

Untuk pengembangan UKM perlu disediakan energi di daerah terpencil. Nelayan tak dapat mengekspor ikan karena tak ada fasilitas pendinginan. Sebelum diekspor, hasil bumi perlu ditingkatkan nilai jualnya. Jalan pintas penyediaan energi untuk pengembangan UKM adalah energi surya. Saat ini Malaysia menawarkan pusat tenaga listrik sel surya berdaya 2.000 MW meski mungkin dengan modal dan teknologi asing. Di sini kita melihat, KBE dimanfaatkan untuk pemberantasan kemiskinan. KBE adalah sistem ekonomi yang menggunakan iptek sebagai pendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Malaysia sudah menganut KBE.

Taiwan sebagai contoh

Negara yang berhasil menggunakan KBE adalah Taiwan. Pada tahun 1950-an, Taiwan adalah negara agraris ber-GDP per kapita 200 dollar AS dengan ekspor pisang dan gula ke Jepang. Tahun 2000 GDP Taiwan naik 100 kali menjadi 20.000 dollar AS. Taiwan membangun UKM dengan kebijakan ”substitusi impor”. Untuk membangun industri, Taiwan membuat perencanaan yang cermat dan konsisten.

Untuk melakukan transformasi dari iptek menuju kemakmuran, Taiwan membangun Sistem Inovasi Nasional, dilengkapi universitas-universitas dan lembaga penelitian andal. Peran universitas tak hanya menyelenggarakan pendidikan S-1, S-2, dan S-3, tetapi juga diberi peran sebagai pusat penelitian, bagian sistem inovasi nasional, dan menjalin kerja sama dengan swasta dalam penggunaan iptek.

Selain itu, dibentuk organisasi seperti ITRI (Indusstrial and Technology Research Institute) dan ERSO (Electronic Research and Service Organization). Misi ITRI dan ERSO adalah membangun pabrik percontohan (pilot plants) untuk ditingkatkan menjadi pabrik yang bersaing. Seusai membuat pabrik percontohan tahun 1980, Taiwan lalu mendorong pembangunan TMSC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company). Awal 1990-an, ERSO dan ITRI mendorong pembangunan pabrik memori kapasitas tinggi dan membangun pabrik LCD, iptek yang terdepan saat itu.

Taiwan menggunakan elektronik sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan bantuan pabrik-pabrik LCD dan memori kapasitas tinggi, mereka berhasil merebut 30 persen pasaran PC dunia tahun 1993 (OCC Lin, National Innovation System and the Role of Institutes).

Itulah keajaiban ekonomi Taiwan yang juga dialami macan- macan Asia lain. Mereka tumbuh menjadi negara makmur dan mandiri karena Sistem Inovasi Nasional. Padahal, pilot plant Taiwan hanya perlu modal 12,5 juta dollar AS dan salah satu pabrik LCD Taiwan memerlukan investasi 259 juta dollar AS, kurang dari Rp 3 triliun. Sistem Inovasi Nasional Taiwan, khususnya ITRI dan ERSO, patut dicontoh.

Kawasan ASEAN

Di ASEAN, ada dua negara yang commit pada KBE, yaitu Malaysia dan Thailand. (Singapura sudah termasuk macan Asia). GDP per kapita Malaysia 8.495 dollar AS, R&D 0,49 persen GDP. Thailand 4.155 dollar AS GDP per kapita, R&D 0,25 persen GDP. Indonesia 1.918 dollar AS GDP per kapita, R&D 0,01 persen APBD. Adapun GDP/kapita Filipina 1.755 dollar AS, R&D 0,08 persen GDP. Di sini terlihat perbedaan mencolok GDP penganut dan yang tidak menganut KBE.

Dari uraian itu kita melihat korelasi yang kuat antara KBE dan kemakmuran serta kemandirian bangsa. Kita kurang percaya diri dan kurang percaya pada KBE. Tetapi jika kita ingin membangun dengan KBE, anggaran pendidikan 20 persen APBN harus dipertahankan, peningkatan SDM diutamakan dan perlu membangun Sistem Inovasi Nasional, serta sedikit demi sedikit meningkatkan R&D, setidaknya seperti Thailand.

M Barmawi Guru Besar Emeritus ITB; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar: