Sabtu, 20 Juni 2009

Plus-Minus Ujian Nasional

Menyebalkan! Itu ungkapan yang pas menggambarkan ujian nasional. Psikologis anak didik jadi mainan! UN diulang, pengumuman ditunda, bukan karena kesalahan mereka.

Orang Jawa punya ungkapan lebih pas: getem-getem. Menggambarkan kemarahan besar, tetapi tidak punya kemampuan melampiaskan. Hanya bisa makan hati.

Simak saja pion yang dimainkan. Beberapa SMA di Jawa Timur harus mengulang karena kesalahan kunci jawaban. Di daerah lain anak-anak wajib mengulang karena ulah curang guru. Di Jabar dan di Jateng hasil UN SMK belum diumumkan karena takut salah. Ada hasil mata pelajaran tertentu raib.

Sejak awal kehadiran sampai sekarang belum ada kata bulat untuk UN. Argumentasi yang pro dan yang kontra punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mendiknas menegaskan, UN jalan terus. Sampai akhirnya masyarakat mengambil sikap ”membuat yang terbaik dari yang ada”. UN mulai diterima, ditingkatkan bobot kelulusan, ditambah jumlah mata pelajaran yang diujikan.

Akan tetapi, ketika UN tahun ini berjalan semrawut, anak didik dibuat mainan. Sampai-sampai terkesan birokrat pendidikan teknis tak memiliki kepekaan pedagogis. Tidakkah mereka membayangkan psikologis anak merasa jadi mainan orang tua?

Masyarakat tahu kokohnya tembok mengukuhi kebijakan. UN yang gagal ditembus dengan segala argumentasi dipatahkan. Contoh lain Badan Hukum Pendidikan, yang tinggal menunggu paraf Presiden, hingga saat ini masih menunggu uji materi Mahkamah Konstitusi.

Program sertifikasi guru plus janji insentif yang belum diklarifikasi dengan Departemen Keuangan, sekadar menyebut dua contoh, belum lagi dikaitkan dengan kritik praksis pendidikan yang tidak berpihak pada anak didik.

Suasana sebal plus getem-getem dengan mudah dipungut sebagai bahan kampanye gratis. Salah satu capres menjanjikan akan menghapus UN. Wakil Gubernur Jatim berpendapat UN perlu ditinjau ulang.

Ibarat angin segar. Semua meniupkan angin perubahan: hapus UN. Panorama wacana spontan dan ikut arus ibarat wabah yang menular. Tanpa alasan jelas ramai-ramai berseru seragam: tinjau ulang UN.

Sebegitu gampangkah menghilangkan trauma menyakitkan? Seharusnya dalam keadaan genting semacam ini, Mendiknas tampil menjelaskan duduk soalnya. Menangani departemen teknis dengan bahan dasar lembaga kependidikan berbeda dengan utak-atik audit angka rupiah. Kalau memang UN merupakan pilihan strategis meningkatkan mutu, kenapa perlu dihentikan? Kalau UN tidak sesuai dengan kemajemukan dan tidak pedagogis, mengapa dilanjutkan?

Kita tak berharap pengumuman UN SMP hari Sabtu ini ikut menambah kebingungan. Biasakan memprogram kebijakan berdasar argumen, target, dan cara-cara yang bersemangat demokratis dan pedagogis!

Tidak ada komentar: