Selasa, 23 Juni 2009

Jejak Naga Silikon dan Masa Depan Ekstrem

ninok leksono

Tatkala mendengarkan kuliah Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tentang ekonomi kreatif di Universitas Multimedia Nusantara, di Serpong, 5 September 2008, tumbuhlah persepsi bahwa inilah jenis ekonomi yang akan dikembangkan di Indonesia. Aktivitas di 14 bidang industri kreatif unggulan diharapkan mampu menggairahkan perekonomian Indonesia, menghasilkan pendapatan dalam orde ratusan triliun rupiah per tahun.

Pemikiran tersebut masuk akal, didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif. Komparatif, karena bak sumber daya alam, tradisi membatik atau seni kriya, misalnya, telah lama menjadi bagian dari budaya kita. Kompetitif, karena—mengikuti tesis Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat (2006)—dunia kini berada dalam equal playing field akibat globalisasi dan proliferasi teknologi-informasi-komunikasi (TIK).

Berikutnya, seperti diamati para futuris, ekonomi kreatif— sebagian lebih suka menyebut ekonomi inovasi dalam skop lebih luas—merupakan faktor survival kritikal bagi bangsa-bangsa.

Bab ketiga buku The Extreme Future karya James Canton (2006) dikhususkan untuk membahas ekonomi inovasi, khususnya dalam upaya baru menggapai kemakmuran. Di sana antara lain diuraikan 10 tren pembentuk ekonomi inovasi—yang pertama tertulis dalam kutipan di awal tulisan ini—yang penting untuk disimak dan diuji.

Ketika menyinggung kendala yang dihadapi Indonesia dalam upaya mengembangkan ekonomi kreatif, Menteri Mari Pangestu menyebutkan (dalam Ajang Indonesia ICT Awards, Jakarta 8 Agustus 2008) bahwa pasar ekonomi kreatif hanya akan terbentuk jika punya tingkat literasi (TIK) tinggi dan sebesar-besarnya masyarakat mengakses teknologi ini.

Keadaan di Indonesia memang belum sepenuhnya menggembirakan. Kesenjangan digital, yang antara lain ditandai rasio kepemilikan PC/laptop dibandingkan jumlah penduduk, yang lebih kurang baru 10 persen, dan penetrasi akses internet yang baru sekitar 15 persen, termasuk masih lebar. Katakan teknologi mobile/seluler memperbesar potensi di atas, dari segi jumlah pengguna—yang sekarang sekitar 125 juta—mungkin memberi peluang. Namun, tren yang ada memperlihatkan perlengkapan telepon seluler canggih lebih banyak digunakan untuk aktivitas sosial daripada pengetahuan, sampai muncul kekhawatiran meluasnya simptom continuous partial attention atau attention deficiency syndrome, yang merujuk pada kesulitan untuk berkonsentrasi karena tingginya aktivitas multitasking.

Padahal, ketersediaan dan akses TIK baru satu faktor. Menurut Canton, pendirian ekonomi inovasi juga harus diiringi ”kebebasan berpikir, kebebasan pasar, dan kebebasan berusaha”.

Kita tak harus berkecil hati karena China—yang sekarang rakyatnya masih belum bebas akibat masih dianutnya sistem komunis yang membelenggu— ternyata juga bisa mengembangkan ekonomi inovasi. Apabila Canton hanya menjadikan China sebagai satu bab dalam The Extreme Future, jurnalis finansial Rebecca Fannin memperlihatkan upaya China memenangi perlombaan teknologi, khususnya TIK, saat ini (Silicon Dragon, terjemahan BIP, 2009).

Mengomentari tulisan Fannin, Managing Director The Carlyle Group David Rubenstein mengatakan, China kini menjadi penantang terbesar AS sebagai pemimpin inovasi teknologi dan peluang investasi. Sementara penulis Om Malik meyakini China akan menjadi pusat inovasi di masa datang.

Uraian Fannin menyiratkan dunia memang akan hidup di bawah bayang-bayang Naga Silikon, dan masa depan ekstrem yang dikemukakan Canton juga akan kental mewarnai peradaban masa datang. Dalam konteks ini, memadaikah upaya pemerintah sejauh ini?

Daya inovasi

Kalau memang kunci bagi masa depan adalah inovasi, siapkah masyarakat Indonesia memasuki era ini?

Mengintip cetak biru perencanaan iptek nasional seperti yang dilakukan di Dewan Riset Nasional misalnya, memang di sana ada wacana pengembangan pemanfaatan TIK di pedesaan melalui sistem dengan judul yang mantap, yakni Rural—Next Generation Network. Tapi perlu kita pantau bersama apakah sistem ini sudah dicapai tahun 2008, dan dengan itu ”kesenjangan digital” yang ada teratasi seperti dijanjikan dalam Agenda Riset Nasional 2006-2009?

Hal sama bisa dipertanyakan dengan rencana besar seperti Palapa Ring yang ditujukan mengintegrasikan layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama untuk menutup wilayah Indonesia bagian timur yang relatif masih banyak yang menganga.

Seiring Palapa Ring, ada pula rencana menyediakan akses telekomunikasi bagi seluruh desa di Indonesia sehingga equal playing field tidak saja berlingkup global, tapi juga diwujudkan dalam lingkup nasional.

Hanya saja, semua yang kita lakukan sejauh ini memang masih menyentuh bagian dasar dari inovasi yang ingin kita rebut, karena yang coba ditanggulangi baru pada sisi fisik dan teknikal. Bagaimana daya inovasi individu—sebenarnya juga pada perangkat pelaksana negara seperti pemerintah—yang akan memainkan peran penting dalam transformasi membangun masyarakat berbasis pengetahuan?

Sebagai catatan, Pemerintah Indonesia sering masih dinilai tidak konsisten, misalnya di satu sisi mempromosikan cita-cita membangun masyarakat berbasis pengetahuan, yang harus ditopang tersedianya akses TIK yang terjangkau, tetapi ternyata tarif internet relatif mahal dibandingkan dengan negara berkembang lain.

Tampaklah, memang ada persoalan besar dalam upaya bangsa Indonesia meraih teknologi dan menjadikannya sebagai daya saing. Teknologi yang sulit— misal teknologi pertahanan, seperti sering disampaikan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono—banyak yang telah dapat dikuasai. Yang belum dikuasai di sini adalah ilmu manajemen atau mengelola urusan sehingga semua hal beres seperti dicita- citakan. Dalam kaitan ini pula kita bisa mengingat hambatan inovasi yang dikemukakan M Sahari Besari dalam bukunya, Teknologi di Nusantara—40 Abad Hambatan Inovasi (2008)

Jika kita bangsa pembelajar, sesungguhnya munculnya Naga Silikon di dekat kita, atau peringatan seperti masa depan ekstrem—ditandai antara lain dengan ekonomi jenis baru—mestinya kita sekarang sudah bangkit, gregah-gregah, menyongsongnya. Kita terus bergulat, bagaimana merespons ekonomi yang komponen utamanya adalah bit, atom, neuron, dan gen?

Kalau semua terdengar masih asing—nun jauh di sana (arcane), berarti itu pekerjaan rumah bagi masyarakat Indonesia. Eranya adalah masyarakat berbasis pengetahuan, ekonominya ekonomi inovasi/ekonomi berbasis pengetahuan, tetapi fenomenanya belum kunjung hadir di sini.

Kalau reformasi belum mampu membangun masyarakat berbasis pengetahuan, menurut Yasraf Amir Piliang (dalam Reinventing Indonesia, 2008), itu karena institusi negara yang terkait pengembangan pengetahuan, sains dan teknologi, seni dan kebudayaan pada umumnya sejauh ini berjalan sekadar memenuhi anggaran, tidak mempunyai ”roh” pengetahuan dan dorongan pencapaian, serta tidak mampu menularkan ”spirit pengetahuan” pada kalangan masyarakat luas.

Tapi, seguimos adelante. Maju terus, kita tidak ingin menyerah pada keadaan.

Tidak ada komentar: