Sabtu, 24 Januari 2009

Imlek, Merayakan Kehidupan


Oleh P Agung Wijayanto

Setelah dijadikan hari libur nasional, Imlek kian menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Orang tidak lagi ragu atau takut untuk merayakannya.

Di sejumlah tempat tampak bahwa semakin banyak anggota masyarakat ikut merayakan, baik secara aktif maupun pasif. Berbagai pertunjukan dan pernak- pernik perayaan Imlek semakin mudah dijumpai.

Tidak dapat dimungkiri, Imlek semula merupakan perayaan bagi petani bangsa Tionghoa pada awal musim semi. Dalam perjalanan waktu, bangsa Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya juga ikut merayakan. Hal ini sudah berlangsung berabad-abad. Bangsa-bangsa yang mengalami empat musim memahami bahwa peralihan musim dingin ke musim semi tidak sekadar suatu peristiwa alamiah belaka, tetapi juga menyediakan makna yang mendalam bagi kehidupan manusia.

Merayakan Imlek tanpa mengolah kandungan rohani yang ada hanya akan berakhir pada pameran kulit luar. Karena itu, amat bermanfaat menilik dan merenungkan beberapa kekayaan rohani yang dihayati bangsa atau masyarakat yang merayakannya, terutama masyarakat Tionghoa sebagai pemula perayaan ini.

Merayakan kehidupan

Imlek sebagai perayaan awal musim semi bagi orang Tionghoa tidak dapat dipisahkan dari pemahaman dan penghayatan mereka tentang kehidupan itu sendiri. Ada beberapa pemahaman dasar bangsa China tentang kehidupan.

Pertama, perjalanan sejarah manusia bagi bangsa China ditandai oleh berbagai usaha untuk mewujudkan hidup yang membahagiakan. Kebahagiaan manusia tidak pertama-tama terletak pada keberhasilan duniawi, tetapi pada kepenuhan hidup yang mewujudnyatakan kesatuan antara kebaikan tertinggi dan kepenuhan keindahan.

Dengan demikian, hidup yang sejati selalu bersumber dari kesucian, kebaikan, dan keindahan itu sendiri. Di mana ada kehidupan, di sana ada kebaikan dan keindahan. Kemudian, dunia pun dipahami sebagai wahana kebajikan berhiaskan keindahan. Hidup di dunia yang baik dan indah itu sungguh membahagiakan.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa berbagai perayaan bangsa China sangat terkait dengan peristiwa kehidupan dan yang ditampilkan penuh dengan kebaikan dan keindahan. Selama perayaan Imlek, manusia diharapkan tidak memikirkan yang jahat, berbicara tentang hal-hal yang tidak senonoh atau melukai hati orang lain, atau melakukan kejahatan yang merusak keindahan martabat diri dan sesama. Mereka saling mengucapkan salam atau nyanyian yang menyanjung kemuliaan kehidupan. Mereka juga berbagi makanan, uang, atau hal-hal lain untuk mengungkap kebaikan dan kemurahan Sang Sumber Kehidupan. Semua itu dilakukan dan dibungkus secara indah, tidak sembarangan, atau melanggar kesantunan hidup bersama.

Kedua, pengikat dan sumber daya kehidupan adalah kasih yang mengalir dan merasuki semua hal yang ada di alam raya ini. Dao sebagai prinsip kehidupan memang tidak terumuskan sebagaimana kasih, tetapi senantiasa hadir, menjiwai, dan mengubah semua bentuk kehidupan menjadi baik dan indah.

Hidup manusia bagi masyarakat Tionghoa pada dasarnya baik dan indah. Kalimat pertama dalam buku bacaan klasik anak- anak Tionghoa, San Zhi Jing, mengajarkan paham ini. Perkembangan perbedaan di antara manusia dipengaruhi pendidikan yang mereka alami. ”Pendidikan” tidak dipandang pertama-tama sebagai suatu kegiatan belajar-mengajar formal di bangku sekolah, tetapi pengalaman hidup langsung dan nyata dengan kebaikan dan keindahan itu sendiri.

Masyarakat Tionghoa mengusahakan agar Imlek menjadi saat bagi semua orang untuk mengalami kebaikan dan keindahan itu secara nyata. Pada hari itu, semua anggota keluarga berkumpul bersama. Generasi muda secara langsung mengalami kebaikan dari yang lebih tua: berbagai pemberian dan hadiah dalam bentuk hong bao (angpau), kue, makanan, dan sebagainya. Mereka juga mendengar orangtua mereka berdoa bagi kedamaian dan kesejahteraan, baik yang telah mendahului maupun yang masih hidup.

Ketiga, hidup harus dijalani dan dirayakan. Bangsa China dikenal sebagai bangsa yang ulet dan rajin bekerja. Boleh dikatakan, tidak banyak waktu di sepanjang tahun bagi masyarakat Tionghoa untuk bersantai atau bermalas-malasan. Bahkan, ada banyak keluarga Tionghoa tidak pernah libur selain pada masa perayaan Imlek. Itu tidak berarti masyarakat Tionghoa tidak merayakan kehidupan.

Masyarakat Tionghoa menjalani dan merayakan kehidupan tidak dalam kesendirian, tetapi dalam kebersamaan dengan orang lain, bahkan termasuk bersama leluhur. Setiap hari orang Tionghoa menyediakan makanan, minuman, dan persembahan perayaan hidup bagi leluhur sekaligus wujud syukur kepada mereka yang telah menjadi perantara kehidupan.

Perayaan Imlek juga ditandai oleh perayaan syukur dan sujud kepada sumber-sumber kehidupan. Misalnya, pada malam Imlek, masyarakat Tionghoa berdoa dan bersujud kepada langit, bumi, leluhur, orangtua, dan sumber kehidupan yang lain. Sesudah itu, mereka makan dan minum merayakan kebersamaan hidup. Keesokan harinya, mereka bertandang ke rumah saudara, teman, guru, atau yang dipandang berjasa dalam kehidupan mereka.

Bangsa Indonesia merayakan kehidupan

Bangsa Indonesia telah menjadikan Imlek sebagai salah satu hari libur nasional. Dengan kata lain, bangsa Indonesia telah menyatakan diri mau ikut serta dalam tradisi berbagai bangsa di dunia ini untuk menghargai dan merayakan segala bentuk kehidupan yang telah diterima dari Sang Sumber Kasih.

Dengan merayakan Imlek setiap tahun, semoga semakin sedikit tingkat pelanggaran dan pemerkosaan atas kehidupan (manusia dan alam) di Indonesia. Pada sisi lain, semoga kehidupan di Indonesia semakin ditandai oleh kebaikan dan keindahan yang membahagiakan.

Selamat merayakan Tahun Baru Imlek. Gongxi xinnian. Wanshi ru yi.

P Agung Wijayanto SJ Pemerhati Kebudayaan China; Tinggal di Semarang

Tidak ada komentar: